Buat penikmat ilmu pengetahuan seperti aku, video ini seperti kue yang pas dimakan. Cita rasa enak, harga terjangkau, dan halal. Citarasa bisa dimaknai dengan apa yang ingin disampaikan sangat mudah dipahami, harga terjangkau dimaknai dengan gaya penyampaian bertutur yang tidak membosankan, halal dimaknai dengan basis informasi yang disampaikan sangat ilmiah dan berbasis argumentasi keilmuan. Meski ada opini yang dibangun, tetap menyajikan fakta atas opini. Menjura hormat deh buat kretifitasnya untuk Indonesia!
Halo, Kak, kebetulan saya berkecimpung di penelitian Bioteknologi. Saya pernah joint-research 6 bulan di lembaga riset pemerintah Thailand NSTDA (lupa kepanjangannya, mungkin bisa Google langsung hehe) dan sungguh ketika di sana membuat saya sadar kalau riset kita di bidang bioteknologi itu masih jauh dari maju bahkan dibandingkan dengan sesama negara ASEAN. Secara umum yg saya lihat dari organisasi dan kinerja mereka adalah: 1. Dana yg besar dari Raja Thailand dan pemerintah. Ngga tau sih jumlahnya berapa. Tapi yg jelas dana untuk sarana prasarana alat dan bahan bukan lagi jadi masalah mereka--yang kalau di negeri kita ini masih jadi masalah utama. 2. SDM yg mumpuni, mereka sudah ngga menerima sarjana untuk bekerja di lembaga riset. Minimal Master. Gaji untuk mereka juga cenderung tinggi bahkan untuk tenaga outsourcing/honorer nya. Kalau dibandingkan dengan Indonesia waktu saya masih jadi outsourcing di BPPT, perbandingannya 1:4 lebih besar di sana. Jadi di sana peneliti dan staff pembantu peneliti juga sejahtera. Well, peneliti Indonesia (yg PNS) juga punya tunjangan kinerja tinggi sih. 3. Sarana prasarana yg menunjang baik. Di sana sebagai contoh paling simpel, sistem LANnya sudah bagus to the point untuk ngambil data dari alat A di Gedung A, kita ngga perlu capek-capek mindahin via USB atau Internet Drive. Semua bisa akses lewat folder LANnya masing-masing. FYI, kalau di lembaga penelitian kita, rata-rata sih masih manual ya. Alat juga terbatas, ngga jarang rebutan loh sementara tuntutan capaian kerja banyak. Ini mungkin yg membuat kerja mereka lebih efisien. Di sini, ibarat kata disuruh mencapai goal A, tapi ngga disediakan fasilitas dan metode yg direct karena keterbatasan biaya. Ujung-ujungnya yg dipakai metode konvensional lagi 🙁 Oh ya, di sana R&D perusahaan besar juga udah gabung di satu area Techno Park NSTDA (macam PUSPIPTEK gitu lah). Ngga main-main loh, ada perusahaan daging gitu yg terkenal (semacam So Good di Indo). Ah ya, karena mereka di satu cluster dan letaknya berdekatan, kolaborasinya lebih gampang. Waktu itu saya pinjam alat dari direktorat lain, dan mekanisme pinjam-meminjam, juga energi yg saya gunakan untuk pergi ke tempatnya mudah hehe. 4. Organisasi lembaga mereka itu terdiri dari kalau ngga salah Governing Board, Executive (dimulai dari Direktur Kepala sampai Deputi), dan International Advisory Committee. Nah, yg menarik Governing Boardnya ini terdiri dari 3 unsur, disitu ada 1) menteri-menteri terkait semacam menteri pendidikan, menteri perindustrian, menteri riset dan teknologi, dll; 2) Rektor universitas; 3) Perwakilan dari pelaku industri. Governing Board ini yg menentukan arah kerja Executive. Jadi tiap periode mereka menentukan arah penelitian yg itu mengikat seluruh pihak. Contoh, untuk industri kertas, kalau Governing Board udah bilang industri kertas kita harus lebih hijau dengan teknologi enzim, maka NSTDA mengembangkan enzim yg aplikasinya didukung sama industri kertas besar di Thailand. Mitra mereka juga perusahaan perusahaan besar kayak PTT (seperti Pertamina) kalau di Indonesia kita disuruh cari mitra industri sendiri tanpa ada dukungan regulasi pemerintah, sementara industri juga punya R&D sendiri dan mereka cenderung tertutup, efeknya kita mengembangkan sesuatu yg jauh dari kebutuhan industri. Selain itu haluan penelitian universitas juga mendukung. NSTDA punya lab kerja sama di universitas yg mana mahasiswa melakukan penelitian di sana. Menurut saya sih untuk bidang ilmu alam, kuncinya ada di Governing Board. Negara berhak menentukan arah penelitian, tetapi juga harus bisa mendanai dan menjembatani. Tapi kalau untuk ilmu sosial, kayaknya lebih baik dibebaskan hehe soalnya kalau sosial kan lebih hmmm dinamis gitu ngga sih?
minat/arah/tema penelitian sebaiknya tidak ditentukan oleh orang lain... saya pikir ilmu adalah hak perorangan. Signifikansi penelitian dapat dilihat dari jurnal tempat publikasi tersebut.
No, ilmu sosial juga sangat penting yang bahkan sistem pendidikan itu sendiri harus ditentukan oleh tipe antropologi kita sebagai manusia Indonesia. Kalo tdk seperti skrg ini, kita tak tahu model sistem pendidikan apa yg sedang kita gunakan. Pendekatan / metode pendidikan yg kita gunakan skrg kurang sesuai untuk orang Indonesia yang konon ber-stereotype "Layback Generalist". Berbeda kasus dg Botanical Scientist. Sy hanya menjabarkan betapa pentingnya Ilmu Sosial yang mana risetnya didanai dg sangat minim jg.
Keren banget videonyaa!! Menurut gue sih riset di indonesia nggk maju soalnya cita cita itu mati ketika mereka di kampus, tanya maba itb, gue yakin 90% mau jadi ilmuwan, terus tanya mereka yang tingkat akhir, gue yakin 99% bilang mau kerja aja. Yang salah dmana?
betul, iklim universitas ga memprovide diri untuk jadi scientific dan critical. skripsi pun hanya sekedar. yang penting "sesuai aturan" bukan konteks penelitiannya. sedih sih kak afu, gue yang ga punya banyak priviledge harus kerja keras lebih untuk mengakumulasi pengetahuan dan cara berpikir sistematis dan berlogika yang benar. karena miris banget kenyataannya lingkungan pendidikan ga mensupport itu. gue berusaha sangat keras untuk keluar dari cara sistem pendidikan yang kayak gini. semua dicetak cuma jadi budak kapitalis bukan sebagai manusia yang otentik
Benar, sewaktu saya mengerjakan skripsi tentang riset bahan komposit, kampus tidak bisa menerima judul skripsi seperti ini, mereka (dosen) bilang tidak ada manfaatnya dan tak ada hasil berupa produk! Maka dari itu saya mengerjakan skripsi serasa double, meneliti dan memproduksi, hingga 1 tahun saya mengerjakannya.
Iya, krn skripsi yang benar atau jujur suka dihalang-halangi oleh pihak kampus dengan alasan tertentu, bahkan terancam kena drop out, jadi meneliti pun terbatas alhasil gelar pun hanya sebatas memperpanjang nama saja
Sudah mental kita yg jelek mmg. Gini, dari kecil saja kita terbiasa melihat anak" yg rajin belajar justru dibully. nah tanpa disadari hal kecil ini terbawa sampe tua.
sad but true, ketika ada yang niat banget belajar dikatain ambis. Nyontek masih merupakan hal lumrah bahkan cenderung dibanggakan. sudah terlalu tersistem untuk selalu cari jalan pintas
Benar. Hari minggu sebelumnya disaat masih dalam suasana idul fitri. karena saya memang ngk ada kerjaan waktu itu, saya memilih untuk belajar. Nah kebetulan teman kakak saya main kerumah dan pas mereka melihat saya belajar, salah satu dari mereka langsung menertawakan saya :) dia bilang ''hari raya kok belajar''. Sekitar 1 jam-an kemudian saya langsung berhenti belajar.
Up up up! Never seen such thing like this, kemajuan intelektual rata2 masyarakat Indonesia masih di rumpun ilmu sosial, rata2 kita sudah mengerti manajemen keuangan birokrasi dsb, tetapi masih sangat buram mengenai riset dan teknologi, bahkan ilmu fisika kimia dan biologi sangat dipandang sebelah mata di masyarakat. Senang bisa menemukan komunitas seperti ini yang juga menyadari common sense about the importance of R&D, science, and all that geek stuff they tought
Bukannya kebalik ya? Justru yang dihargai di masyarakat malah Kedokteran, Teknik, dan Ilmu Sains lainnya. Sedangkan yang mempelajari dan mengembangkan ilmu Sastra atau Sejarah tidak dihargai. Di masyarakat kita aja, yang murid SMA milih masuk IPA dipandang lebih "pintar" daripada yang milih masuk jurusan IPS. Memang masyarakat awam lebih ngerti soal politik, namun politiknya bukan ilmu politik yang dalem-dalem banget yang sampe filosofi atau ideologi dll, cuman soal pilihan politiknya/jagoannya aja, macem orang nonton bola. Soal ekonomi juga, lha buktinya masih ada miskonsepsi terkait utang negara, soal investasi, ataupun masih adanya masyarakat yang tidak mau bayar pajak. CMIIW.
sarjana harusnya jadi magister, magister harusnya jadi doktor, doktor harusnya jadi profesor...tugas mereka cuma melakukan pendidikan, pengajaran, penelitian, pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat (nelayan, petani, buruh, dan lain-lain)...skripsi, tesis dan disertasi cuma tersimpan rapi di perpustakaan tanpa ada implementasi di masyarakat...orang2 cuma fokus sama gelar akademiknya bukan hasil risetnya...
Kalo gue lebih setuju lembaga riset di Indonesia independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Lembaga riset ini bs didanai oleh perusahaan2 swasta dengan mekanisme keringanan pajak dari pemerintah. Jadi pemerintah tidak perlu mengelola dana riset sendiri. It would be effective for it is based on business needs and research diversity would not be questioned as the business fields are naturally diverse . Untuk topik riset yang underdeveloped dan tidak business oriented pemerintah bisa mengalokasikan dana yg tadinya untuk lembaga riset pemerintah ke universitas2 negeri. Universitas swasta bisa diberi bebas pajak sesuai dengan kualitas dan kuantitas risetnya. Just my opinion. Cmiiw
Nah ini bener nih. Tapi rakyat Indonesia masih banyak yang belum bisa "mandiri" dari pemerintah. Pasti kalau dilepas gitu, saya yakin pasti ada orang yang bilang "pemerintah harusnya mendukung riset seperti ini, bukannya malah dilepas ke swasta".
Kalo menurut saya, setidaknya hrs ada keterlibatan pemerintah sbg regulator agar riset2 yg dikelola adl riset yg bertanggung jawab. Tp memg sebaiknya keterlibatan pemerintah hrs dibatasi, krn cmpur tangan yg trlalu byk akan mghambat kemajuan riset itu sndri.
Nuvo Nova saya setuju, harus ada regulasi pemerintah yang mengatur riset-riset yang dilakukan swasta agar mendapat penelitian yang bertanggung jawab namun harus dibatasi juga regulasi tersebut.
setuju bgt mas...miris makanya lihat skr LIPI kisruh..beberapa badan litbang dilemahkan dan dijadikan BLU, jika pemerintah sdh tidak bisa mendanai, seharusnya dicari solusi terbaik, contohnya ide mas-mas ini...
@@garudapenjunjungkebenaran5871 nah itu, dikit2 yang disalahin pemerintah..... typically orang indonesia, mungkin bawaan pemerintahan model kerajaan jaman dulu kali ya
Kalo bahas penelitian gini, gw selalu inget omelan dosen gw. :))) Beliau merasa riset di Indo terlalu kaku. Gak bisa fluid menghadapi perkembangan zaman. Dosen gw ini punya fokus keilmuan tentang komputasi kimia. Hasil dari risetnya hanya "sekadar" angka energi. :))) Dan gak ada yg mau mendanai penelitian yg kaya gini karena "gak membangun". :))) Hanya "sekadar" angka. :))) Padahal dari sudut pandang sains, harusnya bisa diartikan lebih jauh. Dan yg lebih penting lagi, hemat biaya, karena gak perlu beli bahan kimia. :))) Jangan heran penelitian kita gagap banget. Lagi ngetren nano teknologi, semua ngikut.. :))) Lagi ngetren TiO2, semua ngikut.. :))) Kocak banget dah dunia penelitian Indo. :)))
Bang saya juga sedang melakukan skripsi di bidang kimia komputasi dan bagi saya sangat miris karena cuma ada 2 orang (termasuk saya) yang ngambil bidang ini dari ratusan mahasiswa Saya rasa kimia komputasi adalah alat modern yang sangat membantu dalam pengembangan dan penemuan obat tapi banyak yang belum sadar sih atau terjebak dalam prekonsepsi bahwa 'kimia komputasi itu susah'
@@dvendddo7454 Gw setuju banget. Keliatan banget kimia komputasi ini bisa jadi alat untuk menemukan material baru atau aktivitas dari suatu senyawa di tingkat molekul di bidang apa pun. Wajar klo ada pendapat begitu. Sahabat gw yg skripsi di bidang itu pun mengakui sulitnya bidang kimia komputasi. Padahal dia bisa dibilang paling ahli dibandingkan senior & juniornya yg meneliti tentang itu. Dan gw juga ampe ngulang materi tentang kuantum ampe 5x.. :))) Jangan khawatir. Perkembangan informasi & teknologi di Indo lagi cepet kok. Gw yakin suatu saat nanti ada peneliti yg mau membuka jalan ke kimia komputasi. Siapa tau kamu yg membuka jalan itu. Semangat buat skripsinya!
Anda aja FMIPA dianggep kaya gitu sm dunia penelitian Indonesia. Apalagi saya yang backgroundnya social humaniora, yg emang ga mengeluarkan produk penelitian apapun. Makin terpojok kwkwkw
Jurnal aja di keep sama kampus, thesis dlsb tidak mudah diakses. Jd gimana mau saling sustain sebuah riset. Dan juga literasi kita belum tinggi, belum yang plagiat. Kan susah. Persis sesuai dengan kultur dan mental kita. Rumit.
@@ivakanoffsnyder4501 sekarang kampus-kampus kan sudah pakai mesin verifikasi keaslian tulisan, Pak. Misalnya di kampus saya pakai turnitin. setiap skripsi yang diajukan harus lolos dari turnitin dengan tingkat kesamaan dengan tulisan yang sudah dipublikasi maksimal 25%. kalau copas sudah pasti ketahuan. Atau belum semua kampus yang pakai seperti itu ya? Hmmm..
Tadinya mau komentar soal bagian depan, tentang para ahli yang biasa diwawancara di media sepertiinya tidak kompeten. Saya tadinya mau berargumen, itu adalah ketidakmampuan medianya untuk mencari orang yang kompeten. Tapi dalam gambaran besarnya, media pun belum punya mental riset yang baik, masuk suka ngumbar hoax dan manas-manasin isu tanpa riset (bahkan gosip pun perlu riset, seperti E! Channel). Jadi komennya ga penting (meskipun tetapi diomongin), tapi suka banget video ini. Simplifikasi masalah yang ribet dan narasumbernya jos! Kalau sektor privat diajak riset, sebenarnya asalkan ada profit di situ, mungkin riset akan menjadi sesuatu yang menarik buat mereka. Jadi iming-imingnya duit. Mungkin dorongan konsumen juga kali ya, yang mau sesuatu lebih lokal sehingga riset dilakukan dalam negeri dengan sumber daya yang tersedia. Mungkin. Kalau pemerintah... hmmmm *mikir
saya setuju banget sama pendapat anda... tp ini juga kembali lagi dari kita sebagai konsumen, justru yang sering saya jumpai (sebagian besar media online) artikel-artikel yang sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan yang bagus malah jarang dilirik karena terkesan "membosankan" bagi pembaca. Hal ini juga diperparah kemampuan literasi bangsa kita juga masih rendah (sekali lagi nih, menurut aku sendiri hahaha). Sering banget kan kita ngeliat orang yang termakan judul artikel sendiri tanpa baca isi artikelnya. Dari sisi medianya sendiri juga seakan serba salah ketika ada artikel bagus tapi panjang g ada yang lirik, di sisi lain artikel dari isu-isu gorengan yang ga ada isinya malah rame2 dibaca. Menurut aku nih seharusnya kita sebagai konsumen juga mulai bisa memerangi hal ini dengan menjadi pembaca yang cerdas.
bener banget, hal - hal yang jauh dari bentuk pendidikan ideal kayak gosip aja harus ada risetnya dulu. mungkin di indonesia tv cuma sebagai sarana hiburan (drama, dangdut, rumah*ya, sinetron, etc) bukan sarana pembelajaran. tapi salut sih sama TVRI kalo bikin acara kuis juga masih yang berisi bukan asal ketawa doang
Kanal dengan konten seperti ini yang mestinya diperbanyak, dan harusnya populer, sekurang2nya dalam ranah akademik. Berlaku bagi dosen/peneliti dan mahasiswanya. Saya kembali sadar akan pentingnya budaya keilmuan, yang barangkali sekarang telah banyak terlupa. Tentang pertanyaan di akhir video, saya pikir dua2nya bisa beriringan. Tinggal bagaimana pemerintah sebagai otoritas yang sifatnya dominan dalam mendukung jalannya riset, tidak menyepelekan peran sektor privat yang memang berjalan atas inisiatif mandiri. Tentang dana, saya setuju dengan salah satu komentar (di bawah?), yakni pendanaan yang berstatus reward, tanpa harus ribet dengan urusan2 LPJ yang sebenarnya menambah beban kerja para peneliti. Ditunggi lagi karya seperti ini, Mba Afu. Kanalmu saya subscribe
beda pemikiran orang indo sama pemikiran orang kulit putih yg tinggal di barat, orang indonesia bodoh didunia tidak masalah, yg penting di akhirat masuk surga,, sains didunia tdk penting dan tdk diutamakan, yg penting ilmu agama Jelas beda mental negara berkembang dan negara maju
Jarang sekali riset dan penelitian dari universitas kita memberikan manfaat konkret bagi kehidupan masyarakat, syukur² bisa bermanfaat sebagai sitasi Bahkan lebih miris nya sangat banyak yg hanya menjadi "sampah akademik"
Ngga juga. banyak yang bermanfaat kok, tetapi pemerintah (nasional dan lokal) ngga percaya, juga kalangan industri. Mereka engga memberi dana untuk pengembangan hasil sampai level aplikatif di industri. Mendingan beli hasil dari luar drpd berinvestasi untuk mengembangkan hasil penelitian sendiri. Dr sisi akademisi, mereka merasa terlalu diatur2 oleh pemberi dana (ada agenda2 lain yg terbaca). In short: no trust between the two sides.
Hai kak Afu.. Perlu banget memang ada ruang fasilitasi dari dukungan pemerintah. Setau saya sektor privat pun juga telah berperan, baik dengan mengadakan kegiatan berkaitan dengan kompetisi riset ataupun bentuk pemberian grant research pada lembaga riset atau institusi pendidikan. Tentunya hal-hal ini perlu terus dilakukan agar generasi muda terbiasa untuk berpikir kritis dan mampu memberi kontribusi bagi perbaikan Indonesia. Satu hal membuat Saya penasaran adalah bagaimana cara jitu mengkomunikasikan riset kita yg hasilnya cenderung kontra terhadap sistem kebijakan yg saat ini sedang berlangsung. Tentunya para policy maker harus memutuskan sebuah kebijakan dengan dasar evidence based bukan, dan adanya reorientasi kebijakan dg alih2 perbaikan tentu memungkinkan bukan (?) Mungkin hal ini bisa menjadi salah satu topik lanjutan yang bisa diulas di vlog selanjutnya. Terimakasih yaa, terus berkarya 💪
Halo kak Afu! Makasih banyak buat kontennya yang super galvanizing. Kebetulan aku adalah salah satu pelaku riset di bidang biologi, yg bekerja di perusahaan swasta. Sejujurnya, sebagai milenial yg berkutit dengan science, ada beberapa hal yg sangat aku concern saat ini. 1. Prosperity seorang scientist. Jujur, ini salah satu alasan yg membuat aku sempat berfikir "the only passion i know is passion fruit". Aku udah dua tahun kerja di bidang riset dan sekarang berada di titik dimana aku ingin keluar dan masuk ke bidang bisnis aja. Dengan effort kerja yg sama, temenku bisa dapat salary yang besar. Ini bukan berarti bahwa passion ku bisa dibeli uang. Bukan, tapi aku sebagai seorang warga negara pun punya hidup yg perlu secure dan urgency the sense of belonging yg seringkali dikaitkan dengan jumlah gaji. Sering banget discouraged karena salary scientist bisa separuh dari temen aku yg kerja di dunia bisnis. Apakah emang ini fate seorang scientist, atau memang bisa diubah? Karena brain drain bukan hanya fenomena ttg keluarnya scientist indonesia ke luar negeri, tapi juga bekerja ke bidang business as usual. Tolong dengan sangat diperhatikan prosperity kita. Kita bukannya tdak nasionalisme, tapi kita punya kehidupan yg perlu dijalani juga. 2. Personal development scientist. Dengan hingar bingarnya industrial revolution dan big data, seringkali aku sebagai biologist feel excluded. Setiap seminar atau public discussion ttg IR4.0 itu, selalu bahasannya bisnis. Tapi ga ada aplikasinya di dunia riset biologi. alhasil, aku merasa jadi manusia paling ga punya kesempatan tumbuh seperti teman2 yg lain. 3. Sense of belonging yg kurang. Banyak bgt komunitas IT atau startup kece di bidang bisnis. Tapi ga ada sama sekali untuk scientist. Milenial yg bergerak di bidang sains sepertinya perlu bersqtu menyemangati satu sama lain dan bekerja sama membuat kolaborasi yg kece
2015 saya diberi mandat oleh kantor tempat saya magang untuk dapat mendokumentasikan sebuah acara International Conference Pure and Applied Research (ICOPAR), sejujurnya saya kurang antusias, tapi beberapa professor yang menjadi pembicara membuat saya terenyuh setelah memberikan data tentang penelitian. Ternyata kita memang ketinggalan jauh dari negara-negara maju. Bahkan jumlah peneliti kita jauh lebih sedikit dari pada Singapore dan Israel. Padahal hasil dari penelitian tadi dapat memajukan bangsa, gak cuman disektor ekonomi tapi juga SDM. Seandainya oh seandainya negara kita memiliki banyak peneliti, sepertinya SDM dan ekonomi kita lebih maju dan stabil. Karena kita memiliki SDA mentah yang asing inginkan untuk memproduksi sebuah alat yang nantinya dijual lagi ke kita. Sadar? IYA.
iya kayaknya sih cita2 kita kurang,jadi para pemuda juga jarang ada yang mau mendalami suatu bidang ilmu,maunya kerja aja langsung. Ditambah lagi suasana belajar di kampus juga menurut saya emang bukan buat peneliti,tapi buat pekerja. Kita gak pernah didorong oleh dosen untuk benar2 memahami bidang ilmu dan untuk mengembangkanya,kita hanya disuruh untuk mengerti saja....semoga kedepanya saintis indonesia bisa maju,karena negara kita ini luas,sayang jika tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu..
Fuuu, thanks a lot for making this video. Sungguh, aku pun bru merasa bahwa meneliti is one of something important since i am being a lecturer. Cuma klo boleh menggarisbawahi, kenapa pra scholar cenderung meriset asal2an, karna itu tadi being on the rule is important. Sungguh fu, mengelola dana riset peneliti pemula nya DIKTI yg hany 20jt aja aturan penyerapannya ribet bgt. Kadang para periset jadi merasa takut sama beban LPJ yg hrus dibebankan ke peneliti. And its not easy, trust me. Bahkan pembuktian pengeluaran harus 3-4 copy. Is that really necessary? Meanwhile, beberapa kali share dgn pengajar dr luar negeri yg dpet hibah penelitian as a reward, jadi beda bgt outputnya. Yah, smoga menjadi salah satu indokator yg diadjust ya.. aturan sih psti ada, tp bsa disesuaikan agar tdk menyulitkan peneliti kali ya.. maap fu, jadi curhat hihihi Suksess slalu untuk F&S yaa
I feel you Bu Tyas. Demand masalah administratif malah bikin hambatan jalannya riset dan menulis. Malam-malam dihabiskan untuk revisi proposal atau LPJ hibah dari pada revisi dari peer-reviewer jurnal.
Betul sih, kadang udah 4 copy eh luarannya ga dipermasalahkan. Ada yg dapat dana 300 juta tp yg penting memenuhi standar pelaporan diloloskan. Padahal dana segitu minimal bisa melahirkan jurnal internasional bereputasi lah.. Atau produk siap guna
Kalau riset dibidang biologi atau kesehatan banyak sekali tantangannya, mulai dari equipment dan tools yang tidak memadai, mahal atau bahkan tidak ada (tidak dapat diimport) hingga berbagai kesulitan intrainstitusional. Hasil riset kita sulit diterima di jurnal atau publikasi internasional terkemuka karena memang kualitasnya yang tidak memadai, research question yang kurang novel atau struktur riset yang tidak memadai; semuanyai sangat dipengaruhi pendanaan. Tentunya pendanaan itu penting, tetapi memang butuh waktu hingga orang-orang dalam lingkungan akademisi dan ilmuwan memiliki mindset yang terbuka, karena masih banyak yang takut untuk memupuk dan membantu yang muda untuk berkembang lebih. Berbicara dari pengalaman, nuansa riset di Indonesia dan di luar berbeda bahkan dari sisi psikologis dan emosional yang kurang suportif dan positif; maka ada sesuatu yang perlu dibangun dari sisi orang-orangnya. Tentunya kita sedang berprogres dan perkembangan dapat dilihat walau perlahan, semoga saja kita dapat mempercepat progres ke arah yang tepat.
Kenapa penelitian Indonesia tertinggal? Kalau "Menurut Saya" : Di masa2 sebelumnya atau di negara2 lain. Masyarakat, ataupun pelajar yang masuk ke dalam Universitas adalah teman2 pelajar yang ingin melanjutkan studinya secara professional di tingkat lebih tinggi. Dimana mereka benar-benar serius meneliti dan mempelajari subjek2 yang ingin mereka pecahkan misalnya vulkanologi, mereka meneliti dan mempelajari vulkanologi yang memang merupakan keinginan dan tujuan mereka. Teman2 yang belajar di Fakultas Bisnis. Adalah mereka2 yang mencari pendekatan2 baru untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi ataupun mencari teori2 baru ekonomi. Baik itu dengan memperbaharui dan mengupdate teori2 yang sudah tidak update lagi ataupun dengan tegas mengganti nya dengan teori ekonomi baru. Namun saat ini di indonesia sudah tidak seperti itu lagi. Sekarang alasan utama mahasiswa masuk ke sebuah universitas adalah untuk mendapatkan "Ijazah" agar dapat "Bekerja". Karena dimana2 baik pemerintah maupun perusahaan swasta memiliki setidak nya minimal D3/S1/S2 sebagai syarat mencalonkan diri di perusahaan tersebut. Syarat kelulusan berupa Skripsi yang mana "mungkin" 70% dari skripsi yang ada sekarang hanyalah skripsi yang dibasiskan dari skripsi yang sudah ada. Hanya mengganti wilayah kajian ataupun yang lain. "Tapi kan kalau bikin baru susah, lama. Target ku kan 3,5 tahun!". Kalau "Menurut Saya", ya memang begitulah universitas dimana studi yang dihasilkan seharusnya merupakan hasil dari penelitian yang bisa saja memakan waktu. Jadi saya rasa jika masa studi di universitas tidak memiliki batasan waktu. Mahasiswa yang benar2 berniat untuk menghasilkan karya akan lebih terakomodir dengan tidak terikatnya mahasiswa dengan lama masa studinya. "Haha. Ntar banyak mahasiswa abadi dong?" Kalau "Menurut Saya", mahasiswa yang lama masa studinya. Selama beliau memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan. Kenapa tidak? Mungkin maksud nya yang main2 yah? Kalau itu ya tanggung jawab masing2 pribadi juga. Kan disini "Kalau" seandainya universitas memang benar2 diisi oleh peneliti2. Bukan diisi mayoritas para "calon" pencari kerja yang ingin segera wisuda. Mungkin untuk syarat pekerjaan bisa setidaknya STIE, STIKOM dll yang memang benar2 mempersiapkan pribadi2 unggul di bidang pekerjaan professional ketimbang universitas. Sehingga teman2 di universitas adalah teman2 yang aktif dalam kegiatan penelitian. Mungkin pihak fakultas bisa memberikan event2 atau assignment misalnya. Setiap semester mahasiswa diminta untuk membuat setidaknya 1 penelitian kecil mengenai subjek yang mereka inginkan. Boleh mungkin sekedar hasil pengamatan, pengumpulan data dll. Jadi setidaknya mahasiswa menjadi lebih terbiasa dengan proses2 penelitian. Jangan sampai kegiatan penelitian adalah kegiatan dari sebuah organisasi kemahasiswaan saja misalnya. Itu sih menurut saya. NB: Mohon maaf sebelumnya jika ada salah kata ataupun kata2 yang dirasa menyakiti. Hanya sekedar mengutarakan pendapat. :)
Masalahnya ada di akomodasi & ekonomi, jujur saya tertarik di beberapa bidang, Science, IT & Desain grafis. Tapi buat kuliah pun gak ada dana, Pinter ? Gak pinter amat. Tapi ada kemauan. Karena kendala dana akomodasi mencari ilmupun jadi terbatas. Alhasil saya kerja di restoran sambil belajar hal yang ingin saya kuasai. Dan waktu untuk menjemput ilmu untuk di share-pun menjadi terbatas. Niatan saya sederhana membawa lingkungan kecil saya jadi lebih bermanfaat. hfft mentok. Tapi yaudalah seengganya alhamdulillah masih punya keinginan dan effort lebih. Buat anak kuliah. Kalian beruntung. Apalagi di ITB. Perhaps sisa uang jajan kalian masih bisa dipake untuk merubah lingkungan sederhana.
langsung subs abis kelar nonton. bagus banget videonya. terimakasih f&c. mungkin langkah kecilnya perpustakaan nasional bisa punya server sendiri buat nampung jurnal, skripsi, thesis, dan disertasi yang bagus sumbangan dari seluruh universitas di Indonesia. menurut gue hal itu bisa bisa bikin data based keilmuan indonesia terangkum dan lebih mudah diakses. jadi buat yang mau akses info ilmiah terbaru ga harus ribet masuk satu2 perpus kampus seantero jawa / indonesia lagi.
Masalah: Kenapa kualitas penelitian Indonesia tertinggal? Hipotesis menurut video ini: 1. Gara2 Belanda 2. Gara2 orde baru 3. Gara2 pemerintah Hipotesis Menurut Yanuar Nugroho - pemerintah: 1. Karena peneliti Indonesia malu-malu melakukan publikasi 2. Kurang tata kelola Kalau hipotesis gue: 1. Memang budaya Indonesia bukan budaya yang rasional dan suka berpikir kritis. 2. Pendidikan di Indonesia semakin memperparah budaya tersebut. Pendidikan hanya fokus pada hafalan dan hasil, bukan pada dasar ilmunya secara real
@@mr.mocakus827 Seperti kasus dukun Ponari danTukang ganda uang kanjeng Dimas, meski tidak melibatkan semua orang indonesia, tapi dapat dianggap mewakili orang Indonesia secara umum karena begitu banyak nya orang yang terlibat. Jelas dari sana kalau orang Indonesia sulit untuk diajak berpikir secara rasional. Mereka semua ingin cepat sembuh dan cepat kaya tanpa mengerti proses biologis maupun ekonomi yang terlibat. Pokoknya instant.
Jujur, ini video pertama dari Frame & Sentences yang saya tonton, and I'm in love. Saya terkesima (subcsribed & notified!:)) Keep doing what you're doing, especially the competent speaker(s)/interviewees (bcs it's THAT IMPORTANT). So, thank you and great job! :)
Karena penelitian di Indonesia itu sebagian besar didasarkan pada "salah satu penuntasan tugas kuliah", bukan pada "dorongan rasa ingin tahu dan mengkaji pengetahuan". Sebagian besar.
Budaya-budaya di sepanjang garis katulistiwa tidak ada yg bersifat eksploratif. Semua dimanja dan bergantung pada alam yg ramah. Seperti kata koes plus, bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu....ikan dan udang mrnghampiri dirimu...Makanya nelayan gk ada yg kapalnya besar untuk melintas samudera...karena gk perlu. Iklimnya statis, pikiranpun jadi statis. Budaya yg memiliki 4 musim lebih dinamis dan menantang. Masyarakatnyapun jadi bersifat dinamis dan inovatif. Mengarungi samudera nyari sumber daya alam...jiwanya eksploratif. Semua bangsa yg maju sekarang adalah bangsa2 yg demikian. Kata kuncinya adalah "eksplorasi". Tanpa itu tdk akan pernah ada penelitian yg bermakna.
beberapa hal yg saya ingin diskusikan bahwasanya munculnya univ2/kampus2 di indonesia *terutama harusnya diinisiasikan memunculkan ilmuwan2 dan cedikiawan2 baru yang mampu mengembangkan keilmuannya dan memberikan konstribusi negara agar bidang keilmuan di negara kita tidak tertianggal jauh dengan negara lain. Saya sadar, seluruh akademisi sudah berupaya untuk menerapkan tujuan dan nilai2 demikian, tetapi saya sadar selalu pelajar dan akademis bahwasanya, tidak semua dari kita yang menimba ilmu di jenjang universitas/akademisi bertujuan untuk menjadi peneliti, ilmuwan dan cendekiawan. Kebanyakan dari kita inginnya belajar supaya lulus, dapat kerja, dapat jabatan, hidup sejahtera..bukan begitu?. Semua kembali ke ego masing2 lagi. Contoh kecil dari pengalaman pribadi saya, dulu ketika saya masih duduk dibangku SD, saya sering mendengar di film/tv istilah ilmuwan/peneliti. Saya tidak tahu bagaimana mendapatkan gelar sebagai ilmuwan tersebut. Ternyta setlh saya beranjak dewasa saya baru sadar bahwa di indonesia istilah lain ilmuwan itu adalah dosen, pendidik, dan semacamnya. Yang disyangkan lagi istilah penggunaan peneliti/ilmuwan jarang kita sematkan, orang awam lebih mengenal dosen dan ilmuwan tersendiri, padahal keduanya berjalan bersama2. Seorang dosen harus selalu mengupgrade keilmuwannya dengan memunculkan penelitian2 baru dan aktif menulis jurnal keilmuwan agar tetap menjaga ke eksistensinya sebagai dosen/peneliti, konstribusi lainnya adalah mengajarkan keilmuawannya kepada anak didiknya. Yang disangkan lagi...yg saya lihat, memang peneliti di Indonesia kurang di eksplore secara luas, kebanyakn masih di beberapa web/media tertentu. Selain itu, terkadang penelitian para peneliti hanya berhenti sampai tulisan saja, tindak lanjutnya berhenti begitu saja, entah karena dana yang tidak ada atau memang karena support dari pemerintah dan swasta di Indonesia yang kurang.
Dunia perfilman juga menyuguhkan anak yang berkacamata dan kutu buku itu pasti dibully, terus mreka cenderung diabaikan . justru anak2 keren itu yg pnya geng, cantik, tampan, modis itu lebih diakui. Jadi jgn heran bnyk generasi skg berlomba2 jdi keren. Mereka lbh suka main tik tok daripada membaca dan kepo2 melihat gejala alam dan sosial 😂😅
Pemerintah gamau ngasih dana riset terlalu besar karena dipikiran mereka hasil dari riset itu bakal membuahkan hasil yang lama, makanya mereka lebih condong mengalokasikan dana buat sesuatu yang langsung keliatan hasilnya, infrastruktur misalnya
hah? itu banyak aktivis2 begitu? mereka bukan termasuk golongan kritis? justru permasalahanya di dana riset, bukan kritisnya. Kritisnya mah udah kebangetan, apalagi org2 ilmu sosialnya
@@lifeisneverthesame910 kan kamu komen nya "kritis". Nalar itu beda lagi. Kreativ itu beda lagi. Ada genose aja dikritik abis2 an. Bukannya pd support crowdfunding buat ngembangin itu penemuan. Org kritis di indonesia udah banyak, tp yg berfikir komprehensif di tingkat multidisiplin masih dikit.
@@user-lr6hw4dq4t dalam konteks sistem pendidikan jelas sekali bagaimana sains diajarkan.. sains diajarkan layaknya pelajaran agama. bersifat dogmatis. ada faktor kultural juga. guru dianggap otoritas kebenaran. proses pembelajaran dilakukan dg konsep transfer pengetahuan. seolah2 seperti flashdisk yg dicolokkan ke komputer.
Idealnya, kesempatan riset terbuka untuk masyarakat umum, bukan hanya akademisi kelompok tertentu. Idealnya pula, alokasi dana riset dapat diakses bukan hanya individu dalam institusi tertentu, namun dapat diakses oleh individu yang tidak ada dalam naungan institusi apapun asalkan individu tsb berkompeten. Idealnya lagi, perlu memperhatikan perimbangan kesempatan riset antara institusi pemerintah dan institusi swasta.
Dulu pada waktu Kuliah dosen punya dana yang dialokasikan untuk projek pengabdian masyarakat, bagus programnya karena keilmuannya bermanfaat untuk orang banyak. Ada kritik juga, beberapa akedemisi untuk menyelesaikan jenjangnya ada syarat buat paper yang dipublish di journal asing namun kurang memperhatikan dampak ke real world. Namun bisa dipahami untuk collect data misal ke BUMN/ industri terkait, untuk keperluan penelitian susahnya bukan main. Oleh karena itu mungkin akademisi kesulitan untuk menyelesaikan gagasannya karena kesulitan data. Perlu adanya link and match antara industri dan akademisi yang dimotori oleh pemerintah. Keep share good content kak Afu..
Sudah banyak jurnal sekelas S1 dan Sinta2 yang bisa diakses gratiis cek google list jurnal sinta 1 atu sinta 2 masuk ke webnya.. Dan sudah banyak diantaranya yg q1 atau q2
Semoga ke depan antara pemerintah, universitas, institut dan lembaga terkait keilmuan sapat saling bersinergi dalam hal peningkatan kualitas penelitian. Selain penelitian yang susah berkembang, jika sudut pandang yang saya lihat masih saja ada ada sistem pe'rangking'an dlm tiap universitas. Seharusnya tiap universitas bukannya malah bersaing untuk ajang gengsi, tapi harus bersama sama melakukan kolaborasi. Contohnya seperti Universitas di Jepang.
Bini gw kerja jadi PNS di lembaga penelitian pemerintah, kata dia. Sebenernya kita udah ngehasilin produk hasil riset dan penelitian sendiri.. masalahnya pemerintah kalo ada proyek pasti g pakek produk hasil riset dalam negeri tapi lebih milih tender perusahaan swasta
Begini, pas orang indo terutama anak" muda berkaya dan menemukan sebuah inovasi terhadap sesuatu yg "mungkin" akan membuat Indonesia lebih maju dan mungkin saja dunia juga malah disepelekan oleh pemerintah dan masyarakatnya yg dimana akhirnya mereka lebih memilih melanjutkan karir dan inovasinya diluar. Anak muda indonesia itu kebanyakan yg terseret oleh hasutan" global dan hasutan agamis padahal masih belum kritis kalupun kritis biasanya malah tersesat nalarnya.
cara termudahnya adalah menjadikan research menjadi kurikulum pendidikan indonesia sejak dini. Hal ini saya rasa perlu karena jujur saya sekarang siswa sma di dalah satu sma swasta di medan dan banyak anggapan bahwa kemampuan research siswa sma itu belum cukup untuk meneliti, dan saya rasa mindset ini yang bakal buat Indonesia ga akan bisa jadi negara pencipta.
Saran kami, dana LPDP yang begitu besar lebih baik diganti ke dana riset dalam negeri. Oke lah kalo kolaborasi riset bareng institusi LN. Lalu, buang make up Class International atau World Class University dengan mengurangi kesenjangan kampus di kota dan kampus di desa. Itu jauh lebih esensial.
Semakin banyak dosen kita dikirim kuliah ke luar negeri mungkin akan semakin bagus kualitas riset dan cara mengajarnya karena mereka terinspirasi dg dosen2 mereka di luar negeri.
Peran akademisi di masyarakat selalu menjadi objek yang diperdebatkan. Banyak yang mengkritik Universitas sebagai menara gading dengan ilmu pengetahuan yang bergerak lamban dalam pusaran intelektual namun tidak relevan dengan dunia “nyata”. Jika jumlah dosen perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 260.333 orang, dengan setiap dosen minimal memiliki satu riset wajib berkelompok sebanyak tiga orang, maka akan ada sekitar 86.800 hasil penelitian setiap tahunnya. Belum lagi jika angka tersebut digabung dengan kegiatan pengabdian masyarakat. Maka, kita akan memiliki sekitar 170,000 metode penyelesaian masalah sosial yang baru setiap tahunnya. Angka tersebut baru didapat langsung dari kedua jenis Tridharma: penelitian dan pengabdian. Sementara dampak lainnya dari pengajaran ke lebih dari 4 juta mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi saat ini. Bukankah sebuah jumlah yang luar biasa? Namun, bagaimana dampak dari output-output perguruan tinggi ini di masyarakat? Dapatkah menjadi driver bagi transformasi sosial di masyarakat atau tetap tersimpan dalam rak-rak usang dan menunggu waktu untuk disingkirkan?. Refleksi tersebut membawa saya pada paradigma scholar-activist atau akademisi-aktivis. Paradigma ini akan mengajak kita, para akademisi, untuk tidak hanya menangkap fenomena dan menteorikan praktek, tetapi juga mempraktekkan teori. Kita akan mulai dengan membahas satu per satu dari definisinya. Definisi “scholar” menurut Merriam Webster (2004), Collins (2005), dan Tilley and Taylor (2014) adalah “orang terpelajar”, “bagian dari institusi pembelajaran, sangat terpelajar namun minim penguasaan praktek”, “ahli pada laboratorium atau tempat-tempat terisolasi lainnya”, dan “mengumpulkan ilmu pengetahuan yang esoterik” . Esoterik artinya “hanya dipahami oleh kalangan sejenisnya”. Scholar sering dilambangkan dengan lambang burung hantu (owl). Dalam mitologi Yunani, burung hantu melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun burung hantu juga selalu keluar di malam hari, mengintai dunia dalam senyap, mengobservasi dari ketinggian, tidak berinteraksi langsung dan berjarak. Begitulah bagaimana akademisi digambarkan di luar sana. Sementara definisi aktivis menurut Merriam Webster (2004) dan Conway (2004) adalah mereka yang terlibat dalam pergerakan sosial yang “berharap untuk mengubah dunia dan percaya bahwa manusia merupakan sentral dari perubahan tersebut”. Selama ini, terdapat distrust antara aktivis ke akademisi dan begitu pula sebaliknya. Aktivis beranggapan bahwa akademisi adalah orang-orang yang tercerabut dari akar sosial (socially detached), memiliki kemewahan intelektual dengan akses-akses ke sumberdaya yang lebih baik, gaji penuh dan keamanan pekerjaan yang terjamin. Sementara akademisi beranggapan bahwa kerja-kerja aktivis adalah pekerjaan yang tidak terstruktur, tidak terukur outputnya, rawan kepentingan politik dan menguras energi dan menghabiskan banyak waktu. Sederhananya, terdapat gap besar antara akademisi dan aktivis. Akademisi tempatnya di atas (menara gading), sementara aktivis adalah mereka yang membumi. Paradigma scholar-activist mencoba menjembatani akademisi yang ada di menara gadingnya, dengan aktivis yang lebih “real”. Akademisi diajak untuk menyelami persoalan-persoalan nyata yang ada di masyarakat. Menjadi scholar-activist berarti menghibahkan diri untuk selalu berbagi waktu dan pengetahuan ke orang banyak, terlibat dalam pertemuan-pertemuan tak berujung dengan komunitas, dan berkontribusi untuk pencapaian tujuan sosial yang lebih besar. Scholar-activist tidak hanya menangkap fenomena di masyarakat, namun juga melakukan intervensi terhadap masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, dan memastikan bahwa perubahan terjadi lewat intervensinya. Scholar-activist bukanlah akademisi bermental penumpang gelap (free rider) yang fokus pada tujuan-tujuan jangka pendek, namun mereka yang bervisi besar dan melakukan banyak hal untuk membuat perubahan di masyarakat. Muhammad Yunus adalah salah satu contoh scholar-activist. Muhammad Yunus awalnya adalah professor ekonomi di Chittagong University. Objek observasinya adalah para pengusaha mikro di Bangladesh yang memiliki akses modal terbatas dan tidak bankable. Alih-alih hanya melaporkan fenomena tersebut pada jurnal ilmiah, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberikan kredit lunak bagi para pengusaha mikro. Di tahun 2006, Yunus mendapatkan Nobel Perdamaian dengan Grameen Bank nya. Di masa di saat kita, para akademisi, dijejali oleh berbagai tugas administratif yang melelahkan. Dimana kita dilihat sebagai deretan angka, diukur dari jumlah kehadiran dan publikasi jurnal yang kita hasilkan. Alih-alih bertanya, “seberapa Scopus” kah kita?, bagaimana jika kita bertanya “seberapa berdampak kah kita?”. Bukankah mencengangkan melihat bagaimana perubahan sosial akan terjadi jika kita, akademisi, membuat impact (dampak), dan bukan hanya impact factor seperti pada jurnal-jurnal Scopus. Make an Impact, not only an Impact Factor. Artikel yang ada di jurnal-jurnal Scopus ini adalah pengetahuan esoterik, yang hanya akan dibaca dan didiseminasikan ke rekan-rekan sejawat. Untuk sampai ke masyarakat, mungkin perlu jutaan tahun cahaya. Kita bisa mempercepatnya dengan menjadi scholar-activist. Satu kaki menjejak di kampus, satu kaki lagi menjejak di luar sana. Kiranya, sepenggal puisi “Sajak Sebatang Lisong” dari WS. Rendra masih relevan dengan kondisi saat ini: “Diktat-diktat hanya boleh memberi metode , Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, Keluar ke desa-desa, Mencatat sendiri semua gejala, Dan menghayati persoalan yang nyata, ………………………………………………………………………………… Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan” (WS. Rendra) Para akademisi, turunlah dari menara gading!. Keluarlah dari sarang emas untuk berkontribusi lebih banyak lagi bagi negeri. Cukuplah jadi penonton, jadilah scholar-activist, mulailah perubahan.
Jelas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia mengenai ketimpangan SDM, fasilitas, dan dukungan industri tidak akan pernah terselesaikan selama regulasi Pemerintah tidak berpihak sama sekali mengenai peningkatan harga diri dan daya saing SDM Nasional !! Selama ini, dukungan pemerintah sangat setengah hati dalam penentuan anggaran riset, penentuan tema yang kaku, dan sumber funding yang sangat terbatas. Belum lagi ketimpangan anggaran yang ada antara LPNK dan Universitas yang terlalu mencolok ! Sedangkan di Universitas sendiri juga muncul disparitas anggaran riset antara Kampus BHMN, Non-BHMN, dan Swasta. Jelas kacau balau ! Sangat rindu dengan Pimpinan negeri yang sangat berpihak pada Riset dan Pengetahuan Indonesia....
Kenyataannya RIRN justru semacam jadi pembatas untuk tema-tema riset masa depan yang "mungkin" lebih advance dan sedang "hot" dalam kontes scientific global. Terbukti pada penunjukkan penerima dana riset Insinas yang dari tahun ke tahun cuma pengulangan dan riset jodoh-jodohan tanpa dasar scientific yang baik dan studi literature yang lengkap, bahkan perisetnya sendiri tidak kompeten (tanpa track record dan dasar keilmuwan) di bidang tersebut.
Coba riset itu disentralisasi bukan di dunia perkuliahan yang banyak tradisi plagiarisme-nya. Riset itu gagasan utamanya kan originalitas. Kalo mau di dunia perkuliahan, dosennya yang lead riset agar mahasiswa terbiasa dengan sistematikanya dan tahu apa pentingnya riset serta ekspektasi dari sebuah riset. Sekarang skripsi kan individual, biaya sendiri, ketemu dosen juga seringkali susah, ga ada jaminan mutu, dan kurang ada pelatihan intensif menulis riset. Syukur kalo emang mahasiswanya niat mengerjakannya, tapi kalau hanya terpaksa demi bisa lulus, ujungnya ya hasilnya antara riset yang isinya hampa dan repetitive (tidak punya nilai tambah pada literature-nya), atau riset yang disadur dan di-parafrase dari yang lain. Saya struggle dengan skripsi selama hampir dua tahun karena malas, tapi terlebih juga karena tidak ada pelatihan yang membuat saya paham apa itu riset, dan selama waktu tersebut, tidak ada pihak dari kampus yang approach saya untuk menawarkan bantuan. Ketika saya akhirnya mulai serius untuk menyelesaikan skripsi, saya selesaikan semuanya mulai dari pengumpulan data, olah data, hingga sidang selama hanya 3 bulan kurang lebih, namun saya tidak bisa katakan skripsi saya punya nilai tambah. Alhasil, setelah lulus, saya tidak pernah menyentuh lagi skripsi saya, let alone riset, karena riset di perkuliahan saya hanyalah syarat lulus kuliah, bukan dorongan untuk mengkaji pengetahuan yang lebih luas.
love this video. extremely educational and well-researched. as a teenager, I would be lying if i said i never feel frustrated with my own country because as a child; i wonder why our country isn't well developed. then again, there's always a light at the end of the tunnel (if we're willing to work hard, stay resilient, and move towards it).
Walaupun riset sebagai penemuan2 baru dalam ilmu pengetahuan diperlukan, tapi menurut saya riset yang dapat menunjang kegiatan bernegara kita juga masih sangat perlu dioptimalkan lagi. Pemecahan masalah yang tidak sepenuhnya berdasarkan evidence based bukan hanya dikarenakan pemimpin yang bukan akademisi, tetapi juga dikarenakan riset di negeri sendiri belum dimasukkan dalam satu wadah yang dapat di akses seluruh lini masyarakat, sehingga dapat menjadi acuan dalam pencarian solusi berbagai permasalahan. Kita bisa mencari referensi riset daerah atau negara lain, namun tentu saja hasil bjsa berbeda karena perbedaan lingkungan, dan faktor2 lain. Dan lembaga yang memiliki kewenangan besar dan dapat menggerakkan adalah pemerintahan. Sehingga peran pemerintah sangat penting dalam mendukung dan mewadahi kegiatan ilmiah ini. Juga tentu saja untuk memecahkan masalah2 di pemerintahan dari pusat hingga tingkat kelurahan sekalipun.
Pengarsipan yang baik untuk referensi data riset, akses data, aspek politik, institusi/komisi ethic yang melindungi peneliti dan mengatur masalah ethic dalam riset...itu masih jadi masalah. Perlu diingat, jurnal-jurnal yang ada 1800-awal 1900 itu milik Pemerintah Hindia Benlanda. Penyelenggaranya adalah mereka.
Menurut saya, instansi pendidikan seperti sekolah dan universitas memiliki peran penting untuk membangkitkan semangat 'rasa ingin tahu' dan memfasilitasi para pelajar dengan cara berpikir yang 'masuk akal' serta kritis. Saat ini nampaknya orientasi nilai mengaburkan fungsi pendidikan itu sendiri. Contohnya, "skripsi selama ini hanya dilihat sebagai syarat kelulusan bukan sebagai kontribusi riset berharga bagi dunia akademik yang patut untuk diarsip dengan baik agar sustainable. Padahal pada era modern global seperti sekarang, kesempatan bagi individu pun untuk mulai melakukan 'riset dasar' untuk memperdalam ilmu tertentu tak lagi sulit, sehingga riset sendiri tak lagi hanya ihwal kelembagaan saja tapi juga bagian dari cara hidup sehari-hari. Tentu saja hal ini bisa dicapai secara maksimal dengan kemampuan literasi dan kerangka pikir yang baik, suatu hal yang bisa ditanam oleh instansi pendidikan bahkan sejak usia dini. Anyway, Thanks so much for sharing Kak Afu dan Kak Wikan. Ditunggu video F&S yang baru hehe
Bagus banget isinya. Intinya, semua bisa menjadi lebih baik apabila fokus pendidikan adalah membangun kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Bukan sekedar penanaman nilai-nilai baik yang kadang salah cara.
Dri umur 14rthn gw tertarik penelitian dibidang sosiologi/antropologi/psikologi, masuk SMA gw harap bakat gw keasah dengan tenaga yg gw anggap "profesional" dgn lugunya.. eh malah ditelantarin kaya penelitian gw hal gk guna dan gk butuh di kasih sorotan ok mungkin berlebihan.. seenggaknya kasih gw bimbingan dgn baik god damn!!
Halo, saya masih sangat awal jika membahas tentang penelitian karena saya seorang mahasiswa baru. Saya sangat setuju dengan video tersebut, terbukti saat mencari jurnal-jurnal penelitian dengan akses terbatas untuk beberapa region, nama negara Indonesia tidak ada dalam kolom negara yang dapat mengakses jurnal-jurnal tersebut. Padahal, negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia sering muncul dalam daftar. Menurut saya, ini menunjukkan bagaimana negara kita 'sedikit' tertinggal dari negara ASEAN dan secara garis besar kurang mendapatkan dukungan untuk dapat mengembangkan riset. Dukungan antara lain dari segi sumber dana dari pemerintah, dari swasta yang tertarik dalam lingkup tersebut serta dari sumber daya manusianya yang saat ini cenderung mengejar gelar daripada mengembangkan hasil riset untuk pengkajian di masa depan. Sekian pendapat saya, jika ada yang kurang berkenan mohon maaf karena saya masih baru belajar, terimakasih.
Dari pengamatan dan pengalaman yang saya alami berkenaan dengan penelitian, menurut Saya hasil-hasil riset yang dilakukan sebaiknya dipublikasikan dan terdokumentasi ditempat yang mudah diakses sehingga menghindari kemungkinan overlapping. Namun sebagus apapun hasil riset bilamana hanya disimpan dan tidak bisa diimplementasikan maka tidak akan ada gunanya. Selain itu untuk Rencana Induk Riset Nasional memang harus sinergi dan terkoordinasi sehingga potensi kualitas penelitian secara komprehensif akan memberi sumbangan bagi kemajuan dalam lingkup implementasi dalam mewujudkan output dan outcome yang pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan dan daya saing. Penelitian perlu keseriusan dan kesungguhan serta dukungan berbagai pihak terkait sehingga terkondisikan gairah untuk menghasilkan penelitian bermutu yang membanggakan. Memang untuk kesempurnaan penelitian dan mutu perlu upaya supporting dan koordinasi diperlukan pendanaan yang tidak sedikit akan tetapi lemah dan tiadanya penelitian yang bermutu dan hasil nyata yang dirasakan menimbulkan kemunduran yang merugikan dalam jumlah dana lebih besar. Mungkin komentar saya dapat dimengerti kepada para pembaca sekelian untuk mewujudkan kualitas penelitian yang konrit yang bermanfaat bagi kehidupan. Terima kasih.
Dana riset ditanggung oleh pemerintah memang ada baiknya karena negara memiliki dana yang besar. Tetapi lebih baik lagi kalau riset tersebut berhubungan langsung dengan dunia usaha dan industri. Kenapa? Karena pemerintah harus fokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan kestabilan dan keamanan negara. Lalu apakah negara atau pemerintah telah salah dan mengabaikan masalah RnD? Tidak... karena kebutuhan RnD itu baru bisa disadari bila negara aman dan stabil. Lalu, siapa yang seharusnya mengurus masalah RnD ini, jawabannya sebenarnya adalah pengusaha, terutama pengusaha-pengusaha yang memiliki visi long term ke depan. Contoh paling mudah, Pak Dahlan Iskan dengan visi mobil listriknya di tahun-tahun sebelumnya. Pengusaha atau Entrepreneur yang mengikuti perkembangan seluruh dunia dan melihat peluang tentang RnD apa yang harus difokuskan lah seharusnya mengurus dana riset ini. Jangan sampai dana tersebut habis untuk riset yang tidak berguna dan sia-sia... misalnya riset untuk mengejar teknologi handphone 5G misalnya... pada saat riset berlangsung... bisa2 6G udah selesai diriset ilmuwan luar negeri. Gak usah juga target-target dapat hadiah nobel dan mendunia deh... yang penting berguna aja bagi masyarakat.
Memang permasalahan pendidikan punya banyak lubang yang perlu dijahit sana-sini. Mulai dari kesadaran terhadap pendidikan, kemiskinan, pendanaan, kualitas pendidikan dll. Untuk itu semua elemen perlu bersama-sama menciptakan ekosistem perkembangan ilmu pengetahuan yang baik dan saling mendukung. Bagaimana bisa berjalan bersama-sama? Disinilah peran pemerintah untuk memberikan visi dan pandangan kedepan seperti apa, sehingga lapisan yg lain berjalan untuk mendukung hal tersebut.
Konten berkualitas, runut penjabarannya, logis. Indonesia belum mencapai perangai ilmiah. Sejarah menunjukkan peneliti di indonesia tidak bebas, di administrasi pemerintah, berbasis proyek, tidak organik, berdampak kualitas penelitian menurun. Hipotesisnya adalah untuk mencapai perangai ilmiah (baik produksinya dan distribusinya), dilakukan dengan penelitian yang bebas dan distribusi yang tepat. Dari segi produksi. Pihak privat sebetulnya akan semangat jika bagi mereka adalah keuntungan. Pemerintah bisa membeli jasa/data dari pihak privat yang menggunakan teknik yang sophisticated, meng-encourage privat untuk mengembangkan produknya melalui risetnya. Banyak cara. Tapi menurut saya, kalau mau organik, ya kembali ke akademisi, mau ga mau institusi pendidikan harus dibenahi. Encourage anak muda biar tetap idealis. Dari segi distribusi keilmuannya. Tantangnya adalah kontrol dan salah satu caranya menangkal sesat ilmu adalah yg punya ilmu harus bunyi lebih kuat. Aktif juga menyampaikan wawasan yang logis.
Semua dimulai dengan dana riset raksasa dari pemerintah. Harus berstandar internasional dan mengejar publikasi ternama kelas dunia. Secara perlahan swasta pun ikut terlibat dan bahkan ikut mengeluarkan uang karena mereka bisa gunakan fasilitas riset pemerintah. Itu yang terjadi dalam kolaborasi pemerintah-swasta di luar negeri, termasuk di Inggris.
Juga menjadi momok istilah 'Basic Research' tatkala dihadapkan pada peneliti pemula yang masih pada tahap telaah pustaka dan observasi realita ia sendiri, maka peneliti pemula akan dihadapkan pada pendapat-pendapat para profesor di mana ia berpegangan pada bahan literaturnya sendiri. Memang benar adanya, tetapi setidaknya dia akan mengalami variabelnya di kampungnya sendiri. Bukan di kampung sang professor penulis buku. Sehingga meski jawabannya tidak kuat dan hampir tak mungkin digunakan, hal ini akan memicu budaya riset. Seharusnya, disediakan ruang seperti ini, ruang kalau diistilahkan sand box. Sehingga terbangun komunitas seperti prof di atas katakan.
Dalam filsafat ada yg disebut pragmatisme, aliran filsafat yang mengganggap sesuatu itu adalah pengetahuan (kebenaran) bila sesuatu itu bermanfaat bagi masyarakat, nyata, dan konkrit. Diluar itu, bukanlah kebenaran/disangsikan. Artinya bila riset2 itu tatarannya pada pemikiran, namun tak memiliki manfaat praktis entah keuntungan berupa profit, jabatan, rating, maka ia akan disangsikan sebagai pengetahuan terutama bagi ilmuwan yg beraliran pragmatisme. Jadi, cara berpikir semacam inilah kebanyakan yg terjadi di masyarakat, termasuk dalam birokrasi. Atau desakan lingkungan (bahkan dari keluarga atau kawan2 dekat) yg pragmatis membuat muara cara berpikir sedikit banyak akan terdorong ke arah tersebut, termasuk semangat melakukan riset..
Saya setuju banget nih, sebagai Ilmuwan yang turut belajar waktu di kampus terkait Filtrasi Jerami Nanokomposit harus mentok di perpustakaan. HAKI sudah dibuat, tapi market dan industri masih belum ada Business Matching antara hasil penelitian ke arah komersialisasi industri.
Indonesia aslinya mempunyai banyak peneliti muda, tetapi ketika sudah membuat penelitian dan meminta dana untuk publikasi jurnal ilmiah, seringkali pemerintah pusat tidak memberikan dana untuk publikasi ilmiah terlebih yang mengajukan itu tidak mempunyai gelar / hanya sebatas mahasiswa. Menurut saya mungkin karena peneliti bukan dari kalangan dosen atau guru besar. Maka dari itu, tidak punya akses untuk dana publikasi ilmiah. Karena untuk meminta Dikti dana publikasi ilmiah harus menggunakan NIP/NIK, dosen lebih mempunyai peluang besar daripada mahasiswa untuk mendapatkan dana publikasi ilmiah. Ini berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi menurut saya percuma saja membuat penelitian tetapi dana untuk publikasi saja nyendat.
kek nasib pencipta mobil listrik, rumus tambang minyak dan 4g yang dimana sekarang mereka merasakan nasib sial sebagai ilmuwan yang teori/ilmunya tidak dipakai dan tidak dikembangkan oleh WNI sendiri
Konten seperti ini sangat penting. Penelitian seyogyanya digunakan sbgi basis dasar tambahan kebijakan masyarakat. Biar lebih membumi. Hasil" penelitian, skripsi misalnya tdk hanya dijadikan pajangan atau instrument penaik akreditas kampus. Tp pemerintahan jg mesti turut mengikutsertakan hasil" penelitian tadi dlm instrumen pengambilan keputusan. Selain itu, penting jg sih buat menjauhkan kepentingan elit partai masuk ke ranah penelitian.
Indonedia memang butuh manusia yang cerdas dalam arti bisa menatap mada depan yang lebih baik dan maju melakukan lompatan riset riset dari segala hal dari barang sekecil apapun sampai yang tercanggih, seperti alat tahanan listrik yang kecil sampai manufaktur yang bisa menguasai angkasa luar. Kumpulin para ahli anak bangsa ini betbuatlah untuk negara, itu berjuang di zaman sekarang da jangan cuma adu mulut tapi kerjanya nol. Srmangat anak negeri jangan mudah kena profokasi yang cuma hayalan semata. maju indonesia.
Revolusi Mental. Redaksi yg pondasional dari Pak Presiden. Mari terjemahkan bersama. Pak Yanuar saya sarankan utk menggali dulu pondasi ini. Karena sebesar-besarnya resources yg terakumulasi, tanpa pondasi yg kuat in the long run akan mengancam the sole existence of the Nation itself. May God bless Indonesia. Aminnn
Dukungan harus entah itu dana, kebijakan, iklim politik dan lain sebagainya. Selain itu yang paling penting jangan berambisi mengontrol riset. Bukankah tadi secara historis sudah dijelaskan. Riset Indonesia sulit berkembang karena pemerintah kolonial melakukan kontrol ketat dan mengarahkan riset semata untuk kepentingan ekonomi kolonial. Hasilnya ilmu pengetahuan khas Indonesia tidak berkembang. Yang ada hanya riset untuk penguasa dan para penilitnya pun jadi peneliti birokrat yang hidup dari proyek pemerintah. Video ini bagus karena dimulai dari ulasan historis. Sayang di akhir karena yang berbicara dari staf kepresidenan ya jatuhnya blue print riset Indonesia tujuan utamanya adalah menterjemahkan visi presiden walaupun juga dijelaskan tidak menutup kemungkinan penelitian di luar itu.
Kenapa keilmuan di Indonesia kurang bisa bersaing, mungkin salah satunya karena budaya keilmuannya sudah tercampur dengan budaya cari profit sudah bukan based curiousity or mass needed. Dan konsumsi masyarakat dr media yang mampu menjungkirbalikkan logika yg notabene tools terpenting dalam bidang keilmuan.. semoga Indonesia lekas sembuh dan kedepan semakin baik. Btw thank you for your adorable content. Thumbs up! 💕
Gw nih penelitian pake metode konvensional. Susah dah cari jurnal yg zaman skrng yg pake metode konvesional. Soalnya kata dosen gw kalo lu penelitian pake metode modern trus kalo lu scale up dan bawa penelitian lu ke daerah yg listrik aja susah, gimana noh mau dimanfaatkan penelitian lu. Gitu sih kata dosen gw. Dosen gw udah Professor dan doi juga punya perusahaan, jadi gak teori doang tapi juga dipraktekin. Makanya gw pikir ini bukan kemunduran tapi mundur sebelum nyerang (apa ya istilahnya gw lupa). Tapi emang sih alat2 di univ. gw bapuk bgt. Fakultas gw miskin cuy. Semoga pemerintah ngasih kucuran dana ke pendidikan terutama fakultas gw. Aamiin.
Great video. Terima kasih atas videonya, sangat mencerahkan. Kalau pengalaman saya pribadi dan yang saya rasakan selama mengenyam pendidikan. Sedari SD sampai kuliah, saya lebih merasa jika murid mayoritas dituntut untuk menghapal materi, bukan untuk membentuk cara berpikir kritis. Saya dari kota kecil, di kelas suasana belajarnya lebih ke satu arah. Guru mengajar, murid diajar. Jarang sekali terjadi diskusi. Murid cenderung enggan atau takut untuk menyuarakan pendapat karena biasa ditertawakan, atau bahkan dianggap membantah dan dimarahi oleh guru. Ini terjadi saat saya dari kecil dan terus terjadi sampai di tingkat kuliah. Mungkin karena masih banyak tenaga pengajar yang tidak mau terlihat ‘salah’ di depan muridnya, padahal ini bisa menjadi suatu kesempatan untuk diskusi sehat di kelas. Alhasil murid menjadi pasif dan tidak terlatih, atau tidak mau berpikir kritis karena tidak pernah diapresiasi secara positif. Ini termasuk waktu skripsi. Mayoritas hanya mengerjakan skripsi untuk syarat kelulusan? Mengapa? Karena kita tahu bahwa penelitian kita paling paling hanya berakhir di perpustakaan. Jarang yang ingin melanjutkan risetnya lebih lanjut.
penggiringan opini yang baik untuk membuka mata masyarkat luas akan pentingnya suatu penelitian, semoga kedepan bisa ada literatur nutrient requirement untuk ternak asli Indonesia. menurut kami dukungan penuh dari pemerintah penting karena hanya pemerintah yang dapat menggelontorkan dana triliunan untuk penelitian dan mereka berkewajiban untuk mempublikasikan,sedangkan bila dipegang pihak yang lebih privat atau swasta akan lebih tertutup untuk memberikan informasi hasil penelitianya. sekedar pendapat dari kami, semoga bermanfaat terimakasih.
Untuk skrg, dosen pun menggunakan mahasiswa sebagai "tools"nya untuk riset. Kalo otonomi pendidikan dijalankan dan sektor privat mendukung serta ilmuwan Indonesia juga turut membantu, aku yakin Indonesia bisa bergulat ditatanan riset kelas dunia. Harus ada pemicunya, harus ada yg sustain, dan harus konsisten.. Impian World Class University bagi beberapa kampus bukan hanya sekedar mimpi apabila faktor2 diatas dapat diwujudkan atas nama pendidikan dan kemajuan Indonesia
Harusnya Antara kalangan pemerintah dan ilmuan harus bersatu, dimana Pemerintah sebagai faktor pendukung untuk Ilmuan & Pemerintah harus mengambil dasar keputusan dari hasil penelitian atau riset para ilmuwan. Jangan hanya bangun-bangun dan bangun.
Keren banget videonya. Dengan adanya jurnal jurnal ilmiah yg konteksnya di indonesia itu bisa menjadi basis rujukan yg kuat. Saya yakin banget ini bakal membantu juga rencana pengembangan SDM Nasional untuk 5 tahun ke depan
Keren nih videonya, Kalo menurut saya, lembaga riset pemerintah dan private dibuat bersaing aja tapi harus dengan pemerintah yang tidak memihak kalau dana untuk riset sebesar itu dipakai sebagai perangsang untuk lembaga riset, sudah pasti persaingan untuk menghasilkan yang terbaik dan tepat guna menjadi lebih intens, hasilnya yah keuntungan untuk negara dan rakyat. pemerintah ga usah malu lah ambil contoh dari negara maju tentang bagaimana mengembangkan riset. ada banyaklah orang Indonesia yang punya kapabilitas untuk menghasilkan jalan keluar tapi mindsetnya sudah terbentuk "disini ga bakalan dihargai lebih baik jual keluar", "pemerintah tidak mau mengakui sakitnya" saya setuju dengan ini. yang parahnya lagi tampilan politik di Indonesia tidak menghasilkan jalan keluar untuk permasalahan bangsa dan negara tapi menampilkan olok-olok dari masing2 pihak. sukses terus buat channelnya mbak, Indonesia pasti bisa maju.
Kak Afu, aku kerja di BPPT. Aku setuju sama the whole point in this video, tapi ada beberapa hal yang mungkin belum diketahui banyak orang. Memang betul riset Indonesia belum mendunia, tapi dari BPPT sendiri, sudah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan dalam 5 tahun terakhir. Banyak produk-produk dalam negeri yang telah berhasil diciptakan untuk meningkatkan TKDN dan mengurangi impor. Mungkin temen-temen yang lain bisa cek di website BPPT.
Saat ini kita peneliti ingin sesuatu yang poinnya adalah untuk memajukan riset di seluruh tingkat akademisi dan peneliti di Indonesia dengan berbagai background riset. Kondisinya sekarang ini masih sulit diimplementasikan. Mungkin hal ini bisa jadi masukan bagi BPPT dan lembaga lainnya untuk dikoreksi. Terima kasih ya mbak atas concernnya 🙏
Sayangnya kalau di bidang bioteknologi dan agrikultur kayak di TAB, riset BPPT kita berprogress sih tapi cenderung lambat dan masih biasa aja kualitasnya kalau dibanding negara lain 😞 Banyak proyek/penelitian yg tumpang-tindih sama K/L lain dan ngga efisien--yg juga ada karena ego sektoral. Inovasinya juga gitu-gitu aja, sebenarnya karena perekayasa kita diributkan sama banyak hal, seperti rebutan dana insentif, RB, administrasi, dll. Ini ngga cuma dialami perekayasa, tapi juga dosen dan peneliti seluruh Indonesia apapun afiliasi organisasinya 😥
makanya model pembelajaran abad 21 penting bgt buat anak2 muda di indonesia...seperti project based learning, stem sehingga anak2 terlatih untuk jadi researcher...tetapi model tersebut harus bener2 dipublikasikan...sedihnya guru2 pns di indo bahkan ga tau model tersebut...sedih...sejauh ini model tsb masih diterapkan di sekolah inter dan nasional plus ya pokoknya swasta.... mudah2an mantinya banyak generasi indonesia yg mempelajari model pembelajaran sehingga indo bs menghasilkan murid2 yg bisa jd researcher
YANG PERNAH RISET PAKE DANA SENDIRI MANA SUARANYA?
:)
Rata2 yg nykripsi dan nhesis rogoh kocek sendiri
@@anakagung7613 cari sponsor Dari luar negri kadang juga lebih mudah daripada ribet daftar pendanaan di negri sendiri :')
@@yusniafterwave9903 ya seperti yang saya alami, lebih banyak yang didapat kalo sponsor dari luar daripada dalam negeri sendiri
Dana dari ortu kehitung ga?
Buat penikmat ilmu pengetahuan seperti aku, video ini seperti kue yang pas dimakan. Cita rasa enak, harga terjangkau, dan halal. Citarasa bisa dimaknai dengan apa yang ingin disampaikan sangat mudah dipahami, harga terjangkau dimaknai dengan gaya penyampaian bertutur yang tidak membosankan, halal dimaknai dengan basis informasi yang disampaikan sangat ilmiah dan berbasis argumentasi keilmuan. Meski ada opini yang dibangun, tetap menyajikan fakta atas opini. Menjura hormat deh buat kretifitasnya untuk Indonesia!
Halo, Kak, kebetulan saya berkecimpung di penelitian Bioteknologi. Saya pernah joint-research 6 bulan di lembaga riset pemerintah Thailand NSTDA (lupa kepanjangannya, mungkin bisa Google langsung hehe) dan sungguh ketika di sana membuat saya sadar kalau riset kita di bidang bioteknologi itu masih jauh dari maju bahkan dibandingkan dengan sesama negara ASEAN. Secara umum yg saya lihat dari organisasi dan kinerja mereka adalah:
1. Dana yg besar dari Raja Thailand dan pemerintah. Ngga tau sih jumlahnya berapa. Tapi yg jelas dana untuk sarana prasarana alat dan bahan bukan lagi jadi masalah mereka--yang kalau di negeri kita ini masih jadi masalah utama.
2. SDM yg mumpuni, mereka sudah ngga menerima sarjana untuk bekerja di lembaga riset. Minimal Master. Gaji untuk mereka juga cenderung tinggi bahkan untuk tenaga outsourcing/honorer nya. Kalau dibandingkan dengan Indonesia waktu saya masih jadi outsourcing di BPPT, perbandingannya 1:4 lebih besar di sana. Jadi di sana peneliti dan staff pembantu peneliti juga sejahtera. Well, peneliti Indonesia (yg PNS) juga punya tunjangan kinerja tinggi sih.
3. Sarana prasarana yg menunjang baik. Di sana sebagai contoh paling simpel, sistem LANnya sudah bagus to the point untuk ngambil data dari alat A di Gedung A, kita ngga perlu capek-capek mindahin via USB atau Internet Drive. Semua bisa akses lewat folder LANnya masing-masing. FYI, kalau di lembaga penelitian kita, rata-rata sih masih manual ya. Alat juga terbatas, ngga jarang rebutan loh sementara tuntutan capaian kerja banyak. Ini mungkin yg membuat kerja mereka lebih efisien.
Di sini, ibarat kata disuruh mencapai goal A, tapi ngga disediakan fasilitas dan metode yg direct karena keterbatasan biaya. Ujung-ujungnya yg dipakai metode konvensional lagi 🙁
Oh ya, di sana R&D perusahaan besar juga udah gabung di satu area Techno Park NSTDA (macam PUSPIPTEK gitu lah). Ngga main-main loh, ada perusahaan daging gitu yg terkenal (semacam So Good di Indo).
Ah ya, karena mereka di satu cluster dan letaknya berdekatan, kolaborasinya lebih gampang. Waktu itu saya pinjam alat dari direktorat lain, dan mekanisme pinjam-meminjam, juga energi yg saya gunakan untuk pergi ke tempatnya mudah hehe.
4. Organisasi lembaga mereka itu terdiri dari kalau ngga salah Governing Board, Executive (dimulai dari Direktur Kepala sampai Deputi), dan International Advisory Committee. Nah, yg menarik Governing Boardnya ini terdiri dari 3 unsur, disitu ada 1) menteri-menteri terkait semacam menteri pendidikan, menteri perindustrian, menteri riset dan teknologi, dll; 2) Rektor universitas; 3) Perwakilan dari pelaku industri. Governing Board ini yg menentukan arah kerja Executive. Jadi tiap periode mereka menentukan arah penelitian yg itu mengikat seluruh pihak. Contoh, untuk industri kertas, kalau Governing Board udah bilang industri kertas kita harus lebih hijau dengan teknologi enzim, maka NSTDA mengembangkan enzim yg aplikasinya didukung sama industri kertas besar di Thailand. Mitra mereka juga perusahaan perusahaan besar kayak PTT (seperti Pertamina) kalau di Indonesia kita disuruh cari mitra industri sendiri tanpa ada dukungan regulasi pemerintah, sementara industri juga punya R&D sendiri dan mereka cenderung tertutup, efeknya kita mengembangkan sesuatu yg jauh dari kebutuhan industri. Selain itu haluan penelitian universitas juga mendukung. NSTDA punya lab kerja sama di universitas yg mana mahasiswa melakukan penelitian di sana.
Menurut saya sih untuk bidang ilmu alam, kuncinya ada di Governing Board. Negara berhak menentukan arah penelitian, tetapi juga harus bisa mendanai dan menjembatani. Tapi kalau untuk ilmu sosial, kayaknya lebih baik dibebaskan hehe soalnya kalau sosial kan lebih hmmm dinamis gitu ngga sih?
makasih kak utk penjelasan ny yg panjang.😊😊
Salam kenal kak.. saya mw jd peneliti juga.. skrg mahasiswa tingkat akhir.. penlitian di PPF lipi.
minat/arah/tema penelitian sebaiknya tidak ditentukan oleh orang lain... saya pikir ilmu adalah hak perorangan. Signifikansi penelitian dapat dilihat dari jurnal tempat publikasi tersebut.
No, ilmu sosial juga sangat penting yang bahkan sistem pendidikan itu sendiri harus ditentukan oleh tipe antropologi kita sebagai manusia Indonesia. Kalo tdk seperti skrg ini, kita tak tahu model sistem pendidikan apa yg sedang kita gunakan.
Pendekatan / metode pendidikan yg kita gunakan skrg kurang sesuai untuk orang Indonesia yang konon ber-stereotype "Layback Generalist".
Berbeda kasus dg Botanical Scientist. Sy hanya menjabarkan betapa pentingnya Ilmu Sosial yang mana risetnya didanai dg sangat minim jg.
It feels like you have visited heaven, too cool to be true here :(
BECAUSE WE ARE TOO FOCUSED ON POLITICAL SH*T INSTEAD OF SCIENCE
*Religious Shit
Yg penting jago bluffing dan menyakinkan. Kenyataan data yang valid mah diurutan sejuta
@@sepaksemprul What can I say, communication skills are really useful.
@@fakuri913 apa
@@fakuri913 lu kira agama itu shit? emang lu lahir kagak pake agama? elu hidup kagak pake pedoman beragama ya?
Keren banget videonyaa!!
Menurut gue sih riset di indonesia nggk maju soalnya cita cita itu mati ketika mereka di kampus, tanya maba itb, gue yakin 90% mau jadi ilmuwan, terus tanya mereka yang tingkat akhir, gue yakin 99% bilang mau kerja aja.
Yang salah dmana?
betul, iklim universitas ga memprovide diri untuk jadi scientific dan critical. skripsi pun hanya sekedar. yang penting "sesuai aturan" bukan konteks penelitiannya. sedih sih kak afu, gue yang ga punya banyak priviledge harus kerja keras lebih untuk mengakumulasi pengetahuan dan cara berpikir sistematis dan berlogika yang benar. karena miris banget kenyataannya lingkungan pendidikan ga mensupport itu. gue berusaha sangat keras untuk keluar dari cara sistem pendidikan yang kayak gini. semua dicetak cuma jadi budak kapitalis bukan sebagai manusia yang otentik
iya.. saat aku mau idealis sama skripsiku.. tp terhalau beban akademik dan yg pling penting jurnal2 pendukung lbh banyak dr luar
Benar, sewaktu saya mengerjakan skripsi tentang riset bahan komposit, kampus tidak bisa menerima judul skripsi seperti ini, mereka (dosen) bilang tidak ada manfaatnya dan tak ada hasil berupa produk! Maka dari itu saya mengerjakan skripsi serasa double, meneliti dan memproduksi, hingga 1 tahun saya mengerjakannya.
Iya, krn skripsi yang benar atau jujur suka dihalang-halangi oleh pihak kampus dengan alasan tertentu, bahkan terancam kena drop out, jadi meneliti pun terbatas alhasil gelar pun hanya sebatas memperpanjang nama saja
Iya bener impian jadi peneliti mati gara gara TA.. Gue sih gitu :v
Sudah mental kita yg jelek mmg.
Gini, dari kecil saja kita terbiasa melihat anak" yg rajin belajar justru dibully. nah tanpa disadari hal kecil ini terbawa sampe tua.
sad but true, ketika ada yang niat banget belajar dikatain ambis. Nyontek masih merupakan hal lumrah bahkan cenderung dibanggakan. sudah terlalu tersistem untuk selalu cari jalan pintas
Benar.
Hari minggu sebelumnya disaat masih dalam suasana idul fitri. karena saya memang ngk ada kerjaan waktu itu, saya memilih untuk belajar. Nah kebetulan teman kakak saya main kerumah dan pas mereka melihat saya belajar, salah satu dari mereka langsung menertawakan saya :) dia bilang ''hari raya kok belajar''.
Sekitar 1 jam-an kemudian saya langsung berhenti belajar.
Up up up! Never seen such thing like this, kemajuan intelektual rata2 masyarakat Indonesia masih di rumpun ilmu sosial, rata2 kita sudah mengerti manajemen keuangan birokrasi dsb, tetapi masih sangat buram mengenai riset dan teknologi, bahkan ilmu fisika kimia dan biologi sangat dipandang sebelah mata di masyarakat. Senang bisa menemukan komunitas seperti ini yang juga menyadari common sense about the importance of R&D, science, and all that geek stuff they tought
tunggu saya di atas bung !!!
Ilmu sosial juga rada kurang sih bedain komunis ama atheis aja susah awkw
Bukannya kebalik ya? Justru yang dihargai di masyarakat malah Kedokteran, Teknik, dan Ilmu Sains lainnya. Sedangkan yang mempelajari dan mengembangkan ilmu Sastra atau Sejarah tidak dihargai. Di masyarakat kita aja, yang murid SMA milih masuk IPA dipandang lebih "pintar" daripada yang milih masuk jurusan IPS.
Memang masyarakat awam lebih ngerti soal politik, namun politiknya bukan ilmu politik yang dalem-dalem banget yang sampe filosofi atau ideologi dll, cuman soal pilihan politiknya/jagoannya aja, macem orang nonton bola. Soal ekonomi juga, lha buktinya masih ada miskonsepsi terkait utang negara, soal investasi, ataupun masih adanya masyarakat yang tidak mau bayar pajak. CMIIW.
Oh my... this video is amazing!
Bener-bener sebuah nafas segar buat dunia UA-cam Indonesia.
Good job Afu & Wikan!
Terus berkembang!
Ada kak sisil disini wahh 😉😉😉
sarjana harusnya jadi magister, magister harusnya jadi doktor, doktor harusnya jadi profesor...tugas mereka cuma melakukan pendidikan, pengajaran, penelitian, pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat (nelayan, petani, buruh, dan lain-lain)...skripsi, tesis dan disertasi cuma tersimpan rapi di perpustakaan tanpa ada implementasi di masyarakat...orang2 cuma fokus sama gelar akademiknya bukan hasil risetnya...
Masyarakat yg masih face value.
Yaaa, betul juga
Could not agree more
@@lifeisneverthesame910 sungguh sedih tapi nyata
Coba lihat universitas pertanian di Belanda. Sumpah keren banget penelitian mereka dan banyak yg dipakai secara langsung oleh masyarakat.
Kalo gue lebih setuju lembaga riset di Indonesia independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Lembaga riset ini bs didanai oleh perusahaan2 swasta dengan mekanisme keringanan pajak dari pemerintah. Jadi pemerintah tidak perlu mengelola dana riset sendiri. It would be effective for it is based on business needs and research diversity would not be questioned as the business fields are naturally diverse .
Untuk topik riset yang underdeveloped dan tidak business oriented pemerintah bisa mengalokasikan dana yg tadinya untuk lembaga riset pemerintah ke universitas2 negeri. Universitas swasta bisa diberi bebas pajak sesuai dengan kualitas dan kuantitas risetnya. Just my opinion. Cmiiw
Nah ini bener nih. Tapi rakyat Indonesia masih banyak yang belum bisa "mandiri" dari pemerintah. Pasti kalau dilepas gitu, saya yakin pasti ada orang yang bilang "pemerintah harusnya mendukung riset seperti ini, bukannya malah dilepas ke swasta".
Kalo menurut saya, setidaknya hrs ada keterlibatan pemerintah sbg regulator agar riset2 yg dikelola adl riset yg bertanggung jawab. Tp memg sebaiknya keterlibatan pemerintah hrs dibatasi, krn cmpur tangan yg trlalu byk akan mghambat kemajuan riset itu sndri.
Nuvo Nova saya setuju, harus ada regulasi pemerintah yang mengatur riset-riset yang dilakukan swasta agar mendapat penelitian yang bertanggung jawab namun harus dibatasi juga regulasi tersebut.
setuju bgt mas...miris makanya lihat skr LIPI kisruh..beberapa badan litbang dilemahkan dan dijadikan BLU, jika pemerintah sdh tidak bisa mendanai, seharusnya dicari solusi terbaik, contohnya ide mas-mas ini...
@@garudapenjunjungkebenaran5871 nah itu, dikit2 yang disalahin pemerintah..... typically orang indonesia, mungkin bawaan pemerintahan model kerajaan jaman dulu kali ya
Kalo bahas penelitian gini, gw selalu inget omelan dosen gw. :)))
Beliau merasa riset di Indo terlalu kaku.
Gak bisa fluid menghadapi perkembangan zaman.
Dosen gw ini punya fokus keilmuan tentang komputasi kimia.
Hasil dari risetnya hanya "sekadar" angka energi. :)))
Dan gak ada yg mau mendanai penelitian yg kaya gini karena "gak membangun". :)))
Hanya "sekadar" angka. :)))
Padahal dari sudut pandang sains, harusnya bisa diartikan lebih jauh.
Dan yg lebih penting lagi, hemat biaya, karena gak perlu beli bahan kimia. :)))
Jangan heran penelitian kita gagap banget.
Lagi ngetren nano teknologi, semua ngikut.. :)))
Lagi ngetren TiO2, semua ngikut.. :)))
Kocak banget dah dunia penelitian Indo. :)))
:)))
Hahaha.. iia bener tuh bang setuju.
salam ank kimia murni
Bang saya juga sedang melakukan skripsi di bidang kimia komputasi dan bagi saya sangat miris karena cuma ada 2 orang (termasuk saya) yang ngambil bidang ini dari ratusan mahasiswa
Saya rasa kimia komputasi adalah alat modern yang sangat membantu dalam pengembangan dan penemuan obat tapi banyak yang belum sadar sih atau terjebak dalam prekonsepsi bahwa 'kimia komputasi itu susah'
@@dvendddo7454 Gw setuju banget.
Keliatan banget kimia komputasi ini bisa jadi alat untuk menemukan material baru atau aktivitas dari suatu senyawa di tingkat molekul di bidang apa pun.
Wajar klo ada pendapat begitu.
Sahabat gw yg skripsi di bidang itu pun mengakui sulitnya bidang kimia komputasi.
Padahal dia bisa dibilang paling ahli dibandingkan senior & juniornya yg meneliti tentang itu.
Dan gw juga ampe ngulang materi tentang kuantum ampe 5x.. :)))
Jangan khawatir.
Perkembangan informasi & teknologi di Indo lagi cepet kok.
Gw yakin suatu saat nanti ada peneliti yg mau membuka jalan ke kimia komputasi.
Siapa tau kamu yg membuka jalan itu.
Semangat buat skripsinya!
Anda aja FMIPA dianggep kaya gitu sm dunia penelitian Indonesia. Apalagi saya yang backgroundnya social humaniora, yg emang ga mengeluarkan produk penelitian apapun. Makin terpojok kwkwkw
Jurnal aja di keep sama kampus, thesis dlsb tidak mudah diakses. Jd gimana mau saling sustain sebuah riset. Dan juga literasi kita belum tinggi, belum yang plagiat. Kan susah. Persis sesuai dengan kultur dan mental kita. Rumit.
Dibuka juga ujung2nya dicopas. Hasilnya makin ancur dah negara isinya sarjana abal
Harusnya dipublish tapi tidak bisa didownload atau kalaupun bisa didownload harusnya PDF tidak dapat dicopy
@@ivakanoffsnyder4501 sekarang kampus-kampus kan sudah pakai mesin verifikasi keaslian tulisan, Pak. Misalnya di kampus saya pakai turnitin. setiap skripsi yang diajukan harus lolos dari turnitin dengan tingkat kesamaan dengan tulisan yang sudah dipublikasi maksimal 25%. kalau copas sudah pasti ketahuan. Atau belum semua kampus yang pakai seperti itu ya? Hmmm..
Atau mungkin kampusnya sendiri yang takut kalau penelitian/TA mahasiswa yg dipublish isinya kurang mutu.
Emang rada susah dapet akses hasil thesis atau TA mahiswa kampus lain apalagi hasil riset dosen
Tadinya mau komentar soal bagian depan, tentang para ahli yang biasa diwawancara di media sepertiinya tidak kompeten. Saya tadinya mau berargumen, itu adalah ketidakmampuan medianya untuk mencari orang yang kompeten. Tapi dalam gambaran besarnya, media pun belum punya mental riset yang baik, masuk suka ngumbar hoax dan manas-manasin isu tanpa riset (bahkan gosip pun perlu riset, seperti E! Channel). Jadi komennya ga penting (meskipun tetapi diomongin), tapi suka banget video ini. Simplifikasi masalah yang ribet dan narasumbernya jos!
Kalau sektor privat diajak riset, sebenarnya asalkan ada profit di situ, mungkin riset akan menjadi sesuatu yang menarik buat mereka. Jadi iming-imingnya duit. Mungkin dorongan konsumen juga kali ya, yang mau sesuatu lebih lokal sehingga riset dilakukan dalam negeri dengan sumber daya yang tersedia. Mungkin. Kalau pemerintah... hmmmm *mikir
Asli. Media sekarang lebih ke penggiringan opini daripada membangun sikap kritis.
@@tyoistyo demi sponsor sih ya. Lingkaran setan.
saya setuju banget sama pendapat anda... tp ini juga kembali lagi dari kita sebagai konsumen, justru yang sering saya jumpai (sebagian besar media online) artikel-artikel yang sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan yang bagus malah jarang dilirik karena terkesan "membosankan" bagi pembaca. Hal ini juga diperparah kemampuan literasi bangsa kita juga masih rendah (sekali lagi nih, menurut aku sendiri hahaha). Sering banget kan kita ngeliat orang yang termakan judul artikel sendiri tanpa baca isi artikelnya. Dari sisi medianya sendiri juga seakan serba salah ketika ada artikel bagus tapi panjang g ada yang lirik, di sisi lain artikel dari isu-isu gorengan yang ga ada isinya malah rame2 dibaca.
Menurut aku nih seharusnya kita sebagai konsumen juga mulai bisa memerangi hal ini dengan menjadi pembaca yang cerdas.
bener banget, hal - hal yang jauh dari bentuk pendidikan ideal kayak gosip aja harus ada risetnya dulu. mungkin di indonesia tv cuma sebagai sarana hiburan (drama, dangdut, rumah*ya, sinetron, etc) bukan sarana pembelajaran. tapi salut sih sama TVRI kalo bikin acara kuis juga masih yang berisi bukan asal ketawa doang
Media mah nyari narasumber yg bisa bikin viral, entah itu kompetensinya memadai atau tidak, dont care.
Kanal dengan konten seperti ini yang mestinya diperbanyak, dan harusnya populer, sekurang2nya dalam ranah akademik. Berlaku bagi dosen/peneliti dan mahasiswanya. Saya kembali sadar akan pentingnya budaya keilmuan, yang barangkali sekarang telah banyak terlupa.
Tentang pertanyaan di akhir video, saya pikir dua2nya bisa beriringan. Tinggal bagaimana pemerintah sebagai otoritas yang sifatnya dominan dalam mendukung jalannya riset, tidak menyepelekan peran sektor privat yang memang berjalan atas inisiatif mandiri. Tentang dana, saya setuju dengan salah satu komentar (di bawah?), yakni pendanaan yang berstatus reward, tanpa harus ribet dengan urusan2 LPJ yang sebenarnya menambah beban kerja para peneliti.
Ditunggi lagi karya seperti ini, Mba Afu. Kanalmu saya subscribe
beda pemikiran orang indo sama pemikiran orang kulit putih yg tinggal di barat,
orang indonesia bodoh didunia tidak masalah, yg penting di akhirat masuk surga,,
sains didunia tdk penting dan tdk diutamakan, yg penting ilmu agama
Jelas beda mental negara berkembang dan negara maju
Jarang sekali riset dan penelitian dari universitas kita memberikan manfaat konkret bagi kehidupan masyarakat, syukur² bisa bermanfaat sebagai sitasi
Bahkan lebih miris nya sangat banyak yg hanya menjadi "sampah akademik"
Ngga juga. banyak yang bermanfaat kok, tetapi pemerintah (nasional dan lokal) ngga percaya, juga kalangan industri. Mereka engga memberi dana untuk pengembangan hasil sampai level aplikatif di industri. Mendingan beli hasil dari luar drpd berinvestasi untuk mengembangkan hasil penelitian sendiri. Dr sisi akademisi, mereka merasa terlalu diatur2 oleh pemberi dana (ada agenda2 lain yg terbaca). In short: no trust between the two sides.
Hai kak Afu.. Perlu banget memang ada ruang fasilitasi dari dukungan pemerintah. Setau saya sektor privat pun juga telah berperan, baik dengan mengadakan kegiatan berkaitan dengan kompetisi riset ataupun bentuk pemberian grant research pada lembaga riset atau institusi pendidikan. Tentunya hal-hal ini perlu terus dilakukan agar generasi muda terbiasa untuk berpikir kritis dan mampu memberi kontribusi bagi perbaikan Indonesia. Satu hal membuat Saya penasaran adalah bagaimana cara jitu mengkomunikasikan riset kita yg hasilnya cenderung kontra terhadap sistem kebijakan yg saat ini sedang berlangsung. Tentunya para policy maker harus memutuskan sebuah kebijakan dengan dasar evidence based bukan, dan adanya reorientasi kebijakan dg alih2 perbaikan tentu memungkinkan bukan (?) Mungkin hal ini bisa menjadi salah satu topik lanjutan yang bisa diulas di vlog selanjutnya. Terimakasih yaa, terus berkarya 💪
Halo kak Afu! Makasih banyak buat kontennya yang super galvanizing. Kebetulan aku adalah salah satu pelaku riset di bidang biologi, yg bekerja di perusahaan swasta. Sejujurnya, sebagai milenial yg berkutit dengan science, ada beberapa hal yg sangat aku concern saat ini.
1. Prosperity seorang scientist. Jujur, ini salah satu alasan yg membuat aku sempat berfikir "the only passion i know is passion fruit". Aku udah dua tahun kerja di bidang riset dan sekarang berada di titik dimana aku ingin keluar dan masuk ke bidang bisnis aja. Dengan effort kerja yg sama, temenku bisa dapat salary yang besar. Ini bukan berarti bahwa passion ku bisa dibeli uang. Bukan, tapi aku sebagai seorang warga negara pun punya hidup yg perlu secure dan urgency the sense of belonging yg seringkali dikaitkan dengan jumlah gaji. Sering banget discouraged karena salary scientist bisa separuh dari temen aku yg kerja di dunia bisnis. Apakah emang ini fate seorang scientist, atau memang bisa diubah? Karena brain drain bukan hanya fenomena ttg keluarnya scientist indonesia ke luar negeri, tapi juga bekerja ke bidang business as usual. Tolong dengan sangat diperhatikan prosperity kita. Kita bukannya tdak nasionalisme, tapi kita punya kehidupan yg perlu dijalani juga.
2. Personal development scientist. Dengan hingar bingarnya industrial revolution dan big data, seringkali aku sebagai biologist feel excluded. Setiap seminar atau public discussion ttg IR4.0 itu, selalu bahasannya bisnis. Tapi ga ada aplikasinya di dunia riset biologi. alhasil, aku merasa jadi manusia paling ga punya kesempatan tumbuh seperti teman2 yg lain.
3. Sense of belonging yg kurang. Banyak bgt komunitas IT atau startup kece di bidang bisnis. Tapi ga ada sama sekali untuk scientist. Milenial yg bergerak di bidang sains sepertinya perlu bersqtu menyemangati satu sama lain dan bekerja sama membuat kolaborasi yg kece
Saya pun sedang mengalami fase "ah meningan bisnis/dagang lah duitnya lbh banyak"
"Masa bodoh dgn passion riset,gw pgn foya2 kayak tmn2 gw" wkwkw.
2015 saya diberi mandat oleh kantor tempat saya magang untuk dapat mendokumentasikan sebuah acara International Conference Pure and Applied Research (ICOPAR), sejujurnya saya kurang antusias, tapi beberapa professor yang menjadi pembicara membuat saya terenyuh setelah memberikan data tentang penelitian. Ternyata kita memang ketinggalan jauh dari negara-negara maju. Bahkan jumlah peneliti kita jauh lebih sedikit dari pada Singapore dan Israel. Padahal hasil dari penelitian tadi dapat memajukan bangsa, gak cuman disektor ekonomi tapi juga SDM. Seandainya oh seandainya negara kita memiliki banyak peneliti, sepertinya SDM dan ekonomi kita lebih maju dan stabil. Karena kita memiliki SDA mentah yang asing inginkan untuk memproduksi sebuah alat yang nantinya dijual lagi ke kita. Sadar? IYA.
iya kayaknya sih cita2 kita kurang,jadi para pemuda juga jarang ada yang mau mendalami suatu bidang ilmu,maunya kerja aja langsung. Ditambah lagi suasana belajar di kampus juga menurut saya emang bukan buat peneliti,tapi buat pekerja. Kita gak pernah didorong oleh dosen untuk benar2 memahami bidang ilmu dan untuk mengembangkanya,kita hanya disuruh untuk mengerti saja....semoga kedepanya saintis indonesia bisa maju,karena negara kita ini luas,sayang jika tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu..
milenial kita kebanyakan nongkrong, ngopi, dan mabar. jarang memanfaatkan media untuk menambah wawasan / belajar hal yang baru
Video seperti ini sangat layak untuk viral, jangan cuma sexy killer aja yang bisa seperti itu.
Cebi
Fuuu, thanks a lot for making this video. Sungguh, aku pun bru merasa bahwa meneliti is one of something important since i am being a lecturer. Cuma klo boleh menggarisbawahi, kenapa pra scholar cenderung meriset asal2an, karna itu tadi being on the rule is important. Sungguh fu, mengelola dana riset peneliti pemula nya DIKTI yg hany 20jt aja aturan penyerapannya ribet bgt. Kadang para periset jadi merasa takut sama beban LPJ yg hrus dibebankan ke peneliti. And its not easy, trust me. Bahkan pembuktian pengeluaran harus 3-4 copy. Is that really necessary? Meanwhile, beberapa kali share dgn pengajar dr luar negeri yg dpet hibah penelitian as a reward, jadi beda bgt outputnya.
Yah, smoga menjadi salah satu indokator yg diadjust ya.. aturan sih psti ada, tp bsa disesuaikan agar tdk menyulitkan peneliti kali ya.. maap fu, jadi curhat hihihi
Suksess slalu untuk F&S yaa
yah benar papa-ku juga punya masalah seperti ini
I feel you Bu Tyas. Demand masalah administratif malah bikin hambatan jalannya riset dan menulis. Malam-malam dihabiskan untuk revisi proposal atau LPJ hibah dari pada revisi dari peer-reviewer jurnal.
Betul sih, kadang udah 4 copy eh luarannya ga dipermasalahkan. Ada yg dapat dana 300 juta tp yg penting memenuhi standar pelaporan diloloskan. Padahal dana segitu minimal bisa melahirkan jurnal internasional bereputasi lah.. Atau produk siap guna
Kalau riset dibidang biologi atau kesehatan banyak sekali tantangannya, mulai dari equipment dan tools yang tidak memadai, mahal atau bahkan tidak ada (tidak dapat diimport) hingga berbagai kesulitan intrainstitusional. Hasil riset kita sulit diterima di jurnal atau publikasi internasional terkemuka karena memang kualitasnya yang tidak memadai, research question yang kurang novel atau struktur riset yang tidak memadai; semuanyai sangat dipengaruhi pendanaan. Tentunya pendanaan itu penting, tetapi memang butuh waktu hingga orang-orang dalam lingkungan akademisi dan ilmuwan memiliki mindset yang terbuka, karena masih banyak yang takut untuk memupuk dan membantu yang muda untuk berkembang lebih. Berbicara dari pengalaman, nuansa riset di Indonesia dan di luar berbeda bahkan dari sisi psikologis dan emosional yang kurang suportif dan positif; maka ada sesuatu yang perlu dibangun dari sisi orang-orangnya. Tentunya kita sedang berprogres dan perkembangan dapat dilihat walau perlahan, semoga saja kita dapat mempercepat progres ke arah yang tepat.
Kenapa penelitian Indonesia tertinggal?
Kalau "Menurut Saya" :
Di masa2 sebelumnya atau di negara2 lain. Masyarakat, ataupun pelajar yang masuk ke dalam Universitas adalah teman2 pelajar yang ingin melanjutkan studinya secara professional di tingkat lebih tinggi. Dimana mereka benar-benar serius meneliti dan mempelajari subjek2 yang ingin mereka pecahkan misalnya vulkanologi, mereka meneliti dan mempelajari vulkanologi yang memang merupakan keinginan dan tujuan mereka. Teman2 yang belajar di Fakultas Bisnis. Adalah mereka2 yang mencari pendekatan2 baru untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi ataupun mencari teori2 baru ekonomi. Baik itu dengan memperbaharui dan mengupdate teori2 yang sudah tidak update lagi ataupun dengan tegas mengganti nya dengan teori ekonomi baru.
Namun saat ini di indonesia sudah tidak seperti itu lagi. Sekarang alasan utama mahasiswa masuk ke sebuah universitas adalah untuk mendapatkan "Ijazah" agar dapat "Bekerja". Karena dimana2 baik pemerintah maupun perusahaan swasta memiliki setidak nya minimal D3/S1/S2 sebagai syarat mencalonkan diri di perusahaan tersebut. Syarat kelulusan berupa Skripsi yang mana "mungkin" 70% dari skripsi yang ada sekarang hanyalah skripsi yang dibasiskan dari skripsi yang sudah ada. Hanya mengganti wilayah kajian ataupun yang lain.
"Tapi kan kalau bikin baru susah, lama. Target ku kan 3,5 tahun!".
Kalau "Menurut Saya", ya memang begitulah universitas dimana studi yang dihasilkan seharusnya merupakan hasil dari penelitian yang bisa saja memakan waktu. Jadi saya rasa jika masa studi di universitas tidak memiliki batasan waktu. Mahasiswa yang benar2 berniat untuk menghasilkan karya akan lebih terakomodir dengan tidak terikatnya mahasiswa dengan lama masa studinya.
"Haha. Ntar banyak mahasiswa abadi dong?"
Kalau "Menurut Saya", mahasiswa yang lama masa studinya. Selama beliau memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan. Kenapa tidak? Mungkin maksud nya yang main2 yah? Kalau itu ya tanggung jawab masing2 pribadi juga. Kan disini "Kalau" seandainya universitas memang benar2 diisi oleh peneliti2. Bukan diisi mayoritas para "calon" pencari kerja yang ingin segera wisuda.
Mungkin untuk syarat pekerjaan bisa setidaknya STIE, STIKOM dll yang memang benar2 mempersiapkan pribadi2 unggul di bidang pekerjaan professional ketimbang universitas. Sehingga teman2 di universitas adalah teman2 yang aktif dalam kegiatan penelitian. Mungkin pihak fakultas bisa memberikan event2 atau assignment misalnya. Setiap semester mahasiswa diminta untuk membuat setidaknya 1 penelitian kecil mengenai subjek yang mereka inginkan. Boleh mungkin sekedar hasil pengamatan, pengumpulan data dll. Jadi setidaknya mahasiswa menjadi lebih terbiasa dengan proses2 penelitian. Jangan sampai kegiatan penelitian adalah kegiatan dari sebuah organisasi kemahasiswaan saja misalnya.
Itu sih menurut saya.
NB:
Mohon maaf sebelumnya jika ada salah kata ataupun kata2 yang dirasa menyakiti. Hanya sekedar mengutarakan pendapat. :)
Masalahnya ada di akomodasi & ekonomi, jujur saya tertarik di beberapa bidang, Science, IT & Desain grafis. Tapi buat kuliah pun gak ada dana, Pinter ? Gak pinter amat. Tapi ada kemauan.
Karena kendala dana akomodasi mencari ilmupun jadi terbatas. Alhasil saya kerja di restoran sambil belajar hal yang ingin saya kuasai. Dan waktu untuk menjemput ilmu untuk di share-pun menjadi terbatas. Niatan saya sederhana membawa lingkungan kecil saya jadi lebih bermanfaat.
hfft mentok. Tapi yaudalah seengganya alhamdulillah masih punya keinginan dan effort lebih.
Buat anak kuliah. Kalian beruntung. Apalagi di ITB. Perhaps sisa uang jajan kalian masih bisa dipake untuk merubah lingkungan sederhana.
Senasib bro, tapi Alhamdulillah sekarang saya bisa kuliah setelah menunda 3 tahun sejak lulus sma.
langsung subs abis kelar nonton. bagus banget videonya. terimakasih f&c.
mungkin langkah kecilnya perpustakaan nasional bisa punya server sendiri buat nampung jurnal, skripsi, thesis, dan disertasi yang bagus sumbangan dari seluruh universitas di Indonesia. menurut gue hal itu bisa bisa bikin data based keilmuan indonesia terangkum dan lebih mudah diakses. jadi buat yang mau akses info ilmiah terbaru ga harus ribet masuk satu2 perpus kampus seantero jawa / indonesia lagi.
Masalah: Kenapa kualitas penelitian Indonesia tertinggal?
Hipotesis menurut video ini:
1. Gara2 Belanda
2. Gara2 orde baru
3. Gara2 pemerintah
Hipotesis Menurut Yanuar Nugroho - pemerintah:
1. Karena peneliti Indonesia malu-malu melakukan publikasi
2. Kurang tata kelola
Kalau hipotesis gue:
1. Memang budaya Indonesia bukan budaya yang rasional dan suka berpikir kritis.
2. Pendidikan di Indonesia semakin memperparah budaya tersebut.
Pendidikan hanya fokus pada hafalan dan hasil, bukan pada dasar ilmunya secara real
Maksud dari budaya "malas" berpikir rasional itu apa?
@@mr.mocakus827 Seperti kasus dukun Ponari danTukang ganda uang kanjeng Dimas, meski tidak melibatkan semua orang indonesia, tapi dapat dianggap mewakili orang Indonesia secara umum karena begitu banyak nya orang yang terlibat. Jelas dari sana kalau orang Indonesia sulit untuk diajak berpikir secara rasional. Mereka semua ingin cepat sembuh dan cepat kaya tanpa mengerti proses biologis maupun ekonomi yang terlibat. Pokoknya instant.
+1, up komen ini, can't agree more
Jujur, ini video pertama dari Frame & Sentences yang saya tonton, and I'm in love. Saya terkesima (subcsribed & notified!:)) Keep doing what you're doing, especially the competent speaker(s)/interviewees (bcs it's THAT IMPORTANT). So, thank you and great job! :)
Karena penelitian di Indonesia itu sebagian besar didasarkan pada "salah satu penuntasan tugas kuliah", bukan pada "dorongan rasa ingin tahu dan mengkaji pengetahuan". Sebagian besar.
Budaya-budaya di sepanjang garis katulistiwa tidak ada yg bersifat eksploratif. Semua dimanja dan bergantung pada alam yg ramah. Seperti kata koes plus, bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu....ikan dan udang mrnghampiri dirimu...Makanya nelayan gk ada yg kapalnya besar untuk melintas samudera...karena gk perlu. Iklimnya statis, pikiranpun jadi statis. Budaya yg memiliki 4 musim lebih dinamis dan menantang. Masyarakatnyapun jadi bersifat dinamis dan inovatif. Mengarungi samudera nyari sumber daya alam...jiwanya eksploratif. Semua bangsa yg maju sekarang adalah bangsa2 yg demikian. Kata kuncinya adalah "eksplorasi". Tanpa itu tdk akan pernah ada penelitian yg bermakna.
beberapa hal yg saya ingin diskusikan bahwasanya munculnya univ2/kampus2 di indonesia *terutama harusnya diinisiasikan memunculkan ilmuwan2 dan cedikiawan2 baru yang mampu mengembangkan keilmuannya dan memberikan konstribusi negara agar bidang keilmuan di negara kita tidak tertianggal jauh dengan negara lain. Saya sadar, seluruh akademisi sudah berupaya untuk menerapkan tujuan dan nilai2 demikian, tetapi saya sadar selalu pelajar dan akademis bahwasanya, tidak semua dari kita yang menimba ilmu di jenjang universitas/akademisi bertujuan untuk menjadi peneliti, ilmuwan dan cendekiawan. Kebanyakan dari kita inginnya belajar supaya lulus, dapat kerja, dapat jabatan, hidup sejahtera..bukan begitu?. Semua kembali ke ego masing2 lagi. Contoh kecil dari pengalaman pribadi saya, dulu ketika saya masih duduk dibangku SD, saya sering mendengar di film/tv istilah ilmuwan/peneliti. Saya tidak tahu bagaimana mendapatkan gelar sebagai ilmuwan tersebut. Ternyta setlh saya beranjak dewasa saya baru sadar bahwa di indonesia istilah lain ilmuwan itu adalah dosen, pendidik, dan semacamnya. Yang disyangkan lagi istilah penggunaan peneliti/ilmuwan jarang kita sematkan, orang awam lebih mengenal dosen dan ilmuwan tersendiri, padahal keduanya berjalan bersama2. Seorang dosen harus selalu mengupgrade keilmuwannya dengan memunculkan penelitian2 baru dan aktif menulis jurnal keilmuwan agar tetap menjaga ke eksistensinya sebagai dosen/peneliti, konstribusi lainnya adalah mengajarkan keilmuawannya kepada anak didiknya. Yang disangkan lagi...yg saya lihat, memang peneliti di Indonesia kurang di eksplore secara luas, kebanyakn masih di beberapa web/media tertentu. Selain itu, terkadang penelitian para peneliti hanya berhenti sampai tulisan saja, tindak lanjutnya berhenti begitu saja, entah karena dana yang tidak ada atau memang karena support dari pemerintah dan swasta di Indonesia yang kurang.
Sepintar apapun anak bangsa dan sehebat apapun hasil penelitiannya, elid gloval yang ketuk palu penerapannya dialam nyata
Dunia perfilman juga menyuguhkan anak yang berkacamata dan kutu buku itu pasti dibully, terus mreka cenderung diabaikan . justru anak2 keren itu yg pnya geng, cantik, tampan, modis itu lebih diakui. Jadi jgn heran bnyk generasi skg berlomba2 jdi keren. Mereka lbh suka main tik tok daripada membaca dan kepo2 melihat gejala alam dan sosial 😂😅
Pemerintah gamau ngasih dana riset terlalu besar karena dipikiran mereka hasil dari riset itu bakal membuahkan hasil yang lama, makanya mereka lebih condong mengalokasikan dana buat sesuatu yang langsung keliatan hasilnya, infrastruktur misalnya
Ayolahh ini videonya bagus banget kenapa orang-orang jarang nonton video kayak gini :(
Anak Indonesia dididik dan dibiasakan untuk takut berpikir kritis dan independen. Itu sebab mendasar.
Setuju, salah satu nya itu diantara banyak hal...
hah? itu banyak aktivis2 begitu? mereka bukan termasuk golongan kritis?
justru permasalahanya di dana riset, bukan kritisnya.
Kritisnya mah udah kebangetan, apalagi org2 ilmu sosialnya
@@user-lr6hw4dq4t aktivisnme bukan pertanda kuatnya daya nalar.
@@lifeisneverthesame910 kan kamu komen nya "kritis". Nalar itu beda lagi. Kreativ itu beda lagi. Ada genose aja dikritik abis2 an. Bukannya pd support crowdfunding buat ngembangin itu penemuan. Org kritis di indonesia udah banyak, tp yg berfikir komprehensif di tingkat multidisiplin masih dikit.
@@user-lr6hw4dq4t dalam konteks sistem pendidikan jelas sekali bagaimana sains diajarkan.. sains diajarkan layaknya pelajaran agama. bersifat dogmatis. ada faktor kultural juga. guru dianggap otoritas kebenaran. proses pembelajaran dilakukan dg konsep transfer pengetahuan. seolah2 seperti flashdisk yg dicolokkan ke komputer.
Idealnya, kesempatan riset terbuka untuk masyarakat umum, bukan hanya akademisi kelompok tertentu. Idealnya pula, alokasi dana riset dapat diakses bukan hanya individu dalam institusi tertentu, namun dapat diakses oleh individu yang tidak ada dalam naungan institusi apapun asalkan individu tsb berkompeten. Idealnya lagi, perlu memperhatikan perimbangan kesempatan riset antara institusi pemerintah dan institusi swasta.
Dulu pada waktu Kuliah dosen punya dana yang dialokasikan untuk projek pengabdian masyarakat, bagus programnya karena keilmuannya bermanfaat untuk orang banyak. Ada kritik juga, beberapa akedemisi untuk menyelesaikan jenjangnya ada syarat buat paper yang dipublish di journal asing namun kurang memperhatikan dampak ke real world. Namun bisa dipahami untuk collect data misal ke BUMN/ industri terkait, untuk keperluan penelitian susahnya bukan main. Oleh karena itu mungkin akademisi kesulitan untuk menyelesaikan gagasannya karena kesulitan data. Perlu adanya link and match antara industri dan akademisi yang dimotori oleh pemerintah.
Keep share good content kak Afu..
buka akses jurnal seluas luasnya,semudah mudahnya, semurah murahnya, and let milennials do the rest..
caranya?
Kalau anda daftar perpus nasional indonesia, anda bisa akses jurnal dari elsevier salah satunya
@@yggdrasil4187 nice
Sudah banyak jurnal sekelas S1 dan Sinta2 yang bisa diakses gratiis cek google list jurnal sinta 1 atu sinta 2 masuk ke webnya.. Dan sudah banyak diantaranya yg q1 atau q2
banyak banyakin lah channel mendidik kayak gini di indonesia
Semoga ke depan antara pemerintah, universitas, institut dan lembaga terkait keilmuan sapat saling bersinergi dalam hal peningkatan kualitas penelitian. Selain penelitian yang susah berkembang, jika sudut pandang yang saya lihat masih saja ada ada sistem pe'rangking'an dlm tiap universitas. Seharusnya tiap universitas bukannya malah bersaing untuk ajang gengsi, tapi harus bersama sama melakukan kolaborasi. Contohnya seperti Universitas di Jepang.
Bini gw kerja jadi PNS di lembaga penelitian pemerintah, kata dia. Sebenernya kita udah ngehasilin produk hasil riset dan penelitian sendiri.. masalahnya pemerintah kalo ada proyek pasti g pakek produk hasil riset dalam negeri tapi lebih milih tender perusahaan swasta
Begini, pas orang indo terutama anak" muda berkaya dan menemukan sebuah inovasi terhadap sesuatu yg "mungkin" akan membuat Indonesia lebih maju dan mungkin saja dunia juga malah disepelekan oleh pemerintah dan masyarakatnya yg dimana akhirnya mereka lebih memilih melanjutkan karir dan inovasinya diluar. Anak muda indonesia itu kebanyakan yg terseret oleh hasutan" global dan hasutan agamis padahal masih belum kritis kalupun kritis biasanya malah tersesat nalarnya.
cara termudahnya adalah menjadikan research menjadi kurikulum pendidikan indonesia sejak dini. Hal ini saya rasa perlu karena jujur saya sekarang siswa sma di dalah satu sma swasta di medan dan banyak anggapan bahwa kemampuan research siswa sma itu belum cukup untuk meneliti, dan saya rasa mindset ini yang bakal buat Indonesia ga akan bisa jadi negara pencipta.
Saran kami, dana LPDP yang begitu besar lebih baik diganti ke dana riset dalam negeri. Oke lah kalo kolaborasi riset bareng institusi LN. Lalu, buang make up Class International atau World Class University dengan mengurangi kesenjangan kampus di kota dan kampus di desa. Itu jauh lebih esensial.
Sepaham saya lpdp jg ada dana riset. Rispro kalo nggk salah.
Betul, gaji peneliti kecil padahal jasa besar. Tapi emang kalo dari segi bisnis sih namanya peneliti kan g pasti kadang ketemu kadang ga.
Semakin banyak dosen kita dikirim kuliah ke luar negeri mungkin akan semakin bagus kualitas riset dan cara mengajarnya karena mereka terinspirasi dg dosen2 mereka di luar negeri.
Tapi kalau tidak diikuti dengan penggunaan alat2 yang diperlukan dalam melakukan riset seperti di luar negeri kan sama aja boong jadinya
Peran akademisi di masyarakat selalu menjadi objek yang diperdebatkan. Banyak yang mengkritik Universitas sebagai menara gading dengan ilmu pengetahuan yang bergerak lamban dalam pusaran intelektual namun tidak relevan dengan dunia “nyata”.
Jika jumlah dosen perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 260.333 orang, dengan setiap dosen minimal memiliki satu riset wajib berkelompok sebanyak tiga orang, maka akan ada sekitar 86.800 hasil penelitian setiap tahunnya.
Belum lagi jika angka tersebut digabung dengan kegiatan pengabdian masyarakat. Maka, kita akan memiliki sekitar 170,000 metode penyelesaian masalah sosial yang baru setiap tahunnya. Angka tersebut baru didapat langsung dari kedua jenis Tridharma: penelitian dan pengabdian.
Sementara dampak lainnya dari pengajaran ke lebih dari 4 juta mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi saat ini. Bukankah sebuah jumlah yang luar biasa? Namun, bagaimana dampak dari output-output perguruan tinggi ini di masyarakat? Dapatkah menjadi driver bagi transformasi sosial di masyarakat atau tetap tersimpan dalam rak-rak usang dan menunggu waktu untuk disingkirkan?.
Refleksi tersebut membawa saya pada paradigma scholar-activist atau akademisi-aktivis. Paradigma ini akan mengajak kita, para akademisi, untuk tidak hanya menangkap fenomena dan menteorikan praktek, tetapi juga mempraktekkan teori.
Kita akan mulai dengan membahas satu per satu dari definisinya. Definisi “scholar” menurut Merriam Webster (2004), Collins (2005), dan Tilley and Taylor (2014) adalah “orang terpelajar”, “bagian dari institusi pembelajaran, sangat terpelajar namun minim penguasaan praktek”, “ahli pada laboratorium atau tempat-tempat terisolasi lainnya”, dan “mengumpulkan ilmu pengetahuan yang esoterik” . Esoterik artinya “hanya dipahami oleh kalangan sejenisnya”.
Scholar sering dilambangkan dengan lambang burung hantu (owl). Dalam mitologi Yunani, burung hantu melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun burung hantu juga selalu keluar di malam hari, mengintai dunia dalam senyap, mengobservasi dari ketinggian, tidak berinteraksi langsung dan berjarak. Begitulah bagaimana akademisi digambarkan di luar sana.
Sementara definisi aktivis menurut Merriam Webster (2004) dan Conway (2004) adalah mereka yang terlibat dalam pergerakan sosial yang “berharap untuk mengubah dunia dan percaya bahwa manusia merupakan sentral dari perubahan tersebut”.
Selama ini, terdapat distrust antara aktivis ke akademisi dan begitu pula sebaliknya. Aktivis beranggapan bahwa akademisi adalah orang-orang yang tercerabut dari akar sosial (socially detached), memiliki kemewahan intelektual dengan akses-akses ke sumberdaya yang lebih baik, gaji penuh dan keamanan pekerjaan yang terjamin. Sementara akademisi beranggapan bahwa kerja-kerja aktivis adalah pekerjaan yang tidak terstruktur, tidak terukur outputnya, rawan kepentingan politik dan menguras energi dan menghabiskan banyak waktu.
Sederhananya, terdapat gap besar antara akademisi dan aktivis. Akademisi tempatnya di atas (menara gading), sementara aktivis adalah mereka yang membumi.
Paradigma scholar-activist mencoba menjembatani akademisi yang ada di menara gadingnya, dengan aktivis yang lebih “real”. Akademisi diajak untuk menyelami persoalan-persoalan nyata yang ada di masyarakat.
Menjadi scholar-activist berarti menghibahkan diri untuk selalu berbagi waktu dan pengetahuan ke orang banyak, terlibat dalam pertemuan-pertemuan tak berujung dengan komunitas, dan berkontribusi untuk pencapaian tujuan sosial yang lebih besar. Scholar-activist tidak hanya menangkap fenomena di masyarakat, namun juga melakukan intervensi terhadap masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, dan memastikan bahwa perubahan terjadi lewat intervensinya.
Scholar-activist bukanlah akademisi bermental penumpang gelap (free rider) yang fokus pada tujuan-tujuan jangka pendek, namun mereka yang bervisi besar dan melakukan banyak hal untuk membuat perubahan di masyarakat. Muhammad Yunus adalah salah satu contoh scholar-activist.
Muhammad Yunus awalnya adalah professor ekonomi di Chittagong University. Objek observasinya adalah para pengusaha mikro di Bangladesh yang memiliki akses modal terbatas dan tidak bankable. Alih-alih hanya melaporkan fenomena tersebut pada jurnal ilmiah, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberikan kredit lunak bagi para pengusaha mikro. Di tahun 2006, Yunus mendapatkan Nobel Perdamaian dengan Grameen Bank nya.
Di masa di saat kita, para akademisi, dijejali oleh berbagai tugas administratif yang melelahkan. Dimana kita dilihat sebagai deretan angka, diukur dari jumlah kehadiran dan publikasi jurnal yang kita hasilkan. Alih-alih bertanya, “seberapa Scopus” kah kita?, bagaimana jika kita bertanya “seberapa berdampak kah kita?”. Bukankah mencengangkan melihat bagaimana perubahan sosial akan terjadi jika kita, akademisi, membuat impact (dampak), dan bukan hanya impact factor seperti pada jurnal-jurnal Scopus. Make an Impact, not only an Impact Factor.
Artikel yang ada di jurnal-jurnal Scopus ini adalah pengetahuan esoterik, yang hanya akan dibaca dan didiseminasikan ke rekan-rekan sejawat. Untuk sampai ke masyarakat, mungkin perlu jutaan tahun cahaya. Kita bisa mempercepatnya dengan menjadi scholar-activist. Satu kaki menjejak di kampus, satu kaki lagi menjejak di luar sana.
Kiranya, sepenggal puisi “Sajak Sebatang Lisong” dari WS. Rendra masih relevan dengan kondisi saat ini:
“Diktat-diktat hanya boleh memberi metode ,
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata,
…………………………………………………………………………………
Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan”
(WS. Rendra)
Para akademisi, turunlah dari menara gading!. Keluarlah dari sarang emas untuk berkontribusi lebih banyak lagi bagi negeri. Cukuplah jadi penonton, jadilah scholar-activist, mulailah perubahan.
Semoga masyarakat terkhusus generasi muda makin gemar mampir ke channel dengan konten kek gini:)
Jelas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia mengenai ketimpangan SDM, fasilitas, dan dukungan industri tidak akan pernah terselesaikan selama regulasi Pemerintah tidak berpihak sama sekali mengenai peningkatan harga diri dan daya saing SDM Nasional !! Selama ini, dukungan pemerintah sangat setengah hati dalam penentuan anggaran riset, penentuan tema yang kaku, dan sumber funding yang sangat terbatas. Belum lagi ketimpangan anggaran yang ada antara LPNK dan Universitas yang terlalu mencolok ! Sedangkan di Universitas sendiri juga muncul disparitas anggaran riset antara Kampus BHMN, Non-BHMN, dan Swasta. Jelas kacau balau ! Sangat rindu dengan Pimpinan negeri yang sangat berpihak pada Riset dan Pengetahuan Indonesia....
Kenyataannya RIRN justru semacam jadi pembatas untuk tema-tema riset masa depan yang "mungkin" lebih advance dan sedang "hot" dalam kontes scientific global. Terbukti pada penunjukkan penerima dana riset Insinas yang dari tahun ke tahun cuma pengulangan dan riset jodoh-jodohan tanpa dasar scientific yang baik dan studi literature yang lengkap, bahkan perisetnya sendiri tidak kompeten (tanpa track record dan dasar keilmuwan) di bidang tersebut.
Coba riset itu disentralisasi bukan di dunia perkuliahan yang banyak tradisi plagiarisme-nya. Riset itu gagasan utamanya kan originalitas. Kalo mau di dunia perkuliahan, dosennya yang lead riset agar mahasiswa terbiasa dengan sistematikanya dan tahu apa pentingnya riset serta ekspektasi dari sebuah riset.
Sekarang skripsi kan individual, biaya sendiri, ketemu dosen juga seringkali susah, ga ada jaminan mutu, dan kurang ada pelatihan intensif menulis riset. Syukur kalo emang mahasiswanya niat mengerjakannya, tapi kalau hanya terpaksa demi bisa lulus, ujungnya ya hasilnya antara riset yang isinya hampa dan repetitive (tidak punya nilai tambah pada literature-nya), atau riset yang disadur dan di-parafrase dari yang lain.
Saya struggle dengan skripsi selama hampir dua tahun karena malas, tapi terlebih juga karena tidak ada pelatihan yang membuat saya paham apa itu riset, dan selama waktu tersebut, tidak ada pihak dari kampus yang approach saya untuk menawarkan bantuan. Ketika saya akhirnya mulai serius untuk menyelesaikan skripsi, saya selesaikan semuanya mulai dari pengumpulan data, olah data, hingga sidang selama hanya 3 bulan kurang lebih, namun saya tidak bisa katakan skripsi saya punya nilai tambah.
Alhasil, setelah lulus, saya tidak pernah menyentuh lagi skripsi saya, let alone riset, karena riset di perkuliahan saya hanyalah syarat lulus kuliah, bukan dorongan untuk mengkaji pengetahuan yang lebih luas.
love this video. extremely educational and well-researched. as a teenager, I would be lying if i said i never feel frustrated with my own country because as a child; i wonder why our country isn't well developed. then again, there's always a light at the end of the tunnel (if we're willing to work hard, stay resilient, and move towards it).
you english is good.
😊😊
semoga video yang sebagus ini bisa trending, bukan video yang gajelas dan receh
Walaupun riset sebagai penemuan2 baru dalam ilmu pengetahuan diperlukan, tapi menurut saya riset yang dapat menunjang kegiatan bernegara kita juga masih sangat perlu dioptimalkan lagi. Pemecahan masalah yang tidak sepenuhnya berdasarkan evidence based bukan hanya dikarenakan pemimpin yang bukan akademisi, tetapi juga dikarenakan riset di negeri sendiri belum dimasukkan dalam satu wadah yang dapat di akses seluruh lini masyarakat, sehingga dapat menjadi acuan dalam pencarian solusi berbagai permasalahan. Kita bisa mencari referensi riset daerah atau negara lain, namun tentu saja hasil bjsa berbeda karena perbedaan lingkungan, dan faktor2 lain. Dan lembaga yang memiliki kewenangan besar dan dapat menggerakkan adalah pemerintahan. Sehingga peran pemerintah sangat penting dalam mendukung dan mewadahi kegiatan ilmiah ini. Juga tentu saja untuk memecahkan masalah2 di pemerintahan dari pusat hingga tingkat kelurahan sekalipun.
Pengarsipan yang baik untuk referensi data riset, akses data, aspek politik, institusi/komisi ethic yang melindungi peneliti dan mengatur masalah ethic dalam riset...itu masih jadi masalah. Perlu diingat, jurnal-jurnal yang ada 1800-awal 1900 itu milik Pemerintah Hindia Benlanda. Penyelenggaranya adalah mereka.
Menurut saya, instansi pendidikan seperti sekolah dan universitas memiliki peran penting untuk membangkitkan semangat 'rasa ingin tahu' dan memfasilitasi para pelajar dengan cara berpikir yang 'masuk akal' serta kritis. Saat ini nampaknya orientasi nilai mengaburkan fungsi pendidikan itu sendiri. Contohnya, "skripsi selama ini hanya dilihat sebagai syarat kelulusan bukan sebagai kontribusi riset berharga bagi dunia akademik yang patut untuk diarsip dengan baik agar sustainable.
Padahal pada era modern global seperti sekarang, kesempatan bagi individu pun untuk mulai melakukan 'riset dasar' untuk memperdalam ilmu tertentu tak lagi sulit, sehingga riset sendiri tak lagi hanya ihwal kelembagaan saja tapi juga bagian dari cara hidup sehari-hari.
Tentu saja hal ini bisa dicapai secara maksimal dengan kemampuan literasi dan kerangka pikir yang baik, suatu hal yang bisa ditanam oleh instansi pendidikan bahkan sejak usia dini.
Anyway,
Thanks so much for sharing Kak Afu dan Kak Wikan. Ditunggu video F&S yang baru hehe
Keren videonya...👍
Kalau dari dulu pemerintah sangat peduli dengan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, pasti Indonesia sekarang udah maju ya...
Bagus banget isinya. Intinya, semua bisa menjadi lebih baik apabila fokus pendidikan adalah membangun kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Bukan sekedar penanaman nilai-nilai baik yang kadang salah cara.
Minta do'a semoga impian saya jadi researcher stem cell kelas dunia terwujud.. Syukur2 menang Nobel prize 😁🙏
amin
mulai dari sekarang cari passion, melatih dedikasi dan selanjutnya konsistensi....
aamiin selamat berjuang ya dek 😁
Aminn semangat !!! 💯
Kuasai buku Mary El Boas, sy jamin..
Dri umur 14rthn gw tertarik penelitian dibidang sosiologi/antropologi/psikologi, masuk SMA gw harap bakat gw keasah dengan tenaga yg gw anggap "profesional" dgn lugunya.. eh malah ditelantarin kaya penelitian gw hal gk guna dan gk butuh di kasih sorotan ok mungkin berlebihan.. seenggaknya kasih gw bimbingan dgn baik god damn!!
Halo, saya masih sangat awal jika membahas tentang penelitian karena saya seorang mahasiswa baru. Saya sangat setuju dengan video tersebut, terbukti saat mencari jurnal-jurnal penelitian dengan akses terbatas untuk beberapa region, nama negara Indonesia tidak ada dalam kolom negara yang dapat mengakses jurnal-jurnal tersebut. Padahal, negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia sering muncul dalam daftar. Menurut saya, ini menunjukkan bagaimana negara kita 'sedikit' tertinggal dari negara ASEAN dan secara garis besar kurang mendapatkan dukungan untuk dapat mengembangkan riset. Dukungan antara lain dari segi sumber dana dari pemerintah, dari swasta yang tertarik dalam lingkup tersebut serta dari sumber daya manusianya yang saat ini cenderung mengejar gelar daripada mengembangkan hasil riset untuk pengkajian di masa depan. Sekian pendapat saya, jika ada yang kurang berkenan mohon maaf karena saya masih baru belajar, terimakasih.
Salah satu konten yg ilmiah yg bermanfaat bagi bangsa dan negara terima kasih banyak atas informasinya 🙏 🙏
Dari pengamatan dan pengalaman yang saya alami berkenaan dengan penelitian, menurut Saya hasil-hasil riset yang dilakukan sebaiknya dipublikasikan dan terdokumentasi ditempat yang mudah diakses sehingga menghindari kemungkinan overlapping. Namun sebagus apapun hasil riset bilamana hanya disimpan dan tidak bisa diimplementasikan maka tidak akan ada gunanya. Selain itu untuk Rencana Induk Riset Nasional memang harus sinergi dan terkoordinasi sehingga potensi kualitas penelitian secara komprehensif akan memberi sumbangan bagi kemajuan dalam lingkup implementasi dalam mewujudkan output dan outcome yang pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan dan daya saing. Penelitian perlu keseriusan dan kesungguhan serta dukungan berbagai pihak terkait sehingga terkondisikan gairah untuk menghasilkan penelitian bermutu yang membanggakan. Memang untuk kesempurnaan penelitian dan mutu perlu upaya supporting dan koordinasi diperlukan pendanaan yang tidak sedikit akan tetapi lemah dan tiadanya penelitian yang bermutu dan hasil nyata yang dirasakan menimbulkan kemunduran yang merugikan dalam jumlah dana lebih besar. Mungkin komentar saya dapat dimengerti kepada para pembaca sekelian untuk mewujudkan kualitas penelitian yang konrit yang bermanfaat bagi kehidupan. Terima kasih.
Saya mendukung penuh kemajuan research di Indonesia yg berskala/level dunia.. smangat buat peneliti Indonesia
Dana riset ditanggung oleh pemerintah memang ada baiknya karena negara memiliki dana yang besar. Tetapi lebih baik lagi kalau riset tersebut berhubungan langsung dengan dunia usaha dan industri. Kenapa? Karena pemerintah harus fokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan kestabilan dan keamanan negara. Lalu apakah negara atau pemerintah telah salah dan mengabaikan masalah RnD? Tidak... karena kebutuhan RnD itu baru bisa disadari bila negara aman dan stabil. Lalu, siapa yang seharusnya mengurus masalah RnD ini, jawabannya sebenarnya adalah pengusaha, terutama pengusaha-pengusaha yang memiliki visi long term ke depan. Contoh paling mudah, Pak Dahlan Iskan dengan visi mobil listriknya di tahun-tahun sebelumnya. Pengusaha atau Entrepreneur yang mengikuti perkembangan seluruh dunia dan melihat peluang tentang RnD apa yang harus difokuskan lah seharusnya mengurus dana riset ini. Jangan sampai dana tersebut habis untuk riset yang tidak berguna dan sia-sia... misalnya riset untuk mengejar teknologi handphone 5G misalnya... pada saat riset berlangsung... bisa2 6G udah selesai diriset ilmuwan luar negeri. Gak usah juga target-target dapat hadiah nobel dan mendunia deh... yang penting berguna aja bagi masyarakat.
I almost cried watching the opening :') and 50T by 2024?? I see a hope :")) get well soon, Indonesian's research ecosystem!
Memang permasalahan pendidikan punya banyak lubang yang perlu dijahit sana-sini. Mulai dari kesadaran terhadap pendidikan, kemiskinan, pendanaan, kualitas pendidikan dll. Untuk itu semua elemen perlu bersama-sama menciptakan ekosistem perkembangan ilmu pengetahuan yang baik dan saling mendukung. Bagaimana bisa berjalan bersama-sama? Disinilah peran pemerintah untuk memberikan visi dan pandangan kedepan seperti apa, sehingga lapisan yg lain berjalan untuk mendukung hal tersebut.
Konten berkualitas, runut penjabarannya, logis.
Indonesia belum mencapai perangai ilmiah. Sejarah menunjukkan peneliti di indonesia tidak bebas, di administrasi pemerintah, berbasis proyek, tidak organik, berdampak kualitas penelitian menurun.
Hipotesisnya adalah untuk mencapai perangai ilmiah (baik produksinya dan distribusinya), dilakukan dengan penelitian yang bebas dan distribusi yang tepat.
Dari segi produksi. Pihak privat sebetulnya akan semangat jika bagi mereka adalah keuntungan. Pemerintah bisa membeli jasa/data dari pihak privat yang menggunakan teknik yang sophisticated, meng-encourage privat untuk mengembangkan produknya melalui risetnya. Banyak cara. Tapi menurut saya, kalau mau organik, ya kembali ke akademisi, mau ga mau institusi pendidikan harus dibenahi. Encourage anak muda biar tetap idealis.
Dari segi distribusi keilmuannya. Tantangnya adalah kontrol dan salah satu caranya menangkal sesat ilmu adalah yg punya ilmu harus bunyi lebih kuat. Aktif juga menyampaikan wawasan yang logis.
sebuah channel, angin segar untuk pendidikan!
Semua dimulai dengan dana riset raksasa dari pemerintah. Harus berstandar internasional dan mengejar publikasi ternama kelas dunia. Secara perlahan swasta pun ikut terlibat dan bahkan ikut mengeluarkan uang karena mereka bisa gunakan fasilitas riset pemerintah. Itu yang terjadi dalam kolaborasi pemerintah-swasta di luar negeri, termasuk di Inggris.
Juga menjadi momok istilah 'Basic Research' tatkala dihadapkan pada peneliti pemula yang masih pada tahap telaah pustaka dan observasi realita ia sendiri, maka peneliti pemula akan dihadapkan pada pendapat-pendapat para profesor di mana ia berpegangan pada bahan literaturnya sendiri. Memang benar adanya, tetapi setidaknya dia akan mengalami variabelnya di kampungnya sendiri. Bukan di kampung sang professor penulis buku. Sehingga meski jawabannya tidak kuat dan hampir tak mungkin digunakan, hal ini akan memicu budaya riset. Seharusnya, disediakan ruang seperti ini, ruang kalau diistilahkan sand box. Sehingga terbangun komunitas seperti prof di atas katakan.
Fruitful content kak, riset yg baik memang yg paling bermanfaat, buat masyarakat dan juga buat perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri
Dalam filsafat ada yg disebut pragmatisme, aliran filsafat yang mengganggap sesuatu itu adalah pengetahuan (kebenaran) bila sesuatu itu bermanfaat bagi masyarakat, nyata, dan konkrit. Diluar itu, bukanlah kebenaran/disangsikan. Artinya bila riset2 itu tatarannya pada pemikiran, namun tak memiliki manfaat praktis entah keuntungan berupa profit, jabatan, rating, maka ia akan disangsikan sebagai pengetahuan terutama bagi ilmuwan yg beraliran pragmatisme. Jadi, cara berpikir semacam inilah kebanyakan yg terjadi di masyarakat, termasuk dalam birokrasi. Atau desakan lingkungan (bahkan dari keluarga atau kawan2 dekat) yg pragmatis membuat muara cara berpikir sedikit banyak akan terdorong ke arah tersebut, termasuk semangat melakukan riset..
Saya setuju banget nih, sebagai Ilmuwan yang turut belajar waktu di kampus terkait Filtrasi Jerami Nanokomposit harus mentok di perpustakaan.
HAKI sudah dibuat, tapi market dan industri masih belum ada Business Matching antara hasil penelitian ke arah komersialisasi industri.
Ehh ada mas pesu.
@@pujisiswanti2006 halooo salam kenal 😀
Indonesia aslinya mempunyai banyak peneliti muda, tetapi ketika sudah membuat penelitian dan meminta dana untuk publikasi jurnal ilmiah, seringkali pemerintah pusat tidak memberikan dana untuk publikasi ilmiah terlebih yang mengajukan itu tidak mempunyai gelar / hanya sebatas mahasiswa. Menurut saya mungkin karena peneliti bukan dari kalangan dosen atau guru besar. Maka dari itu, tidak punya akses untuk dana publikasi ilmiah. Karena untuk meminta Dikti dana publikasi ilmiah harus menggunakan NIP/NIK, dosen lebih mempunyai peluang besar daripada mahasiswa untuk mendapatkan dana publikasi ilmiah. Ini berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jadi menurut saya percuma saja membuat penelitian tetapi dana untuk publikasi saja nyendat.
iyep benar sekali
kek nasib pencipta mobil listrik, rumus tambang minyak dan 4g yang dimana sekarang mereka merasakan nasib sial sebagai ilmuwan yang teori/ilmunya tidak dipakai dan tidak dikembangkan oleh WNI sendiri
Pls Give him a medal
Konten seperti ini sangat penting. Penelitian seyogyanya digunakan sbgi basis dasar tambahan kebijakan masyarakat. Biar lebih membumi. Hasil" penelitian, skripsi misalnya tdk hanya dijadikan pajangan atau instrument penaik akreditas kampus. Tp pemerintahan jg mesti turut mengikutsertakan hasil" penelitian tadi dlm instrumen pengambilan keputusan. Selain itu, penting jg sih buat menjauhkan kepentingan elit partai masuk ke ranah penelitian.
Terlepas dari perdebatan tema yg ada disini, video ini sangat edukatif dan memberi perspektif baru buat saya. Keren👍
Indonedia memang butuh manusia yang cerdas dalam arti bisa menatap mada depan yang lebih baik dan maju melakukan lompatan riset riset dari segala hal dari barang sekecil apapun sampai yang tercanggih, seperti alat tahanan listrik yang kecil sampai manufaktur yang bisa menguasai angkasa luar.
Kumpulin para ahli anak bangsa ini betbuatlah untuk negara, itu berjuang di zaman sekarang da jangan cuma adu mulut tapi kerjanya nol.
Srmangat anak negeri jangan mudah kena profokasi yang cuma hayalan semata. maju indonesia.
Revolusi Mental. Redaksi yg pondasional dari Pak Presiden. Mari terjemahkan bersama.
Pak Yanuar saya sarankan utk menggali dulu pondasi ini.
Karena sebesar-besarnya resources yg terakumulasi, tanpa pondasi yg kuat in the long run akan mengancam the sole existence of the Nation itself.
May God bless Indonesia. Aminnn
Channel yang bakal berkembang pesat nih, isinya bermutu banget dan sangat bermanfaat untuk bangsa
Dukungan harus entah itu dana, kebijakan, iklim politik dan lain sebagainya. Selain itu yang paling penting jangan berambisi mengontrol riset. Bukankah tadi secara historis sudah dijelaskan. Riset Indonesia sulit berkembang karena pemerintah kolonial melakukan kontrol ketat dan mengarahkan riset semata untuk kepentingan ekonomi kolonial. Hasilnya ilmu pengetahuan khas Indonesia tidak berkembang. Yang ada hanya riset untuk penguasa dan para penilitnya pun jadi peneliti birokrat yang hidup dari proyek pemerintah. Video ini bagus karena dimulai dari ulasan historis. Sayang di akhir karena yang berbicara dari staf kepresidenan ya jatuhnya blue print riset Indonesia tujuan utamanya adalah menterjemahkan visi presiden walaupun juga dijelaskan tidak menutup kemungkinan penelitian di luar itu.
Kenapa keilmuan di Indonesia kurang bisa bersaing, mungkin salah satunya karena budaya keilmuannya sudah tercampur dengan budaya cari profit sudah bukan based curiousity or mass needed. Dan konsumsi masyarakat dr media yang mampu menjungkirbalikkan logika yg notabene tools terpenting dalam bidang keilmuan.. semoga Indonesia lekas sembuh dan kedepan semakin baik.
Btw thank you for your adorable content. Thumbs up! 💕
Mantapp, menambah wawasan dan pengetahuan 👍👍👍
Gw nih penelitian pake metode konvensional. Susah dah cari jurnal yg zaman skrng yg pake metode konvesional. Soalnya kata dosen gw kalo lu penelitian pake metode modern trus kalo lu scale up dan bawa penelitian lu ke daerah yg listrik aja susah, gimana noh mau dimanfaatkan penelitian lu. Gitu sih kata dosen gw. Dosen gw udah Professor dan doi juga punya perusahaan, jadi gak teori doang tapi juga dipraktekin. Makanya gw pikir ini bukan kemunduran tapi mundur sebelum nyerang (apa ya istilahnya gw lupa).
Tapi emang sih alat2 di univ. gw bapuk bgt. Fakultas gw miskin cuy. Semoga pemerintah ngasih kucuran dana ke pendidikan terutama fakultas gw. Aamiin.
Openingnyaa Netflix-esque documentary!
Bersilat lidah ada cara dan ilmu nya, ilmu pengetahuan tidak hanya hitung2an hewan2an dan zat kimia2an
Terima kasih Pencerahannya🙏🇲🇨
8:54 Terdengar seperti Orde baru menerapkan "Newspeak" seperti di novel 1984 karya george orwell
Penelitian berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan: hasil riset puluhan tahun, saran untuk kebijakan >< politik dan birokrasi.
ni konten rare kyak gini YANG HARUS DI SHARE!
Great video. Terima kasih atas videonya, sangat mencerahkan. Kalau pengalaman saya pribadi dan yang saya rasakan selama mengenyam pendidikan. Sedari SD sampai kuliah, saya lebih merasa jika murid mayoritas dituntut untuk menghapal materi, bukan untuk membentuk cara berpikir kritis. Saya dari kota kecil, di kelas suasana belajarnya lebih ke satu arah. Guru mengajar, murid diajar. Jarang sekali terjadi diskusi. Murid cenderung enggan atau takut untuk menyuarakan pendapat karena biasa ditertawakan, atau bahkan dianggap membantah dan dimarahi oleh guru. Ini terjadi saat saya dari kecil dan terus terjadi sampai di tingkat kuliah. Mungkin karena masih banyak tenaga pengajar yang tidak mau terlihat ‘salah’ di depan muridnya, padahal ini bisa menjadi suatu kesempatan untuk diskusi sehat di kelas. Alhasil murid menjadi pasif dan tidak terlatih, atau tidak mau berpikir kritis karena tidak pernah diapresiasi secara positif. Ini termasuk waktu skripsi. Mayoritas hanya mengerjakan skripsi untuk syarat kelulusan? Mengapa? Karena kita tahu bahwa penelitian kita paling paling hanya berakhir di perpustakaan. Jarang yang ingin melanjutkan risetnya lebih lanjut.
Mindset dr awal sih, tidak dibesarkan untuk menemukan hal baru. Menguasai apa yg sudah ada saja dianggap sudah lebih dr cukup.
dan seharusnya mampu menggunakannya/menyebarkannya
penggiringan opini yang baik untuk membuka mata masyarkat luas akan pentingnya suatu penelitian, semoga kedepan bisa ada literatur nutrient requirement untuk ternak asli Indonesia. menurut kami dukungan penuh dari pemerintah penting karena hanya pemerintah yang dapat menggelontorkan dana triliunan untuk penelitian dan mereka berkewajiban untuk mempublikasikan,sedangkan bila dipegang pihak yang lebih privat atau swasta akan lebih tertutup untuk memberikan informasi hasil penelitianya. sekedar pendapat dari kami, semoga bermanfaat terimakasih.
Untuk skrg, dosen pun menggunakan mahasiswa sebagai "tools"nya untuk riset.
Kalo otonomi pendidikan dijalankan dan sektor privat mendukung serta ilmuwan Indonesia juga turut membantu, aku yakin Indonesia bisa bergulat ditatanan riset kelas dunia. Harus ada pemicunya, harus ada yg sustain, dan harus konsisten.. Impian World Class University bagi beberapa kampus bukan hanya sekedar mimpi apabila faktor2 diatas dapat diwujudkan atas nama pendidikan dan kemajuan Indonesia
Harusnya Antara kalangan pemerintah dan ilmuan harus bersatu, dimana Pemerintah sebagai faktor pendukung untuk Ilmuan & Pemerintah harus mengambil dasar keputusan dari hasil penelitian atau riset para ilmuwan. Jangan hanya bangun-bangun dan bangun.
Keren banget videonya. Dengan adanya jurnal jurnal ilmiah yg konteksnya di indonesia itu bisa menjadi basis rujukan yg kuat. Saya yakin banget ini bakal membantu juga rencana pengembangan SDM Nasional untuk 5 tahun ke depan
Kalau dilihat-lihat dari cara ngomongnya kayaknya Pak Yanuar ini orang pinter deh
Keren nih videonya,
Kalo menurut saya, lembaga riset pemerintah dan private dibuat bersaing aja tapi harus dengan pemerintah yang tidak memihak
kalau dana untuk riset sebesar itu dipakai sebagai perangsang untuk lembaga riset, sudah pasti persaingan untuk menghasilkan yang terbaik dan tepat guna menjadi lebih intens,
hasilnya yah keuntungan untuk negara dan rakyat.
pemerintah ga usah malu lah ambil contoh dari negara maju tentang bagaimana mengembangkan riset.
ada banyaklah orang Indonesia yang punya kapabilitas untuk menghasilkan jalan keluar tapi mindsetnya sudah terbentuk "disini ga bakalan dihargai lebih baik jual keluar",
"pemerintah tidak mau mengakui sakitnya" saya setuju dengan ini.
yang parahnya lagi tampilan politik di Indonesia tidak menghasilkan jalan keluar untuk permasalahan bangsa dan negara tapi menampilkan olok-olok dari masing2 pihak.
sukses terus buat channelnya mbak, Indonesia pasti bisa maju.
Kak Afu, aku kerja di BPPT. Aku setuju sama the whole point in this video, tapi ada beberapa hal yang mungkin belum diketahui banyak orang. Memang betul riset Indonesia belum mendunia, tapi dari BPPT sendiri, sudah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan dalam 5 tahun terakhir. Banyak produk-produk dalam negeri yang telah berhasil diciptakan untuk meningkatkan TKDN dan mengurangi impor. Mungkin temen-temen yang lain bisa cek di website BPPT.
Saat ini kita peneliti ingin sesuatu yang poinnya adalah untuk memajukan riset di seluruh tingkat akademisi dan peneliti di Indonesia dengan berbagai background riset. Kondisinya sekarang ini masih sulit diimplementasikan. Mungkin hal ini bisa jadi masukan bagi BPPT dan lembaga lainnya untuk dikoreksi. Terima kasih ya mbak atas concernnya 🙏
Sayangnya kalau di bidang bioteknologi dan agrikultur kayak di TAB, riset BPPT kita berprogress sih tapi cenderung lambat dan masih biasa aja kualitasnya kalau dibanding negara lain 😞 Banyak proyek/penelitian yg tumpang-tindih sama K/L lain dan ngga efisien--yg juga ada karena ego sektoral. Inovasinya juga gitu-gitu aja, sebenarnya karena perekayasa kita diributkan sama banyak hal, seperti rebutan dana insentif, RB, administrasi, dll. Ini ngga cuma dialami perekayasa, tapi juga dosen dan peneliti seluruh Indonesia apapun afiliasi organisasinya 😥
Terima kasih. Ilmu lagi dan gratis.
makanya model pembelajaran abad 21 penting bgt buat anak2 muda di indonesia...seperti project based learning, stem sehingga anak2 terlatih untuk jadi researcher...tetapi model tersebut harus bener2 dipublikasikan...sedihnya guru2 pns di indo bahkan ga tau model tersebut...sedih...sejauh ini model tsb masih diterapkan di sekolah inter dan nasional plus ya pokoknya swasta....
mudah2an mantinya banyak generasi indonesia yg mempelajari model pembelajaran sehingga indo bs menghasilkan murid2 yg bisa jd researcher