BUNGKAK NYUH GADING: KELAPA GADING SEBERAPA PENTINGKAH ?

Поділитися
Вставка
  • Опубліковано 6 вер 2024
  • • BUNGKAK NYUH GADING: K...
    BUNGKAK NYUH GADING: KELAPA GADING SEBERAPA PENTINGKAH ?
    #Kelapa
    #Gading
    #Degan
    BUNGKAK NYUH GADING: KELAPA GADING SEBERAPA PENTINGKAH ? Dalam tradisi ritual Hindu selalu ditemukan unsur kelapa (cocos nucifera) tumbuhan sejenis aren-arenan yang tumbuh hampir diseluruh belahan dunia, terutama yang beriklim tropis. Kata cocos berarti kepala, sepintas memang bentuknya mirip sekali dengan kepala dan wajah manusia, dalam bahasa Bali ataupun bahasa Indonesia kata kelapa seringkali diplesetkan dengan kata kepala. Pada teks Purwa Gama Sesana karya Pedanda made Sidemen dikisahkan bahwa pohon kelapa gading (jenis pohon kelapa dengan daun dan buah dominan berwarna kuning) adalah tumbuh dari potongan salah satu kepala dewa Brahma. Dikisahkan dewa Brahma hendak menguji kekuatan kesaktian ilmu tenung (nujum) Bhatara Gana, maka disuruh lah Ganesa untuk menebak jumlah kepala beliau. Lalu ditebaklah bahwa jumlah kepala Brahma ada empat, walaupun kenyataanya ada lima, kepala kelima disembunyikan secara gaib oleh Brahma. Mengetahui kejadian itu dengan cepat Bhatara Siwa memotong salah satu kepala dewa Brahma, hingga berkurang satu. Kepala yang terpotong itu jatuh kebumi, kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa Gading. Jadi pohon kelapa gading konon tumbuh dari kepala Brahma, dalam bahasa Portugis ataupun Spanyol pohon kelapa disebut pula cocos yang juga berarti kelapa. Di Bali pohon kelapa sangat penting digunakan pada berbagai aspek kehidupan, baik pada ranah sekala yaitu segala hal bersifat fisik, misalnya untuk material bangunan ataupun pada ruang-ruang niskala yaitu pada berbagai ritus agama Hindu Bali, ataupun pada lelaku bhatin, baik Usadha ataupun kawisesan. Penyebutan bagian-bagian pohon kelapa tampaknya lebih ditail dibandingkan tumbuhan lain. Misalkan daunya memiliki tiga sebutan berbeda berdasarkan usia daunya, ada istilah busung yaitu daun kelapa yang masih muda, lalu ada slepan untuk menyebutkan daun kelapa yang sudah agak tua, wayah. Lalu danyuh adalah daun kelapa yang sudah mengering. Begitu juga dengan buahnya, memiliki ragam penamaan yang berbeda disesuaikan dengan usia, kandungan air, daging pada buah kelapa. Ada istilah troktokan, blangsah, bungsil, kelungah, bungkak, kuwud, nyuh. bungsil ketika bunga kelapa (troktokan) mulai membesar, berbentuk bulat lonjong, kemudian tumbuh menjadi kelungah, air sudah mulai terbentuk didalamnya, walaupun masih tawar, tentunya belum ada daging buah. Lalu bungkak adalah buah kelapa yang masih muda, air sudah mulai terasa manis tetapi kebelum ada isinya, lalu ada kuwud yaitu buah kelapa muda yang airnya sudah manis, daging buah sudah mulai terbentuk. Terahkir disebut nyuh yaitu buah kelapa tua, dengan warna kulit gelap, rasa air sudah tidak manis lagi, daging buah tebal agak keras. Dalam lontar Indik rajah bungkak dan kelapa tattwa menguraikan cukup detail tentang asal muasal, ragam jenis, serta manfaat bungkak kelapa. Dikisahkan ketika bumi mengalami kehancuran akibat berbagai tumbuhan dirasuki Kala sehingga menciptakan Wisya (racun). Kala memiliki sepuluh abdi yang disebut Bhuta Dasangkara Bhumi, bukan hanya meracuni tanaman tetapi juga merusak semua kehidupan binatang hingga manusia. Diutuslah Bhagwan Wraspati untuk mencari penyebab bencana itu dan langsung mencarikan jalan keluar. Singkat cerita dari yoga Bhagawan weraspati munculah pohon kelapa dengan berbagai jenis warna. Kedua lontar ini memuat berbagai jenis kelapa dengan beragam fungsi dan tentu tatacara penggunaannya. Lontar Usadha Minyak memuat pengolah berbagai jenis buah kelapa yang dapat digunakan sebagai sarana bermacam-macam obat tradisional. Bungkak Nyuh gading adalah jenis kelapa yang paling sering dimanfaatkan pada ritus-ritus agama Hindu di Bali berupa Panca Yadnya. Pada ritual manusia yadnya bungkak gading mulai dijadikan unsur penting pada saat bayi dalam kandungan, melalui upacara Pagedong-gedongan. Bungkak gading dirajah aksara dan perwujudan bayi, lalu dimasukan kedalam banten yang mirip menyerupai gedong (rumah tradisional Bali). Tahap selanjutnya ketika bayi telah bertumbuh dewasa dibuatkan ritual mapandes atau potong gigi. Sisa air liur, serbuk gigi ditempatkan pula pada bungkak gading untuk kemudian dikubur di areal pemerajan, halaman ataukah dilarung dilaut. Selanjutnya pada ritus Pitara yadnya bungkak gading juga sebagai sarana penting untuk menyimpan abu tulang sisa pembakaran mayat. Disebut sekah tunggal yang nanti akan dilarung kelaut. Pada prosesi pembersihan dan penyucian niskala rumah, benda dan manusia juga mengunakan bungkak gading sebagai sarana penting, malahan disebut utama.
    Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada UA-cam, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
    Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
    www.youtube.co...
    Facebook:
    yudhatriguna
    Instagram:
    / yudhatrigunachannel
    Website:
    www.yudhatrigu...

КОМЕНТАРІ • 147