Ustadz H. M. Yasin Al-Bantani menyampaikan khutbah Jum'at di Masjid Raya Limo Kaum tentang rahasia di balik akhlak terkait hadis Nabi, "Orang yang paling aku cintai dan yang akan paling dekat denganku adalah orang yang memiliki akhlak terbaik di antara kalian."
Tema khutbah ini menyoroti nilai spiritualitas yang berfungsi sebagai landasan untuk memahami interaksi antara iman dan akhlak.
Mengapa Nabi lebih menekankan karakter daripada amalan seperti shalat atau puasa? Pertanyaan itu mengundang refleksi yang mendalam. Al-Qur'an menetapkan ibadah sebagai tujuan akhir manusia, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. 51:56). Namun, dalam setiap ibadah terdapat pelajaran akhlak.
Sebagai contoh, shalat. Al-Qur'an dengan eksplisit menyatakan, "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar" (QS. 29:45). Shalat bukan sekadar ritual ruku' dan sujud; shalat adalah tindakan transformatif yang membentuk kebajikan batin dan perilaku lahiriah. Shalat yang sejati mendisiplinkan hati, menyelaraskan niat, dan menumbuhkan kerendahan hati.
Penekanan Nabi pada akhlak menjembatani spiritual dan sosial. Karakter yang baik adalah ibadah yang dieksternalisasi-iman dalam gerakan seseorang yang mewujudkan "akhlakul karimah". Sebaliknya, Nabi memperingatkan terhadap jebakan kesombongan dan ucapan yang merugikan. Ini bukanlah cacat kecil; ini memutuskan hubungan seseorang dengan Sang Pencipta dan makhluk. Rasulullah bersabda, "Orang yang paling dibenci dan paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara, menunjukkan kesombongan, dan menyebabkan kerusakan dengan kata-katanya."
Tindakan ibadah, baik puasa, doa, atau zakat, dirancang untuk memelihara keunggulan akhlak. Amalan wudhu, misalnya, tidak hanya memurnikan tubuh tetapi juga jiwa. Ketika seseorang mencuci tangan, itu adalah komitmen untuk menahan diri dari perbuatan salah. Ketika seseorang berkumur, itu adalah pilar untuk hanya mengatakan kebenaran dan kebaikan.
Keterkaitan ini diartikulasikan oleh seorang Sufi, yang menggambarkan wudhu batin-pembersihan batin dari kesombongan, iri hati, dan kedengkian. Menurutnya, setiap ibadah berpotensi memurnikan hakikat seseorang dan menyelaraskan tindakannya dengan petunjuk ilahi.
Penekanan Nabi pada akhlak menggarisbawahi dampaknya yang abadi pada hubungan-dengan Allah, diri sendiri, dan masyarakat. Seseorang yang berakhlak baik mewujudkan kasih sayang, integritas, dan kerendahan hati. Mereka memperkuat ikatan komunal dan mendapatkan kedekatan ilahi. Seperti yang disabdakan Nabi, bahwa orang yang paling dekat dengan beliau di akhirat bukanlah hanya orang yang unggul dalam ibadah tetapi orang yang unggul dalam akhlaknya. Kebijaksanaan ini menyerukan setiap orang beriman untuk memadukan ibadah dengan akhlak, mengubah kehidupan sebagai cerminan rahmat ilahi.