Aksi Lelet Perampasan Aset - Bedah Editorial MI
Вставка
- Опубліковано 6 лис 2024
- MetroTV, DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) terus bermain-main dan mengombang-ambingkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Setelah tidak jua membahasnya meski sudah diusulkan sejak 2008, parlemen tidak memasukkan RUU itu ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.
Keputusan sementara dari Badan Legislasi (Baleg) DPR itu seolah melawan janji pemberantasan korupsi yang berkali-kali digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Keputusan itu juga mengecewakan masyarakat yang selama ini menantikan gebrakan pemberangusan korupsi yang tidak business as usual dengan beleid soal perampasan aset.
Harus kita katakan bahwa RUU Perampasan Aset sangat penting untuk efektivitas pemberantasan korupsi. Ia memberi payung hukum bagi penindakan aset dan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, serta dapat menjadi instrumen pemulihan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi.
Karena itu, sesungguhnya pengesahan RUU Perampasan Aset sangatlah mendesak untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, memperkuat sistem hukum, dan memulihkan kerugian negara sekaligus mematuhi standar internasional.
Dengan pengesahan RUU tersebut, negara dapat menyita hasil kejahatan, termasuk aset-aset yang disembunyikan di luar negeri. Selama ini, aset-aset pelaku korupsi di luar negeri tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum.
Perampasan aset juga bisa menjadi alat yang kuat untuk memulihkan kekayaan negara. Rampasan aset dari koruptor dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional.
Namun, DPR bak gagal fokus. Alih-alih kembali memasukkannya dalam prolegnas, DPR malah mempersoalkan diksi 'perampasan' yang digunakan. Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia mempersoalkan kata 'perampasan' menurutnya tidak elok dan tidak baik bagi negara. Ia menuntut kata 'perampasan' itu diganti dengan istilah 'pemulihan'.
Penggantian istilah perampasan menjadi pemulihan didasarkan pada istilah stolen asset recovery yang digunakan oleh United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Ia menekankan bahwa kata recovery bermakna pemulihan dalam diksi bahasa Indonesia.
Mempersoalkan diksi atau nama RUU ketika kehendak untuk mengegolkan RUU itu saja tidak tampak, itu sama artinya DPR sedang berpura-pura lupa pada substansi atau akar masalah sesungguhnya. Patut diduga ada yang sedang coba ditutup-tutupi dengan malah sibuk mempersoalkan nama ketimbang membahas isinya.
Sejatinya, menggunakan bahasa keras terhadap para pelaku kejahatan, apalagi koruptor, juga sah-sah saja. Menghadapi pelaku kejahatan memang harus keras, tak perlu bersopan santun dan lembek.
Akan tetapi, kita tak perlu menghabiskan energi untuk mendebatkan pola pikir yang sedang dibangun DPR. Jangan sampai justru berlarut-larut mempersoalkan hal-hal yang tidak perlu.
Silakan saja jika memang parlemen ingin membuang kata perampasan dan menggantinya dengan kata pemulihan dalam RUU tersebut. Itu bukan hal yang substantif. Ibarat kucing, tidak masalah dia warna hitam atau putih, yang penting bisa nangkap tikus. Gitu aja, kok, repot.
Begitu pula dalam perkara korupsi. Apa pun namanya nanti, yang terpenting bagi publik ialah bahwa RUU tersebut harus segera dibahas dan disahkan untuk memberikan efek jera bagi koruptor. DPR tak perlu banyak cakap soal komitmen kepada pemberantasan korupsi. Tunjukkan saja komitmen itu dimulai dari RUU ini. Masukkan RUU Perampasan Aset kembali ke prolegnas.
#bedaheditorialmi #aksileletperampasanaset #videoeditorial #kpk #mediaindonesia
#Metrotv
-----------------------------------------------------------------------
Follow juga sosmed kami untuk mendapatkan update informasi terkini!
Website: www.metrotvnew...
Facebook: / metrotv
Instagram: / metrotv
Twitter: / metro_tv
TikTok: / metro_tv
Metro Xtend: xtend.metrotvn...