KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni: من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات "Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis) Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan. Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal. Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua. Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut: Dzat itu ada macam-macam kategorinya: Jauhar (entitas tunggal terkecil) Jisim (entitas multi jauhar) ‘Aradl (aksiden) Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama. Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut: Qadim (tanpa awalan) Baqa’ (tanpa akhiran) Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya) Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk) Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya. Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah. Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah. Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana? Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini). Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri. Istawa dan Nuzul Masuk Mana? Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah. Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah. Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya. Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy. Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Istawa sebagai Keberadaan Allah Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah. Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah. Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian. Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah? Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah. Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir. Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax. * Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
@@LingkungSeniSantriKalijaga itulah razy pilsapat yg bingung dgn akal2an sendiri. Padahal aqidah Islam itu mudah dipahami baik awam maupun pakar. Akibat belajar ilmu Kalam yg terang jadi kelam
Al-Quran dan kutubussittah itu semuanya valid atau shohih, otak dan kemampuan anda yang tidak valid. Coba sering-sering khatamkan Qur'an jangan cuma terima potongan dari syuyukh anda. Apa semuanya harus anda tahu tentang Allah? anda tidak mengerti konteks diri anda sebagai makhluq atau serba terbatas. Apalagi menghadapi hal-hal ketuhanan? Anda lebih 'Alim dari jumhur atau kebanyakan ulama yang ada sejak dulu? Yang sebenarnya bid'ah dan baru itu ya kalian-kalian itu. Kok gak paham.
Dari Abu muthi'Al-hakam bin Abdillah Al-balkhiy pemilik kitab Al-fiqhul Akbar , beliau berkata ; aku bertanya kepada abu Hanifah mengenai perkataan seorang yg menyatakan " aku tidak mengetahui di manakah Rabb-ku di langit ataukah dibumi" lantas Abu Hanifah mengatakan ; orang tersebut telah kafir , karena Allah Ta'ala sendiri berfirman ; Allah Ber ISTIWA' di atas Arasy dan Arasy-nya di atas langit . imam Malik mengatakan ; Allah berada di atas langit dan ilmunya berada di mana2 segala sesuatu tidak lepas dari ilmunya . imam Syafi'i mengatakan ; Allah berada di atas Arasy-nya yang berada di atas langit-nya namun walaupun begitu Allah-pun dekat dengan makhluk-nya sesuai yg dia kehendaki . imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya tentang firman Allah ; dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada , tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan dialah yang ke empat-nya . Yg di maksud kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah , Allah mengetahui yg ghaib dan yg nampak , ilmu Allah meliputi segala sesuatu yg nampak dan yg tersembunyi , namun Rabb kita tetap menetap di atas Arasy tanpa di batasi ruang tanpa di batasi dengan bentuk , kursi Allah meliputi langit dan bumi . inilah Aqidah imam empat Mazhab yg sesuai dalil Al-Qur'an dan As-sunnah , adapun jahmiyah , mu'tazilah , Asy-ariyyah , matuuridiyyah , dan Abadhiyyah, mereka telah mengubah-ubah nama serta sifat-sifatnya , sesuai dengan pandangan masing-masing kelompok tersebut . ( Al-Qoulul Mufid)
Sudah jelas Allah sendiri memberitahu keadaan dirinya diatas ARS .surat thoha ayat 5 bahkan dgn Bahasa Arab Mubin. Kita cukup imani saja jgn ditakwil, serahkan sesuai keagunganya.
Betul. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan para Sahabat mengajarkan bahwa Allah berada di atas. Di atas Arsy di atas langit ketujuh. Ucapan mereka sangat jelas. Tidak ada keraguannya. Alhamdulillah.
Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.” Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian! 2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu. 3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya. 4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian. 5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)
@@muhamfadhil MAKNA ALLAH ADA TANPA TEMPAT WAKTU DAN ARAH (DIRANGKUM DAN DIHIMPUN DARI KITAB2 AQIDAH KARYA IMAM ABUL HASAN AL-ASY'ARI DAN IMAM THOHAWI) 1. Ada tanpa tempat Maknanya Allah ada tanpa menempati suatu tempat, ruang, atau wadah. Tak ada tempat, ruang, wadah yang meliputi, mengelilingi, apalagi membatasi Allah. Justru Allah yang melingkupi dan membatasi seluruh makhluk-Nya. Kedekatan Allah SWT dengan makhluk-Nya dari dasar bumi terdalam sampai ujung langit / ujung jagat raya itu sama. Bukan Allah ada di mana-mana, tapi kedekatan Allah tak dapat dibayangkan. 2. Tidak Terpengaruh Waktu Allah Maha Awal Tanpa Permulaan, MAha Akhir Tanpa Penghabisan. Dia sudah ada sebelum segala sesuatu ada, dan akan tetap ada walau semua telah musnah. Tidak berlaku bagi-Nya proses, perkembangan, cara dan segala hal terkait waktu yang berlaku untuk makhluk-Nya. 3. Tidak Memerlukan Arah Arah yang 6 ; atas, bawah, kanan, kiri, depan, dan belakang semuanya itu adalah makhluk. Pun begitu ruang hampa dan ruang berisi, adalah makhluk. Seperti dijelaskan pada poin pertama, Allah tidaklah diliputi, dikelilingi, apalagi dibatasi oleh makhluk-Nya. Lantas apa makna dari Kalimat 'Allah di atas', serahkan saja pada Yang Di Atas'? Itu bukanlah bermakna Allah berada di atas kita secara posisi fisik, akan tetapi Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar derajat dan kekuasaan-Nya. Allah adalah satu2nya Dzat Ahad ; tidak beristri dan beranak, tidak ada yang menemani / mengiringi dan menyertai. Tempat, waktu, arah adalah bagian dari pengiring / penyerta, maka Maha Suci Allah dari semua itu. Salam aqidah ahlussunnah waljama'ah.
@@LingkungSeniSantriKalijaga saya juga bisa bikin kaidah filsafat, segalanya yg memiliki nama dan bisa diungkapkan oleh lisan manusia adalah makhluk. Allah memiliki nama, dan bisa disebut namanya, diungkapkan sebagian sifat2nya, berarti .... Inilah kesesatan berasumsi tanpa dalil. Seperti keyakinan kalamullah tanpa huruf dan tanpa suara. brarti konsekwensinya alquran itu bukan kalamullah. Harusnya alquran yg berbahasa arab itu kalam nabi, jika kalam nabi berarti alquran itu makhluk. Gituloh mas, makane sampeyan akal2, kulo juga bisa akal akalan utk bantah filsafatmu.
@@nikovn9 segala nama yg bisa diungkap oleh lisan adalah makhlukbukan kaidah filsafat, tapikaidah ngaco tanpa dasar. Filsafat itu amat ribet dan gak segampang yg sampeyan bilang. Kalau sampeyan bilang kalamullah tanpa huruf dan tanpa suara itu asumsi tanpa dalil, kalamullah harus berhuruf dan bersuara itu juga sama asumsi tanpa dalil. Oh iya, saya tanya dulu apa sih definisi dalil? Jangan2 bebusa-busa ngomong dalil tapi kaga tau apa definisinya
@@nikovn9 BAGAIMANA ALLAH BERKALAM PADA NABI MUSA? Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam akidah Mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah diyakini bahwa Kalamullah tidak berupa suara dan huruf sebab suara dan huruf pastilah makhluk. Seluruh suara yang kita tahu di alam semesta ini berupa gelombang getar yang merambat hingga sampai ke gendang telinga kita. Semua huruf yang kita tahu di alam semesta juga makhluk yang punya awalan dan akhiran serta kita susun sekehendak kita. Dan, semua tahu bahwa Dzat Allah tidak melahirkan/mengeluarkan makhluk. Ini adalah premis yang tidak dapat dibantah kecuali oleh orang ingkar pada realitas. Akan tetapi banyak yang bertanya-tanya bagaimanakah kalam tanpa suara dan huruf itu bisa sampai pada malaikat dan para Nabi? Sebenarnya pertanyaan semacam ini hanya timbul dari orang yang menyamakan kalamullah dengan kalam manusia. Andai dia hilangkan tasybih (penyamaan) antara manusia dan Allah itu, maka pertanyaan ini tidak akan muncul sebab sudah maklum bahwa Allah itu berbeda mutlak dengan manusia atau makhluk apa pun. Derajat pertanyaan ini sebenarnya sama dengan derajat pertanyaan konyol seperti: "Allah kapan lahir? Allah bentuknya seperti apa? Allah hidup sampai usia berapa? Tempat tinggalnya Allah sebesar apa?" dan sebagainya yang muncul dari pikiran tasybih. Ketika dia melihat manusia berkalam dengan suara dan huruf, maka daya pikirnya yang terbatas kesulitan memahami bentuk komunikasi tanpa suara dan huruf. Kalam dalam istilah bahasa Arab bukanlah bicara atau ngobrol dalam bahasa kita. Bila dicari padanan kata yang paling mendekati dalam bahasa sekarang, kalam adalah komunikasi. Jadi, kalamullah adalah komunikasinya Allah. Kita, bangsa manusia berkomunikasi dengan manusia lain dengan cara berbicara menggunakan suara dan susunan huruf tetapi karena Allah bukan manusia, maka Allah tidak menggunakan keduanya. Lalu bagaimana kalam Allah bisa sampai pada seorang Rasul seperti Nabi Musa misalnya yang di dalam al-Qur'an dinyatakan berkomunikasi langsung dengan Allah? Para ulama salaf menggunakan contoh kasus lain untuk menggambarkan komunikasi tanpa suara dan huruf agar masalah ini dapat lebih mudah dipahami, meskipun di masa itu tidak ada contoh yang betul-betul memadai. Mereka memakai ilustrasi suara hati (kalam nafsi). Dalam kepala kita masing-masing, seringkali kita "berbicara" atau mungkin "berdebat" dengan khayalan kita. Secara bahasa arab itu disebut kalam juga, kita pun di Indonesia menyebutnya sebagai "bicara dalam hati" atau "suara hati" meskipun tidak ada suaranya. Ada beberapa dalil dari al-Quran, hadis dan atsar yang menyinggung adanya suara hati (kalam nafsi) ini. Nah, kalau suara hati kita--yang sebenarnya tanpa suara dan huruf itu--hanya ada di kepala kita saja dan tidak bisa sampai ke orang lain, maka kalam nafsi Tuhan bisa sampai ke benak Nabi atau malaikat yang diberi kalam. Begitulah cara ulama salaf menjelaskan bab ini yang saya coba olah dengan bahasa seringkas dan sesederhana mungkin. Silakan baca buku saya apabila penasaran dalilnya apa saja, bagaimana kutipan perkataan ulama salaf dan bagaimana perdebatan soal ini secara lebih mendalam. Di masa ini sebenarnya kita punya banyak sekali contoh kasus lain dan ilustrasi yang melimpah untuk menjelaskannya. Bahasa manusia pun juga telah mengalami perkembangan sehingga apa yang di masa lalu tidak ada istilahnya sekarang ada. Yang mencoba diilustrasikan oleh ulama salaf itu dalam bahasa sekarang adalah telepati. Dulu tidak ada istilah ini sehingga butuh penjelasan yang panjang lebar untuk merujuk pada kejadian di mana satu pihak bisa berkomunikasi pada pihak lain tanpa harus bicara, menulis atau sebagainya yang melibatkan perpindahan suara dan huruf. Tanpa keduanya, apa yang ada di pikiran seseorang sampai dengan komplit ke pikiran orang lain. Kita biasa melihat ini di film-film atau kisah-kisah karomah para wali yang secara ghaib bisa berkomukasi dengan wali lain tanpa bicara. Sampai saat ini pun masih banyak kisah orang hebat yang dapat mengetahui suara hati orang lain, padahal tidak ada suara atau huruf yang dikeluarkan. Untuk diketahui, para ulama tidak menyebut isi kepala sebagai "suara dan huruf" meskipun dalam khayalan kita ada seolah suaranya dan ada susunan hurufnya. Ulama menyebut huruf dalam suara hati sebagai "huruf khayalan". Lalu apakah artinya Allah bertelepati? Kita tidak boleh menggunakan istilah yang tidak warid atas Allah. Kita hanya boleh bilang Allah berkalam dan kalam-Nya bukan berupa suara dan huruf. Telepati ini hanya sebuah ilustrasi untuk memudahkan kita paham bahwa ada loh komunikasi tanpa suara dan huruf itu sehingga tidak perlu diherankan apalagi dimustahilkan. Para ulama yang menyebut istilah kalam nafsi bagi Allah juga tidak bermaksud mengatakan bahwa Allah punya hati dan ada suara khayalan di dalam hati Allah, sama sekali tidak ada yang bermaksud demikian. Ini semua hanyalah ilustrasi untuk membuat orang awam lebih mudah paham. Saya kira ini clear. Contoh lain di masa ini adalah komunikasi antar semut, mereka tidak memakai suara atau huruf tetapi memakai sentuhan antena yang entah bagaimana bisa membuat semut lain paham apa yang harus dilakukan sehingga kerja mereka terorganisis. Andai semut mengerti kengototan sebagian manusia yang mengharuskan komunikasi Tuhan berupa suara dan huruf, mereka pasti tertawa terkekeh-kekeh. Contoh lain lagi adalah sinyal. Secara teknis, sinyal yang menyebar ke mana-mana itu tidak disebut suara dan tidak pula disebut huruf. Akan tetapi tower BTS berkomunikasi dengan hape kita dengan baik dan hape kita paham betul isi komunikasi apa yang harus ditampilkan. Kalau anda paham ini, maka seharusnya anda akan memahami bagaimana para Nabi memahami komunikasi Allah yang tanpa suara dan huruf itu. Ketika Allah berkalam, maka isi kalam itu akan sampai dengan utuh di benak para Nabi seperti utuhnya hape menerima informasi dari sinyal yang diterimanya tanpa modifikasi atau tafsiran. Setelah informasi itu diterima, hape menyampaikan isi komunikasi itu kepada kita dalam bentuk suara, huruf, gambar, aplikasi, dan lain-lain tanpa ada informasi tambahan yang dikarang oleh si hape itu sendiri. Andai sinyal itu berisi informasi ABC, maka akan sampai ABC pula takkan menjadi ABCD atau alif ba' ta'. Seperti itu pula para Nabi pun juga sama menyampaikan isi komunikasi Tuhan itu kepada kaumnya dengan suara dan huruf sebab itulah satu-satunya cara manusia berkomunikasi dengan orang lain. Dalam proses ini Sang Nabi tidak menebak-nebak, menafsirkan sendiri atau mengarangnya tapi apa yang mereka sampaikan betul-betul isi komunikasi yang ia dapat dari Tuhan. Perlu dicatat bahwa konten komunikasi yang berasal dari Allah ini saat ia tidak berupa suara dan huruf disebut kalamullah. Ketika sudah disampaikan berupa suara dan huruf melalui lisan Jibril atau para Nabi juga disebut sebagai kalamullah. Kedua bentuk ini sama-sama disebut kalamullah secara hakikat. Untuk membedakannya secara teknis, bentuk awal yang tanpa suara dan huruf disebut kalamullah an-Nafsi. Bentuk yang berupa suara dan huruf disebut kalamullah al-lafdzi. Ohya, kadang Rasulullah mengungkapkan isi komunikasi Allah yang dia dapat dengan bahasanya sendiri, kalimat dan diksinya sendiri. Dalam tradisi kita yang semacam ini disebut dengan hadis qudsi. Isinya adalah firman Allah (kalamullah) tetapi diksinya adalah diksi Nabi Muhammad. Apabila Nabi Muhammad menyampaikan pesan yang diterima apa adanya (redaksi dan makna dari Allah) tanpa ada keterlibatan dirinya sedikit pun, maka kita menyebut konten kalamullah yang jenis ini sebagai al-Qur’an. Saya kira penjelasan ini mudah dipahami dan dapat menghilangkan kemusykilan. Semoga bermanfaat.
Assalamualaikum. لا إيمانَ لِمَن لا أمانةَ له ، ولا دِينَ لِمن لا عهدَ له. P. Kiyai harus /wajib amanah, benar dan tabayyun ( Al ahzab 70 & Al isra 36.
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni: من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات "Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis) Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan. Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal. Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua. Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut: Dzat itu ada macam-macam kategorinya: Jauhar (entitas tunggal terkecil) Jisim (entitas multi jauhar) ‘Aradl (aksiden) Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama. Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut: Qadim (tanpa awalan) Baqa’ (tanpa akhiran) Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya) Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk) Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya. Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah. Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah. Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana? Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini). Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri. Istawa dan Nuzul Masuk Mana? Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah. Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah. Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya. Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy. Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Istawa sebagai Keberadaan Allah Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah. Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah. Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian. Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah? Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah. Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir. Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax. * Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
kaidah yg belum anda terapkan, yaitu 1.menetapkan makna dhohirnya dan meninggalkan semua asumsi PASTI begini dan begitu. Menetapkan pasti berjism, pasti begini dan begitu itu BUTUH DALIL WAHYU SECARA LITERAL bukan cuman dalil asumsi. 2. ta'wil itu wajib dari lisan nabi dan para sahabat, bukan produk output dari filsafat, bukan kemudian baru dicarikan ayatnya. Laisa kamitslihi syai', itu mencakup seluruh kabar ttg Allah baik yg dirasa (perasaan, asumsi, dzan) menyerupai makhluk atau tidak. Kita tinggal yakini Allah berbeda dg makhluk. Ia berkehendak apa yg Dia kehendaki. Menetapkan makna dhohir Allah di langit, Allah turun ke langit dunia, sekaligus meyakini Allah bukan makhluk, mnurut anda statemen itu tidak masuk akal? Itulah yg namanya mendahulukan asumsi daripada dalil wahyu. Saya pun bisa saja tetep ngeyel bahwa Allah maha melihat dan maha mendengar pasti Allah sama dengan makhluk. Ngeyel ttg Allah pasti sama dengan makhluk itu kan produk asumsi akal saja, bukan dalil wahyu. Sedangkan dalil wahyu bilang, "Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun, Allah maha mendengar dan Allah maha melihat". Masih ngeyel kah anda? Seperti mengimani isra miraj hanya dalam semalam, masuk akal? Baru mau beriman jika isra miraj bisa diamati di laboratorium filsafat?
@@nikovn9 TIDAK CUKUP BILA HANYA MENGATAKAN TIDAK SERUPA DENGAN MAKHLUK Kalangan Taimiyun-Wahabi sering kita dengar menetapkan organ-organ bagi Allah lalu ditambah dengan pernyataan "yang tidak sama dengan makhluk". Misalnya, mereka berkata: "Allah punya tangan dalam makna tangan yang diketahui bersama tapi tidak serupa dengan makhluk." Mereka menganggap embel-embel tersebut sudah menyelamatkan akidah mereka dari tasybih. Di antara kutipan favorit mereka yang membuat mereka yakin bahwa tindakan itu benar adalah pernyataan Ishaq ibn Rahawaih dan adz-Dzahabi berikut: وقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: " إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ، أَوْ مِثْلُ يَدٍ، أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ، أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ Ishaq bin Ibrahim (Rahawaih) berkata: Sesungguhnya hanya terjadi tasybîh apabila berkata tangan [Allah] seperti tangan atau mirip tangan [makhluk], pendengaran [Allah] seperti atau mirip pendengaran [makhluk]. (At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz III, halaman 42) Senada dengan beliau, Syekh Adz-Dzahabi juga berkata: فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه "Tasybîh hanya terjadi apabila dikatakan ‘Tangan seperti tangan kita’. Apabila dikatakan: ‘tangan yang tak sama dengan tangan-tangan lain’, seperti halnya Dzat-Nya tak sama dengan Dzat lain, pendengaran-Nya tak sama dengan pendengaran yang lain, penglihatan-Nya tak sama dengan penglihatan yang lain, dan tak ada bedanya di antara semua, maka itu adalah menyucikan (tanzîh)". (Adz-Dhahabi, al-Arba’în min Shifât Rabb al-‘Âlamîn, halaman 104). Kali ini, kami akan mengutip penjelasan seorang ahli kalam klasik yang menurut kami bagus untuk membuktikan pada para Taymiyun-Wahabi bahwa persoalannya memang tidak sesederhana seperti yang dikatakan Imam Ishaq dan adz-Dzahabi itu. Beliau menjelaskan alasannya dengan panjang lebar dan rasional sebagai berikut: وأما في طرق الإثبات فمعلوم أيضًا أن المثبت لا يكفي في إثباته مجرد نفي التشبيه، "Adapun dalam metode itsbat maka sudah dimaklumi juga bahwa penetap sifat tidaklah cukup menafikan keserupaan saja dalam penetapannya", إذ لو كفى في إثباته مجرد نفي التشبيه لجاز أن يوصف الله سبحانه وتعالى من الأعضاء والأفعال بما لا يكاد يحصى مما هو ممتنع عليه مع نفي التشبيه، وأن يوصف بالنقائص التي لا تجوز عليه مع نفي التشبيه، "Karena andai dalam menetapkan sifat hanya cukup menafikan keserupaan saja, maka akan boleh menyifati Allah subhanahu wata'ala dengan anggota tubuh, perbuatan dan hal lain yang tidak terbatas yang terlarang bagi Allah meskipun disertai menafikan keserupaan, dan akan boleh juga menetapkan kekurangan pada Allah yang tidak mungkin baginya meskipun disertai menafikan keserupaan." كما لو وصفه مفتر عليه بالبكاء والحزن والجوع والعطش مع نفي التشبيه، وكما لو قال المفتري: يأكل لا كأكل العباد، ويشرب لا كشربهم، ويبكي ويحزن لا كبكائهم ولاحزنهم، كما يقال: يضحك لا كضحكهم، ويفرح لا كفرحهم، ويتكلم لا ككلامهم، "Seperti andai seorang yang mengada-ada berkata: Allah makan tapi tidak seperti makannya hamba, minum tetapi tidak sama dengan minumnya mereka, menangis dan bersedih tidak seperti menangis dan bersedihnya mereka. Sama seperti dikatakan: Allah tertawa tapi tidak seperti tertawanya mereka, bahagian tidak seperti bahagianya mereka, berbicara tidak seperti berbicaranya mereka". ولجاز أن يقال: له أعضاء كثيرة لا كأعضائهم، كما قيل: له وجه لا كوجوههم، ويدان لا كأيديهم، حتى يذكر المعدة والأمعاء والذكر، وغير ذلك مما يتعالى الله عز وجل عنه، سبحانه وتعالى عمّا يقول الظالمون علوًا كبيرًا. "Dan akan boleh juga dikatakan: Allah punya anggota tubuh yang banyak tapi tidak seperti anggota tubuh mereka. Sebagaimana juga dikatakan: Allah punya wajah yang tidak seperti wajah-wajah mereka, dua tangan yang tidak sama seperti tangan-tangan mereka. Bahkan hingga disebutkan lambung, usus, kelamin dan lain-lain yang mustahil bagi Allah azza wajalla. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang zalim." فإنه يقال لمن نفى ذلك مع إثبات الصفات الخبرية وغيرها من الصفات: ما الفرق بين هذا وبين ما أثبته، إذا نفيت التشبيه، وجعلت مجرد نفي التشبيه كافيًا في الإثبات، فلا بد من إثبات فرق في نفس الأمر. "Maka dikatakan pada orang yang menetapkan sifat khabariyah itu dan sifat-sifat lainnya: "Apa perbedaan antara ini dan antara yang engkau tetapkan ketika engkau menafikan keserupaaan dan engkau menjadikan semata penafian keserupaan seolah cukup dalam menetapkan sifat?". Maka dari itu harus ditetapkan adanya perbedaan secara hakikat". Jelas dan gamblang sekali bukan keterangan dan logika di atas. Semua mujassim muslim yang bersyahadat kepada Allah dan Rasul semuanya tanpa kecuali menafikan keserupaan antara Allah dan makhluk. Mereka memang menetapkan jisim bagi Allah namun juga meniadakan keserupaannya dengan makhluk. Tetapi itulah yang membuat mereka dianggap ahli bid'ah dan sesat oleh para ulama tapi tidak sampai dikafirkan. Sebab itu, tidak bisa seseorang asal bilang "pokoknya tidak sama dengan makhluk". Ohya, kami lupa menyebut sumber kutipan terakhir di atas. Yang berkata seperti itu adalah Syaikh Ibnu Taymiyah dalam kitab Tadmuriyah halaman 136. Tapi....tapi....tapi.... hahaha.... silakan bertapi-tapi. Yang jelas, ini bukti bahwa kami tidak membenci beliau atau fanatik buta pada pencela beliau sebab bagian yang benar dari kalam beliau pasti tetap kami rujuk.
@@LingkungSeniSantriKalijaga nah kesalahan anda dan ahlul kalam yg suka berandai andai. Andai andai itu dari rosul atau dari kantong sendiri??? andai Allah begini dan begitu, subhanallah, ini permisalan yang tidak etis dan kurang ngajar dalam memberikan contoh. Kalian berandai andai, menyatakan PASTI begini begitu, lalu menolak sebagian sifat yang kalian sendiri tidak pernah lihat. Agama itu dalil wahyu bukan dalil andai andai
@@nikovn9 mangkanya jangan mengambil makna dzahir. Tafwidl lah atau takwil. Setiap makna dzahir itu mempunyai spek dan rincian yang pasti, sementara kalian selalu berkata, 'mengimani tanpa takyif, ta'thil, tamtsil dan tasybih'. Sementara makna dzahir pasti akan terjadi takyif, tamtsil dan tasybih akibatnya beresiko ada ta'thil. Kenapa? Karena makna dzahir harus ada spek yg jelas dan rinci tdi. Kalau diembel2i tanpa takyif, tamtsil, ta'thil dan tasybih maka itu sdh bukan makna dzohir. Itu sdh masuk ranah takwil. Kesalahan orang salafy adalah dari itsbat makna, tidak tafwidh apalagi takwil. Padahal dengan itsbat makna, maka semua dalil akan bertabrakan. Contoh itsbat makna yg dilakukan salafi ; menterjemah yad menjadi tangan, dan mengembel2i 'Tangan Allah tdk sama dengan tangan makhluk'. Kaum Salafy tersebut berkata jangankan dengan Allah, antar makhluk saja misal tangan manusia dan monyet jelas berbeda. Tapi salafy lupa bahwa sebagaimanapun berbedanya tangan antar makhluk tapi punya fungsi yang sama, untuk memegang, meraba. Artinya kalau tangan Allah dan manusia diaebut berbeda, tapi tetap hakikat fungsinya sama, yaitu organ peraba. Ini artinya salafi sama halnya dengan mengatakan bahwa tangan manusia dan tuhan itu sama saja hakikatnya, tapi hanya beda dari ukuran dan kekuatan saja. Tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan tuhan besar dan kuat. Ini sungguh aqidah menyimpang dari orang2 mujassimah yang gemar m3ngkhayalkan bahwa tuhan adalah sosok raksasa super besar yg berbeda dari apapun selain-Nya. Makanya yg paling aman adalah tafwidh. Dalam dalil2 disebutkan ada Yad bagi Allah. Maka sdh saja kita terima kalimahnya begitu adanya, 'Yad'. Gak usah diterjemah jadi tangan! Karena Yad adalah kalimah bahasa arab yg mana kalimah2 bahasa arab itu mempunyai banyak makna dan akan berlaku sesuai konteksnya. Justru ketika kita menerjemahkan Yad menjdi 'tangan' maka berarti kita malah menyempitkan makna Yad tersebut. Ini juga berlaku bagi kalimah2 khabariyah yg lain. Jangan diterjemah! Karena akan menyempitkan maknanya yg sebenarnya bgtu luas dan kaya. Dan lagi Dalam dalil mana pun tdk pernah Allah menyebutkan bahwa Dia memiliki organ tubuh. Kok berani2nya mengatakan Allah mempunyai tangan. Kalau Yad emang iya, tapi akan jadi keliru ketika menterjemah yad menjadi tangan. Walaupun soal menterjemah yad menjadi tangan ini ada kalangan ulama aswaja yg membolehkan, karena memang yad dan tangan itu memiliki banyak makna, tdk mesti organ tubuh. Jadi terbilang aman menerjemah Yad menjadi tangan. Tapi saya memilih tdk menterjemahny, membiarkan apa adanya kalimahnya seperyi itu. Soal istawa juga bgtu. Salafi banyak yang berpendapat makna istawa adalah bersemayam. Walaupun saya lihat gak kompak sih salafi dalam hal ini. Ustadz Salafi macam Dzulqarnain Sunusi atau Farhan Abu Furaihan mengatakan keliru memaknai istawa menjadi bersemayam. Tapi yg lain ada yg mengatakan bersemayam. Maka sudah jangan diterjemah. Paling aman imani saja dan gak usah korek2 makna istawa itu apa.
@@LingkungSeniSantriKalijaga anda gak mendalami kaidahnya, "Terima makna dhohir sampai adanya tawil dari NABI dan SAHABAT". Mudah dan selamat. saya kira kalau mensyaratkan harus mendalami kalam supaya terhindar tasybih, para awam, anak kecil, sepuh dan simbah yg gk paham filsafat akan mencicipi neraka dulu secara default.
Yg di debat kan bukan soal istawa/istaula. Tp soal ALAL= di atas. Istawa diatas arsy, istaula juga diatas arsy, Jadi jelas kata DIATAS tak bisa dibantah. ALLAH DI ATAS ARSY, tanpa membutuhkan tempat ITULAH KEHENDAkNya . QS Thaha:5.banyak dalil Berani BANTAH KEHENDAK ALLAH?? tak ada DALIL Allah dimana2 sperti GAS oksigen, nitrogen, helium, dll yg menempati ruang. Ingat gas itu mahluk. Sy tanya, ADAkah mahluk yg bisa berada DI ATAS ARSY?? Jawabnya TIDAK. Tak ada satu pun mahluk yg mampu bersanding dgn ALLAH, berada di ATAS arsy. Hanya ALLAH saja satu satunya yg mampu berada TINGGI di atas arsy, kita menunjuk Allah ada diatas dgn Niat mengagung kan Nya. Krna ALLAH lah satu2 nya dzat yg maha tinggi. Yg MAMPU BERADA DI ATAS ARSY KONSEKWENSI Jika Allah ada dmana2 sperti gas, : 1. ada banyak mahkluk yg setara dgn Allah. 2. Sifat MAHA TINGGI ALLAH GUGUR, krna ada BANYAK MAHLUK yg setara, bahkan mengalahkan tinggi nya ALLAH 3.ALLAH sifatnya seperti Mahluk Gas yg tak berwujud, memenuhi ruangan, ada dmana2. 4. Sifat Allah seperti gas, adalah batil. Krna TAK ADA DALIL satu pun KESIMPULAN: ALLAH DI ATAS ARSY TAK ADA MAHLUK YG MAMPU berada di atas Arsy. Artinya Allah TIDAK sperti mahluk , tak ada mahluk yg mampu berada diatas ARSY Itulah maksud Laaisa kamislihi sai'un
Ulama Assyai'rah tidak mentakwil,sebaliknya mentafsir mengenai Ayat tersebut..Arrahman nu ala aryistawa bermaksud: Allah yang bersifat Pemurah dan Agong berbanding Araf yg merupakan makhluk yang maha besar.Ini menunjukkan yang Allah adalah maha berkuasa dalam memiliki dan menguasai sekian alam dari sekecik hingga yang paling besar.
maaf ! berdasarkan keterangan / penjelasan yang di uraikan oleh Kiyahi dalam video ini mengindikasikan dengan jelas bahwa dia belum faham bahasa arab dengan baik / benar , jadi pemahamannya cenderung batal / tidak sah ( tidak benar ) Allaahu a'lam .
Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan,mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari cari fitnah dan MENCARI CARI TA'WILNYA,padahl tdk ad yang tau takwilnya kecuali Allah.(Qs,ali imran:7)
Bilang Allah bertempat itu takwil sesat. Knp ? Krn itu berarti mengatakan Allah butuh tempat yaitu arsy. Allah itu Tuhan masak butuh mahluq? Sifat butuh adalah sifat mahluq,dan Allah maha suci dr keserupaan dg mahluq. Laisa kamistlihii syaiun
@@annabawy7274 afwan antum pikirannya keliru dengan pemahaman seperti itu, Allah berIstiwa' di atas 'Arsy bukan berarti Allah membutuhkan tempat dan menyerupakannya dengan makhluk. Jelas Allah tidak serupa dengan makhluk. Antum memahami dalil dengan akal semata, cukup di imani saja tanpa mencari-cari takwilnya. Kalau antum berkata Allah berIstiwa' diatas 'Arsy sama dengan makhluk berarti antum tidak boleh mengimani Allah itu hidup, sebab makhluk juga hidup. Antum tidak boleh mengimani Allah itu mendengar dan makhluk juga mendengar, semoga Antum paham. Hidayah hanyalah milik Allah 'Azza wa Jalla.
Kenapa orang Islam tidak percaya bahawa Allah punya anak kayak kepercayaan Nasrani? Kerna dalam Al-Quran dinyatakan Allah itu tidak punya anak. Nah kenapa perlu percaya bahawa Allah di atas arasy..? Kerna didalam Quran dinyatakan sedemikian.
Istiwa bukan bermakna istaula “Suatu ketika kami berada di sisi Ibnul A’rabi (wafat: 231-H). Tiba-tiba seorang laki-laki datang lantas bertanya: ‘apa makna firman Allah ini...??: ﭐﻟﺮَّﺣْﻤَـٰﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﭐﻟْﻌَﺮْﺵِ ﭐﺳْﺘَﻮَﻯٰ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. [QS. Thaha: 5] Ibnul A’rabi rahimahullah menjawab: ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺒﺮ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ “Maknanya; Dia berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia-‘azza wa jalla-kabarkan.” Laki-laki itu lantas menimpali: ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﻣﻌﻨﺎﻩ، ﺇﻧﻤﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ “Wahai Abu ‘Abdillah (Ibnul A’rabi), bukan itu maknanya. Akan tetapi maknanya adalah Istaulaa (Dia berkuasa).” Ibnul A’rabi menjawab: ﺍﺳﻜﺖ ! ﻣﺎ ﺃﻧﺖ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﻘﺎﻝ : ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﻣﻀﺎﺩ ﻓﺈﺫﺍ ﻏﻠﺐ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻗﻴﻞ : ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ “Diam kamu! Apa taumu dalam masalah ini..?! Tidaklah dikatakan seseorang ‘istaulaa’ (menguasai) sesuatu melainkan dia memiliki lawan (sengketa). Jika salah seorang di antara keduanya berhasil mengalahkan yang lain, barulah dia dikatakan ‘istaulaa’ (telah menguasai).” Kisah tersebut shahih, diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam Syarh Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (3/399, no. 666, tahqiq: Ahmad bin Mas’ud Hamdan). Berdasarkan penjelasan Imam Ibnul A’rabi tersebut, maka secara bahasa, mustahil kita akan menakwil istiwaa’ dengan makna istaulaa. Karena akan melahirkan konsekuensi makna yang batil, bahwa Allah sebelumnya tidak berkuasa atas ‘Arsy. Dia baru berkuasa (istaulaa) terhadap ‘Arsy setelah Dia merebutnya dari selain-Nya. Maha Suci Allah dari sifat yang demikian.
Al-Quran dan kutubussittah itu semuanya valid atau shohih, otak dan kemampuan anda yang tidak valid. Coba sering-sering khatamkan Qur'an jangan cuma terima potongan dari syuyukh anda.
Arasy al adhim = makhluk yang paling besar sebagai induk semua makhluk. Arasy istawa = arasy yang seimbang, stabil tidak bergoncang, berdiri kokoh, tangguh. Jagad raya berada dibawah arasy, dengan segala material berpusar dalam lintasannya sedangkan arasy stabil dan seimbang menaungi jagad raya. Kursiyuhu samawat wa ard = kursi Dia meliputi samawat (arasy) dan bumi = fi samawat wa ard. Penjabaran alternatif adalah Tuan semesta alam bersifat transenden = wajibul wujud menguasai samawat wa ard. Tuan semesta alam = mukholafatu lil hawadisi. Samawat (arasy) wa ard (jagad raya) = hawadisi.
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni: من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات "Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis) Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan. Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal. Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua. Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut: Dzat itu ada macam-macam kategorinya: Jauhar (entitas tunggal terkecil) Jisim (entitas multi jauhar) ‘Aradl (aksiden) Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama. Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut: Qadim (tanpa awalan) Baqa’ (tanpa akhiran) Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya) Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk) Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya. Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah. Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah. Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana? Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini). Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri. Istawa dan Nuzul Masuk Mana? Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah. Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah. Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya. Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy. Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Istawa sebagai Keberadaan Allah Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah. Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah. Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian. Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah? Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah. Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir. Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax. * Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
Tolong upload banyak kajian Aqidah ke UA-cam . Cantumkan sumber nya. Wajib bersanad hingga ke Nabi Muhammad SAW. Sehingga umat Islam bersatu. Trimakasih
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, لا يزال الناس يتساءلون حتى يقال هذا خلق اللهُ الخلقَ ، فمن خلق الله ؟ فمن وجد من ذلك شيئا فليقل آمنت بالله “Orang-orang akan ada saja yang bertanya-tanya, hingga akhirnya akan ditanyakan, Allah yang menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah? Siapa yang mendapati hal tersebut, maka ucapkanlah, aku beriman kepada Allah.” (HR. Muslim) Rasulullah shallallahu alaihiw a sallam juga bersabda, يأتي الشيطانُ أحدَكم فيقول من خلق كذا وكذا ؟ حتى يقول له من خلق ربَّك ؟ فإذا بلغ ذلك فليستعذ بالله ولينته “Setan akan datang kepada salah seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu? Hingga akhirnya dia akan bertanya siapa yang menciptakan tuhanmu? Jika hal itu terjadi, hendaknya dia berlindung kepada Allah dan sudahilah (jangan turuti menjawab pertanyaannya).” (HR. Muslim) Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa sumber dari pertanyaan seperti itu adalah setan
Kami mengimani apa yg allah katakan kami ngak memahami kek ustat pahami kalau allah katakan allah punya tangan kami imani allah punya tangan tapi kami itu aja ngak kek ustat pahami karna di kepala ustat ke banyakan syhuphat
Matematika Tauhid 0 dibagi 1 0 dibagi 1 itu = x ? penjelasannya 0/1 = x maka 0 = 1 . x atau 1 . x = 0, kita harus mencari “1 dikalikan dengan berapa (x) agar memenuhi hasil sama dengan 0”. Tentunya kita sudah mengetahui, x = 0, kita telah mengetahui bahwa “bilangan berapapun dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan 0”. Oleh karena 0 dibagi 1 itu adalah 0 atau dikatakan memiliki satu solusi yaitu = 0. 👉 Manusia dan semua makhluk itu tidak ada kuasa, Tapi Allah lah satu2nya Yang Maha Kuasa = La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.. (lafadz Hauqalah) 0 dibagi 0 0/0 = x maka 0 = 0 . x atau 0 . x = 0. kita harus mencari 0 dikalikan dengan bilangan berapa (x) agar menghasilkan sama dengan 0. “bilangan berapapun dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan sama dengan 0”, berarti bilangan yang memenuhi nilai x itu adalah semua bilangan, yaitu 1, 2, 5, 9, 50, 60, 100, 10.000.000 dst tak terhingga ( ~ ), mau berapapun itu ketika dikalikan dengan 0 hasilnya akan tetap 0. Maka 0 dibagi 0 dikatakan “TAK TERHINGGA” ( ~ ) karena memiliki banyak solusi. 👉 Arsy (makhluk = 0).. mau dibagi (difikirkan) oleh Manusia (makhluk = 0 jg), maka kita tidak bisa memikirkan batasnya dimana.. dan berapa besar kelipatannya = TAK TERHINGGA / ~ 1 dibagi 0 1/0 = x maka 1 = 0 . x atau 0 . x = 1 “0 . x = 1”, artinya kita harus mencari “0 dikalikan dengan berapa (x) agar memenuhi hasilnya sama dengan 1, lalu berapa nilai x nya ?. TIDAK ADA angka yang dikalikan dengan 0 menghasilkan 1, kita tahu suatu bilangan yang dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan sama dengan 0. Jadi bilangan x tersebut “tidak terdefinisi”, oleh karena itu 1 dibagi 0 itu “TIDAK TERDEFINISI” atau dikatakan "TIDAK MEMILIKI SOLUSI." 👉 1 = Khalik/Allah/Esa. 0 = Manusia/makhluk/hakekat tiada.. Maka manusia tidak bisa memikirkan Dzat Allah (Tdk Terdefinisi, Tdk ada solusi - dan tdk akan sanggup).. Kita dilarang memikirkan Dzat-Nya, tapi diperintahkan memikirkan tentang ciptaan-Nya atau Kekuasaan-Nya Aqidah Ahlussunah waljamaah.. Bahwa Allah itu Wujud (Ada), Tanpa Permulaan, Tanpa Akhir, Tidak Bertempat dan Tidak Berarah (Tidak Dikuasai Arah) 👉 Aqidah Aswaja ini lebih berkesesuain dng konklusi logika matematika (dalil aqli) diatas.. dr pd musyabihah & mujasimah.. Dan kita harus menghindar dari mendefinisikan makna dzahir yang mengarah pada tajsim & tasybih terhadap Dzat Allah yg akan melemahkan Dzat Allah, /menyamakan dng makhluknya.. (dng menggunakan metode tafwidh ataupun takwil u/ menghindarkannya) “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “ [ QS. as-Syura:11 ] Wallahualam..
NU & SALAF itu sama-sama bermanhaj salafusholeh, yang membedakan adalah bagaimana mereka mentakhrij hadits. SALAF banyak membuang hadits yang dianggap dhoif, tapi NU menanganggap itu shohih. Maka tidak pelak mereka berbeda. Tapi dalam kaidah-kaidah keilmuwan mereka seimbang, kemudian dalam beberapa hal mereka sepakat, padahal seperti Muhammadiyah, HTI IM, dkk. tidak setuju.
Saya menghargai pendapat ustadz dlm video ini, tp saya tidak setuju bila beliau menolak sifat nuzul-Nya Allah dgn mentakwil menjadi rahmat-Nya yang turun. Yang saya pelajari cukup di imani saja ttg sifat nuzul-Nya Allah, tanpa perlu membagaimanakan nuzul-Nya, karena akal manusia terbatas. Tidak bisa memikirkan hal yang gaib. Jazakallah khayr.
ALKIYAHI Channel Ibnu abbas radhiyallahuanhu brkata: Kami beriman kpada yang muhkam dan mengamalkannya dan kami beriman kpada yang mutasyabihat nmun tdk mengamalkannya,dan seluruhnya dari sisi Allah Ta'ala.(Tafsir ath thabari dan al itqaan fii uluumil qur'aan"krya as suyuthi)
Adnan Handaru... Pertanyaan anda "knp harus ditakwil ttg sifat Allah?" bisa jadi contoh yang baik utk sebagian muslim yang selalu mempertanyakan arti/makna atau tafsir dari ayat2 mutasyabihat... Takwil adalah kaidah/metode yg dipakai para ulama Ahlussunnah wal Jamaah utk menjelaskan makna/tafsir dari ayat2 mutasyabihat, jika ada jamaah (orang awam) yg msh penasaran dan tdk puas dgn jawaban para ulama yang menggunakan kaidah tafwidh... Kaidah/metode tafwidh dan takwil ini dimaksudkan utk menutup rapat2 celah dari pemikiran bahwa Allah serupa dgn mahluk-Nya, tapi tentu saja kaidah takwil ini hanya boleh dilakukan oleh para ulama dgn ilmu yg mumpuni dan tidak boleh merubah tulisan beraksara Arab, berbahasa (bunyi) Arab dari nash Al-Qur'an sebagai Kalamullah... Wallahu a'lam bishawab Ikhwan salaf... bukankan komentar anda itu adlh kaidah/metode tafwidh? Wallahu a'lam bishawab
Pemuda Desa... Saya bermazhab akidah Asy'ariyah, dan saya meyakini kaidah/metode utk mengenal Allah dgn menggunakan kaidah/metode "20 sifat wajib Allah dan 20 sifat mustahil Allah" dan kalimat Tauhid "Laillahaillah" hanya 1 arti, 1makna dan 1 tafsir yaitu "tiada Tuhan selain Allah"... Tapi ada saudara kita, yang bermazhab akidah Ibnu Taimiyah, dalam mengenal Allah, mereka menggunakan metode "Tauhid terdiri dari 3 aspek"... Maaf akhi, saya kurang sependapat jika ada saudara kita yang bermazhab akidah Asy'ariyah, yang mengatakan metode "Tauhid dibagi 3" atau metode "Tauhid 3 serangkai", karena terkesan seperti membagi Tauhid menjadi 3 (seperti keyakinannya umat Kristen dgn metode "trinitas" nya)... Ini saya sertakan cuplikan video ceramah ust. Adi Hidayat dari Muhammadiyah, yg menjelaskan tentang metode "Tauhid terdiri dari 3 aspek" yang benar... ua-cam.com/video/WES9amB-fO4/v-deo.html Ada perbedaan pendapat diantara mereka yang bermazhab akidah Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan dan memahami "Tauhid Asma wa Sifat", paling tidak antara ust. Adi Hidayat dan kelompok Salafi... Ust Adi Hidayat berpendapat bahwa sifat2 Allah dalam ayat mutasyabihat harus di tafwidh, dan jangan ditanyakan atau ditafsirkan, tapi membolehkan takwil, jika masih ada jamaah (orang awam) yang masih bertanya tentang makna/tafsiran logis dari ayat2 mutasyabihat... Sementara kelompok Salafi, berpendapat bahwa Sifat Allah dalam ayat mutasyabihat harus ditafsirkan seperti dzohirnya ayat tsb, tapi menyerahkan kepada Allah mengenai "bagaimananya"/"seperti apanya"... Naahhh, inilah yang sering terjadi benturan pemahaman antara ust. Adi Hidayat dgn kelompok Salafi, apalagi antara Asy'ariyah (Ahlussunnah wal Jamaah/Aswaja) dgn kelompok Salafi... Maaf, karena masih sangat terbatasnya pengetahuan saya, saya blm mengerti, apakah jika ada seseorang yg tidak mengakui 1 saja aspek dari 3 aspek Tauhid, itu berarti Tauhid orang tersebut secara keseluruhan dianggap telah gugur...??? Atau hanya 1 aspek yang tidak diakuinya saja yang dianggap gugur, tapi secara keseluruhan orang tsb masih dianggap bertauhid...??? Wallahu a'lam bishawab Mohon pencerahannya akhi... Jazakallah khoir
Memang memahami al quran dan alhadist butuh orang yang mengetahui metode2 para ulama yang lebih dulu, lebih dekat ke rosululloh seperti sahabat, tabiin, tabiin tabiat, dan ulama mujtahid. Tidak langsung bilang kembali ke alquran dan alhadist. Itu terlihat bodohnya. Terus perjuangkan ustad
Tafwidh berarti tdk diketahui arti dan maknanya. Padahal 'istawa alal 'arsy' disampaikan dlm bahasa arab yg jelas arti dan maknanya. Pendpt si ustad divideo ini tertolak. Yg ulama salaf bersikap tafwidh adalah kpd ayat2 yg mutasyabihat dan tidak diketahui arti dan maknanya, seperti ayat2 muqaththa'ah: Alif laam miim, thaa haa, kaaf haa yaa ain shaad. Ayat2 tersebut bahkan tdk diketahui artinya dalam bahasa arab, dan tidak diketahui maknanya. Pada ayat2 spt itulah para ulana salaf tafwidh. Dan bukan pd ayat2 istawa alal arsy.
perhatikan kata yg mengikutinya. dalam al Quran tdk pernah disebutkan "istawa" saja. selalu di ikuti kata " 'ala". ayat al Quran yg menjelaskan sifat Allah Ta'ala bunyinya "istawa 'ala " , kalimat " istawa 'ala " maknanya hanya satu yakni "bersemayam diatas...". tidak bisa diartikan lain. Allah Ta'ala menjelaskan dengan kalimat yg kokoh sehingga tidak bisa diartikan macam2. Itulah ma'na yg Allah Ta'ala inginkan untuk kita imani. Allah Ta'ala juga menjelaskan "laisa kamitslihi syai' ", Allah Ta'ala tidak serupa dg suatu apapun.
@@latifafkar4360 Berarti antum tidak pernah membaca ayat dan hadits bahwa KETIKA KITA SHALAT, Allah berada di hadapan kita. Di mana saja kita berada. Dalam waktu bersamaan di seluruh dunia banyak orang yang yang shalat. Sementara Allah tetap berada di atas Arsy-Nya di atas langit ketujuh. Mengajak bicara kepada para malaikat, dalam waktu yang bersamaan pula. Mendengarkankan permohonan doa dan mengabulkannya secara bersamaan di seluruh tempat. Mengatur seluruh makhluk-Nya di mana saja mereka berada, dalam waktu bersamaan. Itulah Allah. Maha Besar, Maha Tahu, dan Maha Kuasa. Fa'-'aalul limaa yuriid (berbuat apa saja yang Dia kehendaki). Yang tidak masuk akal jika itu dilakukan oleh manusia. Laisa kamitslihi syaiun. Kaum bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah menganggap bahwa Allah kemampuan-Nya hanya seperti manusia. Sehingga mereka menolak hampir semua ayat dan hadits tentang Sifat-sifat Allah. Kemudian diikuti oleh kullabiyah Asy'ariyyah maturidiyyah. Ahlussunah wal Jamaah Salafi mengimani Sifat-sifat Allah yang Allah khabarkan. Allah yang tahu tentang Sifat-Sifat-Nya. Kita tinggal mengimani. Tanpa menyerupakan Sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat manusia/makhluk. Dan tanpa bertanya bagaimana rinciannya. Karena hal itu akan membawa kepada penyerupaan Allah dengan makhluk. Dari sini sangat salah tuduhan para ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah yang menuduh bahwa: Ahlussunah wal Jamaah Salafi menyerupakan Allah dengan makhluk, karena mengimani Sifat-sifat Allah. Mereka menjuluki Ahlussunah wal Jamaah Salafi dengan julukan mujassimah (menganggap bahwa Allah memiliki jism/badan yang sama dengan manusia) dan hasyawiyah (tekstual). Mereka membangun keyakinan mereka dan menyalahkan aqidah Ahlussunah wal Jamaah Salafi di atas dasar AKAL mereka yang terpengaruh FILSAFAT (ilmu kalam) Yunani, Romawi, dan Persia. Padahal Ahlussunah wal Jamaah Salafi mengimani tanpa menyerupakan. Badan manusia, kita banyak tahu hakekat rinciannya. Adapun Dzat Allah, kita tidak tahu hakekat-Nya sama sekali. Kita tahu Sifat-sifat Allah adalah dari Allah sendiri. Ketika kita mengimani khabar Allah tentang Sifat-sifat-Nya tanpa menyerupakan Sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat manusia/ makhluk, itu adalah KEIMANAN kepada Allah. Bukan sikap TEKSTUAL dalam arti MENYAMAKAN dengan jism manusia. Maka istilah mujassimah dan hasyawiyah untuk menjuluki Ahlussunah wal Jamaah Salafi, adalah dibangun oleh pemahaman bid'ah sesat ILMU KALAM mereka. Tidak ada contohnya dari Rasulullah dan para Sahabat. Sikap ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah ini kemudian diikuti oleh kelompok ahli kalam (filsafat) yang baru: kullabiyah, Asy'ariyyah, dan maturidiyyah. Mereka melakukan penggabungan antara aqidah ilmu kalam jahmiyah mu'tazilah dengan aqidah Ahlussunah wal Jamaah Salafi. Hasilnya mereka (kullabiyah, Asy'ariyyah, maturidiyyah) menetapkan sebagian kecil saja dari Sifat-sifat Allah yang menurut mereka tidak bertentangan dengan AKAL mereka. Dan menolak Sifat-sifat Allah yang lainnya, dengan cara yang sama persis dengan cara ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah. Dan mereka pun menuduh Ahlussunah wal Jamaah Salafi yang mengimani Sifat-sifat Allah yang mereka ingkari, dengan tuduhan yang sama persis seperti tuduhan ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah: mujassimah dan hasyawiyah. Inilah hakekat aqidah Asy'ariyyah. Alhamdulillah. Ahlussunah wal Jamaah Salafi walaupun terasing, mereka tetap ada dan tetap menang dalil-dalilnya yang jelas kebenarannya, atas seluruh aqidah bid'ah sesat. Termasuk atas aqidah bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah dan yang mengikutinya: aqidah Asy'ariyyah. Alhamdulillah.
@@zulkarnainalatsari684 katanya Allah diatas ,,sholatmu menghadap Allah gk... Allah ada tanpa terbatas arah dan tdk bertempat.. Makanya kami menolak ayat mutasyabihat (istiwa ala arsy)dgn makna/arti dhohir =duduk/tinggal diarsy...arti dhohir ini gk mungkin bagi bagi Allah,,krn Allah tdk maha jauh,,,arsy itu jauh bgt.
@@latifafkar4360 Ngomong pakai dalil ayat dan hadits shahih, Mas. Jangan pakai akal antum. Ketika shalat, Allah berada di depan kita. Ini berdasarkan ayat dan hadits shahih.
@@zulkarnainalatsari684 kamu gk bakal nrima dalil orang lain..ciri2 wahaby tu gk nrima dalil orang lain..percuma pake dalil.... Apkh Allah maha jauh..?
Aqidah ada di dalam hati kita sendiri, berdo'alah dalam setiap sholatmu, Ihdina sirotol mustaqim... Hanya Allah saja yang bisa memberikan jalan yang lurus saudaraku seiman... 😀
@@jufriyadi8706 Dari mana sampeyan bisa mengatakan bahwa Allah itu bisa "mengecil dan meninggalkan ciptaan yang lainnya"? Berarti sampeyan telah "membayangkan bagaimananya". Dan pasti yang sampeyan bayangkan itu adalah sama dengan apa yang sampeyan lihat. Yaitu makhluk. Akhirnya sampeyan membayangkan Allah sama dengan makhluk. Ini jelas salah.
@@abdullah5975 itu sanggahan jika menganggap Allah itu bertempat.... Bertangan dan turun d sepertiga malam. Sanggahan bagi mereka yg hanya memahami ayat scr harfiah.... Krn kami ahlussunah waljamaah mnafsirinya Rahmat Nya yg turun d sepertiga malam.... Jg tangan dan wajah Allah itu d artikan kekuasaannya. Mngenai ars mempunyai arti yg tinggi.
@@jufriyadi8706 Ahlussunnah wal Jamaah itu ikut Sunnah, Mas..!!! Bukan malah menolak Sunnah dan menggantikannya dengan bidah sesat, Mas...!!! Jika maksudnya "Rahmat Allah yang turun", mana dalilnya? Mikir, Mas...!!! Jangan asal ikut-ikutan tanpa dalil...!!!
📚 *Tujuh Ayat ISTAWA (berada tinggi) Allah di atas Arsy* =========° 🌷 Sifat istiwa’ (berada tinggi) adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu: 1. QS Al-A’raf: 54, 2. QS Yunus: 3, 3. QS Ar-Ra’d: 2, 4. QS Al-Furqan: 59, 5. QS As-Sajdah: 4 dan 6. QS Al-Hadid: 4, Ke-6 ayat tersebut semuanya dengan lafazh: ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Artinya: _“Kemudian Dia Istawa (berada tinggi) di atas ‘Arsy (singgasana).”_ 💦 _[Kata "tsumma (kemudian)" menunjukkan bahwa istawa Allah di atas Arsy adalah perbuatan Allah yang Allah lakukan kemudian. Yaitu setelah Allah menciptakan langit dan bumi]_ Dan dalam: 7. QS Thaha 5 dengan lafazh: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى Artinya: _“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) istawa (berada tinggi).”_ 💦 _[Didahulukannya kata "alal arsy (di atas Arsy)" sebelum kata kerja "istawa (berada tinggi)", menunjukkan bahwa istawanya Allah _*_hanyalah_*_ di atas Arsy. Tidak istawa di atas selain Arsy]_ Ketujuh ayat tersebut jelas pembicaraan tentang: *KEBERADAAN DZAT ALLAH.* 🌷 *Apa itu makna istiwa’?* Makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh dua ulama Tabiin, Imam Abul ‘Aliyah dan Imam Mujahid, yang dinukil oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya: قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ ( اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ ) ارْتَفَعَ Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa: _"Maksud dari ‘istiwa’ ke atas langit’ adalah _*_irtafa’a (naik)."_* . وَقَالَ مُجَاهِدٌ ( اسْتَوَى ) عَلاَ عَلَى الْعَرْشِ Mujahid mengatakan: _"istiwa’ adalah _*_‘alaa (menetap tinggi)_*_ di atas ‘Arsy."_ Penjelasan kedua ulama Tabiin tersebut jelas menjelaskan *KEBERADAAN DZAT ALLAH.* Bukan sekedar: derajat (kedudukan) dan qudrah (kekuasaan) Allah. 📚 *Hadits: Di Mana Allah* Dari Mu‘awiyah ibn Hakam Radhiallahu ‘Anhu: وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ). _Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi._ _Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu._ _Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’_ _Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’_ _Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, _*_‘Di mana Allah?’_* _Jawab budak tersebut, _*_‘Di atas langit.’_* _Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’_ _Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’_ _Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita *mukminah.*’”_ Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i dalam al-Risālah no. 242, dll. Hadits ini jelas menunjukkan bahwa: 1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan KEBERADAAN DZAT ALLAH, sebagai *tolok ukur keimanan.* 2. *Disyariatkannya* menanyakan KEBERADAAN DZAT ALLAH dengan pertanyaan: *"Di mana Allah?"* 3. Jawaban yang menunjukkan keimanan yang benar terhadap KEBERADAAN DZAT ALLAH, adalah jawaban: *"Allah berada di atas langit."* Yakni di atas langit ketujuh. Istawa (berada tinggi) di atas Singgasana (Arsy)-Nya. 🌷 Dan masih banyak dalil ayat dan hadits tentang keberadaan Dzat Allah Yang Maha Tinggi di atas Arsy. Sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak serupa dengan makhluk-Nya. 💦🌸💦🌸💦
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni: من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات "Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis) Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan. Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal. Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua. Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut: Dzat itu ada macam-macam kategorinya: Jauhar (entitas tunggal terkecil) Jisim (entitas multi jauhar) ‘Aradl (aksiden) Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama. Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut: Qadim (tanpa awalan) Baqa’ (tanpa akhiran) Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya) Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk) Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya. Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah. Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah. Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana? Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini). Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri. Istawa dan Nuzul Masuk Mana? Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah. Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah. Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya. Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy. Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Istawa sebagai Keberadaan Allah Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah. Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah. Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian. Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah? Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah. Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir. Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax. * Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
@@LingkungSeniSantriKalijaga Ya jelas sesat. Membahas ketuhanan kok pakai nalar. Apalagi "nalar yang lain". Ya jelas sesat. ... Yang benar : membahas tentang Tuhan ya harus dengan "apa kata Tuhan". Nalar tinggal membenarkan "apa kata Tuhan". Mudah. Nggak repot. Nggak bingung. Nggak sesat.
@@abdullah5975 jika sampeyan tak mampu menalar, maka akal sampeyan rusak. Jika akal sampeyan rusak, sampeyan terbebas dari kewajiban syariat. Jadi kaga usah lagi sholat, zakat, naik haji dll. Sdh tak perlu lagi, karena akal sampeyan rusak. Syariat hanya berlaku bagi orang beriman yg sehat akalnya, tidak gila. Gitu Lurs. Masa sampeyan tidak menyadari kalau laisakamitslihi syaiun dan walamyakunlahukufuwan ahad itu adalah penalaran yang diberikan Allah pada kita untuk membahas Dzat-Nya? Walah gimana ini😄
Bayak ulama yg pahami istawa issaula tapi ulama yg di kepala nya ada syhubhat kalau ustat pahami istawa issaula berarti allah ada di wc dong mahasuci allah dari apa yg ustat pahami
Ust nur Hidayat TDK bisa membedakan tafwid ahlussunah waljamaah dg ahlul bid'ah,begitu juga dg takwil ahli Sunnah adalah tafsir adapun ahlul bid'ah takwil penyelewengan makna
Yang benar: 1. Para ulama Ahlussunah wal Jamaah di masa Salaf memaknai dengan MAKNA ZHAHIRNYA: - 'ALAA (berada tinggi di atas) dan - IRTAFA'A (berada tinggi) dan - SHA'IDA (berada di atas dan naik) dan - ISTAQARRA (berada menetap). Yakni: berada menetap tinggi di atas. Yakni di atas Arsy. Mereka memaknai. Bukan tidak memaknai. Bukan menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh makna). Mereka memaknai dengan MAKNA ZHAHIRNYA. BUKAN makna TAKWIL (makna jauh). BUKAN pula makna TAHRIF (makna yang bukan makna zhahir maupun makna takwil). Inilah sikap kaum Salaf. 2. Adapun makna TAKWIL dari ISTAWA 'ALAA; kebanyakan kaum ahli bidah sesat (Jahmiyah Mu'tazilah dan Khawarij; yang diikuti oleh kaum Asy'ariyah, Kullabiyyah, dan Maturidiyah), mereka mentakwil secara BATHIL. Yang dikenal dengan istilah TAHRIF (merubah). Mereka mentahrif dengan makna yang bukan berasal dari kebiasaan orang Arab memaknai ISTAWA. Yaitu mentahrif ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA (menguasai). Mentahrif ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA, telah dibantah oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari sendiri (imamnya kaum Asy'ariyah) di dalam kitab Al Ibanah. Bisa dilihat di kitab terbitan kaum Asy'ariyah sendiri (Al Ibanah Cetakan Darul Anshar Mesir), halaman 108. 3. Tidak adanya kaum ahli bidah sesat yang memilih makna takwil (makna jauh) di kamus bahasa Arab, menunjukkan bahwa: - kaum ahli bidah sesat sendiri faham, bahwa mengganti dengan makna-makna selain makna zhahir nya, adalah jelas tidak benar. - kaum ahli bidah sesat hanya bisa memilih menerima makna zhahir nya atau menolak. 4. Maka datanglah dalil di luar lingkungan bahasa Arab. Yang memaknai ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA. Yakni dari syair yang dari luar lingkungan kaum yang fasih berbahasa Arab. Syair itu telah dibantah dari segi bahasa oleh para ahli bahasa Arab seperti Sibawaih dan Ibnul Arabi. Tapi qaddara llaahu. Karena banyaknya orang yang bodoh di dalam bahasa Arab menerima TAHRIF ISTAULAA tersebut, akhirnya sekarang ini, makna ISTAULAA dimasukkan ke dalam makna takwil di kamus bahasa Arab. Yang benar: ini adalah kesalahan dilihat dari segi penjelasan para ulama Salaf maupun ulama bahasa Arab. Kesimpulannya: Yang benar adalah MENGIMANI bahwa Allah berada di atas. Di atas Arsy. Di atas langit ketujuh. Dengan menyerahkan bagaimana caranya Allah berada di atas Arsy, kepada Allah.
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
Bedakan ... Alloh tidak membutuhkan tempat bukan berarti Alloh tidak istiwa Arsy ...seperti Alloh tidak membutuhkan untuk mencintai hamba-Nya tapi Alloh mencintai hamba yang dikehendaki-Nya ... ta'wil itu boleh jika memang ada dalil yang menunjukkan ta'wil nya, tapi untuk ayat mutasyabahat yang tidak ada dalil yang menta'wilnya maka tidak boleh....."...tidak ada yang tahu ta'wilnya kecuali Alloh " (al Baqoroh) .... makna ayat 'Wallohu maa'kum aina makuntum" adalah Alloh Istiwa diatas Arsy dan Maha Tahu Maha melihat hamba-Nya lihat QS Al Hadid 4....artinya kata "ma'akum' ini ditakwil(dijelaskan) sendiri oleh Alloh dalam QS Al Hadid ayat 4... begitu pula pada ayat kursy , yang sering kita baca , dijelaskan Alloh Maha Berdiri Sendiri (Al Qoyyum) tetapi Alloh menjelaskan juga tentang kursy-Nya, sebagaimana kita tahu kursy itu artinya tempat pijakan kaki para raja pada singgasananya ...artinya kita tidak bisa mempertanyakan "bagaimana Alloh Berdiri ?" ini adalah pertanyaan bidah dan tercela, karena menunjukkan ketidak pahaman dia bahwa Dzat Alloh tidak bisa kita ketahui hakekatnya kecuali kita hanya mengimaninya ...dan mengapa orang tidak mempersoalkan ta'wilnya, tapi diterima begitu saja, maka mestinya seperti ini pula seseorang menyikapi firman Alloh "Arrohmanu istiwa alal arsy" = "(Alloh) Yang Maha Pengasih ber istiwa diatas Arsy -Nya" .. ... kata ma'a sendiri tidak harus berarti bersama dalam dzatnya , tapi bisa bermakna bersetuju / sependapat / satu tujuan ... wallohu a'lamu bish showab
Apa pun, saya meyakini Sains Cosmology dan Matematik yg diwarisi dari candekiawan Islam dahulu sprt Al Khindi dll memang sealiran dengan Golongan Salafi
Maaf , masukan, lebih baik di rujuk nama2 ulama dan penjelasannya secara rinci, jadi org awam seperti saya tdk bingung. Dan kalau ada kata2 istilah khusus tolong dijelaskan Misal, hal A ada beberapa pendapat, Misal ulama A madzab nya apa, berpendapat seprti ini, Ulama B berpendapat seprrti itu, Jumur ulama berpendapat seprti ini, Yg menyelisihi pendapat itu, Kesimpulan. Trims
Mujtahid Abu Asyifas... Menurut anda atau menurut guru2 agama anda, aqidah salaf / ahlus sunnah wal jama'ah itu menggunakan kaidah/metode apa utk memahami ayat2 mutasyabihat?... Karena akidah Asy'ariyah/Ahlussunnah wal Jamaah menggunakan 2 kaidah/metode: tafwidh dan takwil.... Mohon pencerahannya?
Berapa pun istilah bahasa dan makna huraian bahasa oleh ahli ahli agama, menurut sains modern dan matematik Arasy adalah Tempat Allah SWT dan bukan makhluk Allah SWT yakni sama seperti Al Quran adalah khalimah Allah SWT bukan makhluk.....tiada isu terbatas Arasy akan tempat Allah itu kerana , menurut sains cosmology dan matematik, Arasy adalah tempat Allah (dan bukan makhluk itu) melewati langit yang tiada batasnya. Sebenarnya satu padangan yg mengundang pertikaian bila, Ahli agama selalu mengatakan bahawa setiap tempat itu ada batasnya..padahal sains dan matematik membuktikan bahawa ada nya tempat yg tiada batasnya dalam kehidupan makhluk...contohnya LANGIT itu tiada batasnya....
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga kamu kurang mengerti ttg sains sebenarnya...sdgkan maksud sains sprt dlm Al Quran adalah dalam sebahagian penjelasan tuan.. Nak kata kamu ttg pendapat saya, sebenarnya isi maksud saya adalah dlm berberapa penjelasan kamu
@@LingkungSeniSantriKalijaga No.2 Bertempat adalah Perbuatan Berjisim. Kamu masih berfikir namanya TEMPAT itu adalah HANYA DALAM CAPAIAN MAHKHLUK, AKAL DAN JISIM. Sedangkan dlm SAINS boleh dibuktikan ADANYA TEMPAT YANG TIDAK DICAPAI OLEH AKAL,MAHKHLUK DAN JISIM. Sama sprt SAINS hanya buktikan ADANYA TUHAN ESA, yg tidak dicapai oleh AKAL, MAHKHLUK DAN JISIM.
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga jika Allah disandingkan dg kata tsumma, maka Allah telah masuk ke dalam lingkup waktu. Allah telah dibatasi oleh waktu sebelum dan waktu sesudah. Apakah alquran sedang tasybih thd Allah? Bagaimana kang filsafat menjelaskan agar tidak tasybih? Monggo kang filsafat
📚 *PARA ULAMA SALAF SEPAKAT bahwa ALLAH ISTAWA (berada tinggi) DI ATAS ARSY* =========° 🌷Abu Bakr Al-Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al-Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An-Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al-Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata: _"Allah Ta’ala berfirman,_ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى _“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”._ _"Para ulama _*_sepakat (berijmak)_*_ bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh."_ 🌷Imam Adz-Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan: _“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini._ _Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya _*_ijmak (kesepakatan ulama)_*_ mengenai masalah ini._ _Sebagaimana pula ijmak ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”_ Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-Ghaffar, hlm. 179. Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 194. 💦🌸💦🌸💦
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga penyakitnya asyairah itu sama dg mu'tazilah, tanpa sadar mendewakan akal, meskipun lisan mereka ngakunya gak bermaksud demikian. Agama itu ttg keimanan bukan ttg berfilsafat. Karena dzat Allah itu tidak bisa dicapai oleh akal (semuanya sepakat), sehingga seorang paling alim ulama pun tidak berhak sembarangan menolak makna bahasanya, sampai ada dalil penjelasan dari nabi dan para sahabat. Agama itu dari Allah dan Rasul Nya, bukan dari opini filsafat pribadi.
Aliran sesat dr zaman ke zaman pasti akan tumbang bila berhdapan dengan ulama2 Aswaja NU... Apalgi baru sekte HAMA SAWAH(SALAFI WAHABI), nanti juga bakal tenggelam sendirinya... BARAOKALLAH NAHDLATUL 'ULAMA
Bukan nya Allah sendiri yg berfirman dlm Al qur.an sesungguhNya Allah maha mendengar dan Maha melihat? Bukan nya sifat itu jg menyerupai sifat mahluk Nya? Jd ga setiap sma dlm kata sma pula dlm hakikat persoalan Allah di atas Arsy wlo pun itu bertempat biarkan krna Dia sendiri yg berfirman kita hanya wajib mengimani sja wlopun iya bertempat tp jgn sekali kali disamakan dg bertempat nya mahluk krn sesungguhnya Allah tidak menyerupai dan tidak diserupakan dg mahlukNya. Sedangkan kaefiyah atau bagaimana Allah diatas arsy pertanyaan dan penjelasan dlm hal itu hukum nya bahlul
Mrndengar dan melihat bagi Allah adalah wajib, tapi bagi makhluk ya tidak! Ada makhluk yg ditakdirkan tdk mempunyai pendengaran dan penglihatan. Ada manusia yg buta dan tuli sejak lahir. Tapi bertempat, oh tidak bisa! Karena bertempat itu tdk ada makna lain kecuali membutuhkan kepada tempat, dan Allah tdklah punya sifat membutuhkan. Apa anda berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat membutuhkan tapi sifat membutuhkannya berbeda dgn makhluk? Awas hati2 di sini! jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga mendengar dan melihat itu sifat makhluk juga. Apa takwil mendengar dan melihat? Istawa takwilnya istaula. Istaula juga sifat makhluk, apa takwil sifat istaula?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya : ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﺋﻠﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺮﻭﺭﻳﺔ : ﺇﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﺳﺘﻮﻟﻰ ﻭﻣﻠﻚ ﻭﻗﻬﺮ، ﻭﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺟﺤﺪﻭﺍ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ، ﻭﺫﻫﺒﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺪﺭﺓ، ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻷﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ، ﻭﺍﻷﺭﺽ ﺷﻲﺀ، ﻓﺎﻟﻠﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺸﻮﺵ . ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﻮﻳﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍﻹﺳﺘﻴﻼﺀ، ﻟﺠﺎﺯ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ : ﻫﻮ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻛﻠﻬﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻋﻨﺪ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﻠﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺸﻮﺵ، ﻓﺒﻄﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ [ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ] : ﺍﻹﺳﺘﻴﻼﺀ . “Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan. Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 - melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
Pada menit 2:17 ustadz ini mengatakan imam Ahmad bin Hambal mentakwil sifat istiwa. Dan yang menjadi pertanyaan saya di kitab manakah imam Ahmad bin Hambal mentakwil sifat istiwa... Coba jelaskan terdapat di kitab mana perkataan tersebut ! Ini perkataan imam Ahmad bin Hanbal tentang istiwa. IMAM AHMAD BIN HAMBAL (tahun 164-241 H) Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar , hal. 176. Lihat pula Mukhtashar Al ‘Uluw , hal. 189. Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﻪ ﺍﻻ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻪ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﻩ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﻜﻞ ﺷﻲﺀ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻼﻡ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺭﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﺻﻔﻪ ﻭﺳﻊ ﻛﺮﺳﻴﻪ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ “ Apa makna firman Allah, ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ “ Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. ” QS. Al Hadiid: 4 ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ “ Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. ” QS. Al Mujadilah: 7 Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.” Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata, ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﺂﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﺑﻜﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭ ﻻﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw , hal. 116 Abu Bakr Al Atsram mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya, ﻛﻴﻒ ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ “Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab, ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ “Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ﻫﻜﺬﺍ ﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ “Begitu juga keyakinan kami.” Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
bingung dg penjelasan ustadz ini, coba ustadz kembali saja ke pemahaman para sahabat ya, bkn dasar yg dibicarakan oleh pemahaman berdasarkan logika. kalo pemahaman pendikut para sahabat sdh jelas ustadz, makanya tdk pd berselisih faham. Menerima dalil sesuai yg turun sesuai keagungan Alloh ta'ala dg pemahaman bhwa tdk ada yg semisal dg Nya, tp juga tanpa mentakwil krn tamsil itu berdasar logika bkn berdasar.pemahaman para.sahabat
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat. Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya. Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi! Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian! Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana! Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita. Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya. Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ; Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ; 1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat? 2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi. Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ; 1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini. 2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat. 3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah. Awas hati2!
Ayooo min kita sebar luaskan Chanel ini
Hendak memahami bahasa Al-Quran mestilah paham maksud dengan bahasa Arab itu sendiri .❤
Tafwidh kaifiyat iya. Maknanya jelas istiwa itu diatas menetap tinggi
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN
Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni:
من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات
"Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis)
Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan.
Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal.
Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua.
Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut:
Dzat itu ada macam-macam kategorinya:
Jauhar (entitas tunggal terkecil)
Jisim (entitas multi jauhar)
‘Aradl (aksiden)
Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl
Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama.
Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut:
Qadim (tanpa awalan)
Baqa’ (tanpa akhiran)
Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya)
Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk)
Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya.
Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah.
Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah.
Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana?
Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini).
Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri.
Istawa dan Nuzul Masuk Mana?
Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah.
Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah.
Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya.
Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah
Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy.
Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah.
Istawa sebagai Keberadaan Allah
Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah.
Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah.
Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian.
Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah?
Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah.
Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir.
Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax.
* Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
@@LingkungSeniSantriKalijaga itulah razy pilsapat yg bingung dgn akal2an sendiri. Padahal aqidah Islam itu mudah dipahami baik awam maupun pakar. Akibat belajar ilmu Kalam yg terang jadi kelam
الرحمن على العرش استوى
Alhamdulillah..ketemu juga sama ustad
Alhamdulilah .... salam dari Gorontalo Ustadz . . . Saya mencintai Ustadz Karena Allah...
ua-cam.com/users/live3FNtp1XTlk0?feature=share
Tafwidh itu sama saja meyakini ayat Allah tanpa makna, trus ngapain harus tadabbur ayat kalau tidak diketahui maknanya
Al-Quran dan kutubussittah itu semuanya valid atau shohih, otak dan kemampuan anda yang tidak valid. Coba sering-sering khatamkan Qur'an jangan cuma terima potongan dari syuyukh anda. Apa semuanya harus anda tahu tentang Allah? anda tidak mengerti konteks diri anda sebagai makhluq atau serba terbatas. Apalagi menghadapi hal-hal ketuhanan? Anda lebih 'Alim dari jumhur atau kebanyakan ulama yang ada sejak dulu? Yang sebenarnya bid'ah dan baru itu ya kalian-kalian itu. Kok gak paham.
Dari Abu muthi'Al-hakam bin Abdillah Al-balkhiy pemilik kitab Al-fiqhul Akbar , beliau berkata ; aku bertanya kepada abu Hanifah mengenai perkataan seorang yg menyatakan " aku tidak mengetahui di manakah Rabb-ku di langit ataukah dibumi" lantas Abu Hanifah mengatakan ; orang tersebut telah kafir , karena Allah Ta'ala sendiri berfirman ; Allah Ber ISTIWA' di atas Arasy dan Arasy-nya di atas langit . imam Malik mengatakan ; Allah berada di atas langit dan ilmunya berada di mana2 segala sesuatu tidak lepas dari ilmunya . imam Syafi'i mengatakan ; Allah berada di atas Arasy-nya yang berada di atas langit-nya namun walaupun begitu Allah-pun dekat dengan makhluk-nya sesuai yg dia kehendaki . imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya tentang firman Allah ; dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada , tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan dialah yang ke empat-nya . Yg di maksud kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah , Allah mengetahui yg ghaib dan yg nampak , ilmu Allah meliputi segala sesuatu yg nampak dan yg tersembunyi , namun Rabb kita tetap menetap di atas Arasy tanpa di batasi ruang tanpa di batasi dengan bentuk , kursi Allah meliputi langit dan bumi . inilah Aqidah imam empat Mazhab yg sesuai dalil Al-Qur'an dan As-sunnah , adapun jahmiyah , mu'tazilah , Asy-ariyyah , matuuridiyyah , dan Abadhiyyah, mereka telah mengubah-ubah nama serta sifat-sifatnya , sesuai dengan pandangan masing-masing kelompok tersebut . ( Al-Qoulul Mufid)
Kemaren ketemu ust salman ali byk lupa kyknya..hehe
Sudah jelas Allah sendiri memberitahu keadaan dirinya diatas ARS .surat thoha ayat 5 bahkan dgn Bahasa Arab Mubin. Kita cukup imani saja jgn ditakwil, serahkan sesuai keagunganya.
kalau mubin tahu artinya dong
@@pocophone2010 hehe
Arasy artinya apa? Bahasa Arab mubin berarti tahu artinya loh
Pendapat beliau ini hal yang baru belum pernah di dapati ucapan seperti beliau di masa Rasul dan para Sahabat .
Allahul musta'an
Suwandi Nur kayak lu prrnah beru rasul dan sahabat tot
Betul.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan para Sahabat mengajarkan bahwa Allah berada di atas.
Di atas Arsy di atas langit ketujuh.
Ucapan mereka sangat jelas. Tidak ada keraguannya.
Alhamdulillah.
@@zulkarnainalatsari684 🤣🤣🤣🤣.
Belajar lebih lengkap..🤣🤣
@@orangberiman6262
Alhamdulillah.
@@zulkarnainalatsari684
Yakin??
Ayo kita diskusi japri Om.. mungkin kita bisa adu dalil dan konsistensi di situ
Dalam kitab Al-Ibanah tulisannya, pada hal 21 cetakan Darul Fadhillah, Mesir, Imam Asy’ari berkata, “Allah Istiwa di Arsy sesuai dengan apa yang Dia maksud. Makna ini mengunci kita untuk tidak membayangkan Istawa Allah seperti apa. Dilanjutkan, “Allah Istawa dengan makna yang Dia maksud, bukan makna yang kita maksud. Kalau bagi kita,Istawa bermakna menempati, tapi bagi Allah bukan.”
Istiwa Allah suci (bebas) dari 5 perkara, yaitu ; 1. ‘Mumassah’ (persentuhan) Istiwa Allah tidak mengalami persentuhan seperti kita menduduki kursi, pantat dan bagian tubuh kita yang lain bersentuhan dengan kursi tersebut. Tidak demikian!
2. Istiqrar (menempati), artinya istawa Allah di atas Arsy bukan bermakna Dia menempati Arsy itu.
3. ‘Tamakkun’ (menjadikannya tempat). Allah menciptakan Arsy bukan menjadikannya sebagai tempat kediaman-Nya.
4. Hulul (memasukinya). Tadinya Allah di luar Arsy lalu masuk ke dalamnya. Tidak! Tidak demikian.
5. Intiqal (berpindah) artinya Allah berpindah ke Arsy setelah Allah menciptakan Arsy. Turun ke langit dunia dengan terlebih dahulu meninggalkan Arsy lalu balik lagi ke Arsy. Tidak! Tidak demikian!)
Shahih
@@muhamfadhil MAKNA ALLAH ADA TANPA TEMPAT WAKTU DAN ARAH (DIRANGKUM DAN DIHIMPUN DARI KITAB2 AQIDAH KARYA IMAM ABUL HASAN AL-ASY'ARI DAN IMAM THOHAWI)
1. Ada tanpa tempat
Maknanya Allah ada tanpa menempati suatu tempat, ruang, atau wadah. Tak ada tempat, ruang, wadah yang meliputi, mengelilingi, apalagi membatasi Allah. Justru Allah yang melingkupi dan membatasi seluruh makhluk-Nya. Kedekatan Allah SWT dengan makhluk-Nya dari dasar bumi terdalam sampai ujung langit / ujung jagat raya itu sama. Bukan Allah ada di mana-mana, tapi kedekatan Allah tak dapat dibayangkan.
2. Tidak Terpengaruh Waktu
Allah Maha Awal Tanpa Permulaan, MAha Akhir Tanpa Penghabisan. Dia sudah ada sebelum segala sesuatu ada, dan akan tetap ada walau semua telah musnah. Tidak berlaku bagi-Nya proses, perkembangan, cara dan segala hal terkait waktu yang berlaku untuk makhluk-Nya.
3. Tidak Memerlukan Arah
Arah yang 6 ; atas, bawah, kanan, kiri, depan, dan belakang semuanya itu adalah makhluk. Pun begitu ruang hampa dan ruang berisi, adalah makhluk. Seperti dijelaskan pada poin pertama, Allah tidaklah diliputi, dikelilingi, apalagi dibatasi oleh makhluk-Nya. Lantas apa makna dari Kalimat 'Allah di atas', serahkan saja pada Yang Di Atas'? Itu bukanlah bermakna Allah berada di atas kita secara posisi fisik, akan tetapi Maha Agung, Maha Tinggi, Maha Besar derajat dan kekuasaan-Nya. Allah adalah satu2nya Dzat Ahad ; tidak beristri dan beranak, tidak ada yang menemani / mengiringi dan menyertai. Tempat, waktu, arah adalah bagian dari pengiring / penyerta, maka Maha Suci Allah dari semua itu.
Salam aqidah ahlussunnah waljama'ah.
@@LingkungSeniSantriKalijaga saya juga bisa bikin kaidah filsafat, segalanya yg memiliki nama dan bisa diungkapkan oleh lisan manusia adalah makhluk. Allah memiliki nama, dan bisa disebut namanya, diungkapkan sebagian sifat2nya, berarti ....
Inilah kesesatan berasumsi tanpa dalil.
Seperti keyakinan kalamullah tanpa huruf dan tanpa suara. brarti konsekwensinya alquran itu bukan kalamullah. Harusnya alquran yg berbahasa arab itu kalam nabi, jika kalam nabi berarti alquran itu makhluk. Gituloh mas, makane sampeyan akal2, kulo juga bisa akal akalan utk bantah filsafatmu.
@@nikovn9 segala nama yg bisa diungkap oleh lisan adalah makhlukbukan kaidah filsafat, tapikaidah ngaco tanpa dasar. Filsafat itu amat ribet dan gak segampang yg sampeyan bilang.
Kalau sampeyan bilang kalamullah tanpa huruf dan tanpa suara itu asumsi tanpa dalil, kalamullah harus berhuruf dan bersuara itu juga sama asumsi tanpa dalil.
Oh iya, saya tanya dulu apa sih definisi dalil? Jangan2 bebusa-busa ngomong dalil tapi kaga tau apa definisinya
@@nikovn9 BAGAIMANA ALLAH BERKALAM PADA NABI MUSA?
Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam akidah Mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah diyakini bahwa Kalamullah tidak berupa suara dan huruf sebab suara dan huruf pastilah makhluk. Seluruh suara yang kita tahu di alam semesta ini berupa gelombang getar yang merambat hingga sampai ke gendang telinga kita. Semua huruf yang kita tahu di alam semesta juga makhluk yang punya awalan dan akhiran serta kita susun sekehendak kita. Dan, semua tahu bahwa Dzat Allah tidak melahirkan/mengeluarkan makhluk. Ini adalah premis yang tidak dapat dibantah kecuali oleh orang ingkar pada realitas.
Akan tetapi banyak yang bertanya-tanya bagaimanakah kalam tanpa suara dan huruf itu bisa sampai pada malaikat dan para Nabi? Sebenarnya pertanyaan semacam ini hanya timbul dari orang yang menyamakan kalamullah dengan kalam manusia. Andai dia hilangkan tasybih (penyamaan) antara manusia dan Allah itu, maka pertanyaan ini tidak akan muncul sebab sudah maklum bahwa Allah itu berbeda mutlak dengan manusia atau makhluk apa pun. Derajat pertanyaan ini sebenarnya sama dengan derajat pertanyaan konyol seperti: "Allah kapan lahir? Allah bentuknya seperti apa? Allah hidup sampai usia berapa? Tempat tinggalnya Allah sebesar apa?" dan sebagainya yang muncul dari pikiran tasybih. Ketika dia melihat manusia berkalam dengan suara dan huruf, maka daya pikirnya yang terbatas kesulitan memahami bentuk komunikasi tanpa suara dan huruf.
Kalam dalam istilah bahasa Arab bukanlah bicara atau ngobrol dalam bahasa kita. Bila dicari padanan kata yang paling mendekati dalam bahasa sekarang, kalam adalah komunikasi. Jadi, kalamullah adalah komunikasinya Allah. Kita, bangsa manusia berkomunikasi dengan manusia lain dengan cara berbicara menggunakan suara dan susunan huruf tetapi karena Allah bukan manusia, maka Allah tidak menggunakan keduanya. Lalu bagaimana kalam Allah bisa sampai pada seorang Rasul seperti Nabi Musa misalnya yang di dalam al-Qur'an dinyatakan berkomunikasi langsung dengan Allah?
Para ulama salaf menggunakan contoh kasus lain untuk menggambarkan komunikasi tanpa suara dan huruf agar masalah ini dapat lebih mudah dipahami, meskipun di masa itu tidak ada contoh yang betul-betul memadai. Mereka memakai ilustrasi suara hati (kalam nafsi). Dalam kepala kita masing-masing, seringkali kita "berbicara" atau mungkin "berdebat" dengan khayalan kita. Secara bahasa arab itu disebut kalam juga, kita pun di Indonesia menyebutnya sebagai "bicara dalam hati" atau "suara hati" meskipun tidak ada suaranya. Ada beberapa dalil dari al-Quran, hadis dan atsar yang menyinggung adanya suara hati (kalam nafsi) ini. Nah, kalau suara hati kita--yang sebenarnya tanpa suara dan huruf itu--hanya ada di kepala kita saja dan tidak bisa sampai ke orang lain, maka kalam nafsi Tuhan bisa sampai ke benak Nabi atau malaikat yang diberi kalam. Begitulah cara ulama salaf menjelaskan bab ini yang saya coba olah dengan bahasa seringkas dan sesederhana mungkin. Silakan baca buku saya apabila penasaran dalilnya apa saja, bagaimana kutipan perkataan ulama salaf dan bagaimana perdebatan soal ini secara lebih mendalam.
Di masa ini sebenarnya kita punya banyak sekali contoh kasus lain dan ilustrasi yang melimpah untuk menjelaskannya. Bahasa manusia pun juga telah mengalami perkembangan sehingga apa yang di masa lalu tidak ada istilahnya sekarang ada.
Yang mencoba diilustrasikan oleh ulama salaf itu dalam bahasa sekarang adalah telepati. Dulu tidak ada istilah ini sehingga butuh penjelasan yang panjang lebar untuk merujuk pada kejadian di mana satu pihak bisa berkomunikasi pada pihak lain tanpa harus bicara, menulis atau sebagainya yang melibatkan perpindahan suara dan huruf. Tanpa keduanya, apa yang ada di pikiran seseorang sampai dengan komplit ke pikiran orang lain. Kita biasa melihat ini di film-film atau kisah-kisah karomah para wali yang secara ghaib bisa berkomukasi dengan wali lain tanpa bicara. Sampai saat ini pun masih banyak kisah orang hebat yang dapat mengetahui suara hati orang lain, padahal tidak ada suara atau huruf yang dikeluarkan. Untuk diketahui, para ulama tidak menyebut isi kepala sebagai "suara dan huruf" meskipun dalam khayalan kita ada seolah suaranya dan ada susunan hurufnya. Ulama menyebut huruf dalam suara hati sebagai "huruf khayalan".
Lalu apakah artinya Allah bertelepati? Kita tidak boleh menggunakan istilah yang tidak warid atas Allah. Kita hanya boleh bilang Allah berkalam dan kalam-Nya bukan berupa suara dan huruf. Telepati ini hanya sebuah ilustrasi untuk memudahkan kita paham bahwa ada loh komunikasi tanpa suara dan huruf itu sehingga tidak perlu diherankan apalagi dimustahilkan. Para ulama yang menyebut istilah kalam nafsi bagi Allah juga tidak bermaksud mengatakan bahwa Allah punya hati dan ada suara khayalan di dalam hati Allah, sama sekali tidak ada yang bermaksud demikian. Ini semua hanyalah ilustrasi untuk membuat orang awam lebih mudah paham. Saya kira ini clear.
Contoh lain di masa ini adalah komunikasi antar semut, mereka tidak memakai suara atau huruf tetapi memakai sentuhan antena yang entah bagaimana bisa membuat semut lain paham apa yang harus dilakukan sehingga kerja mereka terorganisis. Andai semut mengerti kengototan sebagian manusia yang mengharuskan komunikasi Tuhan berupa suara dan huruf, mereka pasti tertawa terkekeh-kekeh.
Contoh lain lagi adalah sinyal. Secara teknis, sinyal yang menyebar ke mana-mana itu tidak disebut suara dan tidak pula disebut huruf. Akan tetapi tower BTS berkomunikasi dengan hape kita dengan baik dan hape kita paham betul isi komunikasi apa yang harus ditampilkan. Kalau anda paham ini, maka seharusnya anda akan memahami bagaimana para Nabi memahami komunikasi Allah yang tanpa suara dan huruf itu. Ketika Allah berkalam, maka isi kalam itu akan sampai dengan utuh di benak para Nabi seperti utuhnya hape menerima informasi dari sinyal yang diterimanya tanpa modifikasi atau tafsiran.
Setelah informasi itu diterima, hape menyampaikan isi komunikasi itu kepada kita dalam bentuk suara, huruf, gambar, aplikasi, dan lain-lain tanpa ada informasi tambahan yang dikarang oleh si hape itu sendiri. Andai sinyal itu berisi informasi ABC, maka akan sampai ABC pula takkan menjadi ABCD atau alif ba' ta'. Seperti itu pula para Nabi pun juga sama menyampaikan isi komunikasi Tuhan itu kepada kaumnya dengan suara dan huruf sebab itulah satu-satunya cara manusia berkomunikasi dengan orang lain. Dalam proses ini Sang Nabi tidak menebak-nebak, menafsirkan sendiri atau mengarangnya tapi apa yang mereka sampaikan betul-betul isi komunikasi yang ia dapat dari Tuhan.
Perlu dicatat bahwa konten komunikasi yang berasal dari Allah ini saat ia tidak berupa suara dan huruf disebut kalamullah. Ketika sudah disampaikan berupa suara dan huruf melalui lisan Jibril atau para Nabi juga disebut sebagai kalamullah. Kedua bentuk ini sama-sama disebut kalamullah secara hakikat. Untuk membedakannya secara teknis, bentuk awal yang tanpa suara dan huruf disebut kalamullah an-Nafsi. Bentuk yang berupa suara dan huruf disebut kalamullah al-lafdzi.
Ohya, kadang Rasulullah mengungkapkan isi komunikasi Allah yang dia dapat dengan bahasanya sendiri, kalimat dan diksinya sendiri. Dalam tradisi kita yang semacam ini disebut dengan hadis qudsi. Isinya adalah firman Allah (kalamullah) tetapi diksinya adalah diksi Nabi Muhammad. Apabila Nabi Muhammad menyampaikan pesan yang diterima apa adanya (redaksi dan makna dari Allah) tanpa ada keterlibatan dirinya sedikit pun, maka kita menyebut konten kalamullah yang jenis ini sebagai al-Qur’an.
Saya kira penjelasan ini mudah dipahami dan dapat menghilangkan kemusykilan. Semoga bermanfaat.
Assalamualaikum.
لا إيمانَ لِمَن لا أمانةَ له ، ولا دِينَ لِمن لا عهدَ له.
P. Kiyai harus /wajib amanah, benar dan tabayyun ( Al ahzab 70 & Al isra 36.
Mantab
Dari Jabodetabek
Jahmiyah itu akan berputar2 hanya untuk mengatakan Allah tidak di atas langit...
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN
Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni:
من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات
"Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis)
Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan.
Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal.
Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua.
Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut:
Dzat itu ada macam-macam kategorinya:
Jauhar (entitas tunggal terkecil)
Jisim (entitas multi jauhar)
‘Aradl (aksiden)
Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl
Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama.
Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut:
Qadim (tanpa awalan)
Baqa’ (tanpa akhiran)
Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya)
Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk)
Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya.
Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah.
Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah.
Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana?
Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini).
Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri.
Istawa dan Nuzul Masuk Mana?
Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah.
Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah.
Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya.
Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah
Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy.
Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah.
Istawa sebagai Keberadaan Allah
Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah.
Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah.
Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian.
Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah?
Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah.
Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir.
Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax.
* Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
kaidah yg belum anda terapkan, yaitu
1.menetapkan makna dhohirnya dan meninggalkan semua asumsi PASTI begini dan begitu. Menetapkan pasti berjism, pasti begini dan begitu itu BUTUH DALIL WAHYU SECARA LITERAL bukan cuman dalil asumsi.
2. ta'wil itu wajib dari lisan nabi dan para sahabat, bukan produk output dari filsafat, bukan kemudian baru dicarikan ayatnya.
Laisa kamitslihi syai', itu mencakup seluruh kabar ttg Allah baik yg dirasa (perasaan, asumsi, dzan) menyerupai makhluk atau tidak. Kita tinggal yakini Allah berbeda dg makhluk. Ia berkehendak apa yg Dia kehendaki.
Menetapkan makna dhohir Allah di langit, Allah turun ke langit dunia, sekaligus meyakini Allah bukan makhluk, mnurut anda statemen itu tidak masuk akal? Itulah yg namanya mendahulukan asumsi daripada dalil wahyu.
Saya pun bisa saja tetep ngeyel bahwa Allah maha melihat dan maha mendengar pasti Allah sama dengan makhluk. Ngeyel ttg Allah pasti sama dengan makhluk itu kan produk asumsi akal saja, bukan dalil wahyu. Sedangkan dalil wahyu bilang, "Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun, Allah maha mendengar dan Allah maha melihat". Masih ngeyel kah anda? Seperti mengimani isra miraj hanya dalam semalam, masuk akal? Baru mau beriman jika isra miraj bisa diamati di laboratorium filsafat?
@@nikovn9 TIDAK CUKUP BILA HANYA MENGATAKAN TIDAK SERUPA DENGAN MAKHLUK
Kalangan Taimiyun-Wahabi sering kita dengar menetapkan organ-organ bagi Allah lalu ditambah dengan pernyataan "yang tidak sama dengan makhluk". Misalnya, mereka berkata: "Allah punya tangan dalam makna tangan yang diketahui bersama tapi tidak serupa dengan makhluk." Mereka menganggap embel-embel tersebut sudah menyelamatkan akidah mereka dari tasybih. Di antara kutipan favorit mereka yang membuat mereka yakin bahwa tindakan itu benar adalah pernyataan Ishaq ibn Rahawaih dan adz-Dzahabi berikut:
وقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: " إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ، أَوْ مِثْلُ يَدٍ، أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ، أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ
Ishaq bin Ibrahim (Rahawaih) berkata: Sesungguhnya hanya terjadi tasybîh apabila berkata tangan [Allah] seperti tangan atau mirip tangan [makhluk], pendengaran [Allah] seperti atau mirip pendengaran [makhluk]. (At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz III, halaman 42)
Senada dengan beliau, Syekh Adz-Dzahabi juga berkata:
فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
"Tasybîh hanya terjadi apabila dikatakan ‘Tangan seperti tangan kita’. Apabila dikatakan: ‘tangan yang tak sama dengan tangan-tangan lain’, seperti halnya Dzat-Nya tak sama dengan Dzat lain, pendengaran-Nya tak sama dengan pendengaran yang lain, penglihatan-Nya tak sama dengan penglihatan yang lain, dan tak ada bedanya di antara semua, maka itu adalah menyucikan (tanzîh)". (Adz-Dhahabi, al-Arba’în min Shifât Rabb al-‘Âlamîn, halaman 104).
Kali ini, kami akan mengutip penjelasan seorang ahli kalam klasik yang menurut kami bagus untuk membuktikan pada para Taymiyun-Wahabi bahwa persoalannya memang tidak sesederhana seperti yang dikatakan Imam Ishaq dan adz-Dzahabi itu. Beliau menjelaskan alasannya dengan panjang lebar dan rasional sebagai berikut:
وأما في طرق الإثبات فمعلوم أيضًا أن المثبت لا يكفي في إثباته مجرد نفي التشبيه،
"Adapun dalam metode itsbat maka sudah dimaklumi juga bahwa penetap sifat tidaklah cukup menafikan keserupaan saja dalam penetapannya",
إذ لو كفى في إثباته مجرد نفي التشبيه لجاز أن يوصف الله سبحانه وتعالى من الأعضاء والأفعال بما لا يكاد يحصى مما هو ممتنع عليه مع نفي التشبيه، وأن يوصف بالنقائص التي لا تجوز عليه مع نفي التشبيه،
"Karena andai dalam menetapkan sifat hanya cukup menafikan keserupaan saja, maka akan boleh menyifati Allah subhanahu wata'ala dengan anggota tubuh, perbuatan dan hal lain yang tidak terbatas yang terlarang bagi Allah meskipun disertai menafikan keserupaan, dan akan boleh juga menetapkan kekurangan pada Allah yang tidak mungkin baginya meskipun disertai menafikan keserupaan."
كما لو وصفه مفتر عليه بالبكاء والحزن والجوع والعطش مع نفي التشبيه، وكما لو قال المفتري: يأكل لا كأكل العباد، ويشرب لا كشربهم، ويبكي ويحزن لا كبكائهم ولاحزنهم، كما يقال: يضحك لا كضحكهم، ويفرح لا كفرحهم، ويتكلم لا ككلامهم،
"Seperti andai seorang yang mengada-ada berkata: Allah makan tapi tidak seperti makannya hamba, minum tetapi tidak sama dengan minumnya mereka, menangis dan bersedih tidak seperti menangis dan bersedihnya mereka. Sama seperti dikatakan: Allah tertawa tapi tidak seperti tertawanya mereka, bahagian tidak seperti bahagianya mereka, berbicara tidak seperti berbicaranya mereka".
ولجاز أن يقال: له أعضاء كثيرة لا كأعضائهم، كما قيل: له وجه لا كوجوههم، ويدان لا كأيديهم، حتى يذكر المعدة والأمعاء والذكر، وغير ذلك مما يتعالى الله عز وجل عنه، سبحانه وتعالى عمّا يقول الظالمون علوًا كبيرًا.
"Dan akan boleh juga dikatakan: Allah punya anggota tubuh yang banyak tapi tidak seperti anggota tubuh mereka. Sebagaimana juga dikatakan: Allah punya wajah yang tidak seperti wajah-wajah mereka, dua tangan yang tidak sama seperti tangan-tangan mereka. Bahkan hingga disebutkan lambung, usus, kelamin dan lain-lain yang mustahil bagi Allah azza wajalla. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang zalim."
فإنه يقال لمن نفى ذلك مع إثبات الصفات الخبرية وغيرها من الصفات: ما الفرق بين هذا وبين ما أثبته، إذا نفيت التشبيه، وجعلت مجرد نفي التشبيه كافيًا في الإثبات، فلا بد من إثبات فرق في نفس الأمر.
"Maka dikatakan pada orang yang menetapkan sifat khabariyah itu dan sifat-sifat lainnya: "Apa perbedaan antara ini dan antara yang engkau tetapkan ketika engkau menafikan keserupaaan dan engkau menjadikan semata penafian keserupaan seolah cukup dalam menetapkan sifat?". Maka dari itu harus ditetapkan adanya perbedaan secara hakikat".
Jelas dan gamblang sekali bukan keterangan dan logika di atas. Semua mujassim muslim yang bersyahadat kepada Allah dan Rasul semuanya tanpa kecuali menafikan keserupaan antara Allah dan makhluk. Mereka memang menetapkan jisim bagi Allah namun juga meniadakan keserupaannya dengan makhluk. Tetapi itulah yang membuat mereka dianggap ahli bid'ah dan sesat oleh para ulama tapi tidak sampai dikafirkan. Sebab itu, tidak bisa seseorang asal bilang "pokoknya tidak sama dengan makhluk".
Ohya, kami lupa menyebut sumber kutipan terakhir di atas. Yang berkata seperti itu adalah Syaikh Ibnu Taymiyah dalam kitab Tadmuriyah halaman 136. Tapi....tapi....tapi.... hahaha.... silakan bertapi-tapi. Yang jelas, ini bukti bahwa kami tidak membenci beliau atau fanatik buta pada pencela beliau sebab bagian yang benar dari kalam beliau pasti tetap kami rujuk.
@@LingkungSeniSantriKalijaga nah kesalahan anda dan ahlul kalam yg suka berandai andai. Andai andai itu dari rosul atau dari kantong sendiri???
andai Allah begini dan begitu, subhanallah, ini permisalan yang tidak etis dan kurang ngajar dalam memberikan contoh.
Kalian berandai andai, menyatakan PASTI begini begitu, lalu menolak sebagian sifat yang kalian sendiri tidak pernah lihat.
Agama itu dalil wahyu bukan dalil andai andai
@@nikovn9 mangkanya jangan mengambil makna dzahir. Tafwidl lah atau takwil.
Setiap makna dzahir itu mempunyai spek dan rincian yang pasti, sementara kalian selalu berkata, 'mengimani tanpa takyif, ta'thil, tamtsil dan tasybih'. Sementara makna dzahir pasti akan terjadi takyif, tamtsil dan tasybih akibatnya beresiko ada ta'thil. Kenapa? Karena makna dzahir harus ada spek yg jelas dan rinci tdi. Kalau diembel2i tanpa takyif, tamtsil, ta'thil dan tasybih maka itu sdh bukan makna dzohir. Itu sdh masuk ranah takwil.
Kesalahan orang salafy adalah dari itsbat makna, tidak tafwidh apalagi takwil. Padahal dengan itsbat makna, maka semua dalil akan bertabrakan. Contoh itsbat makna yg dilakukan salafi ; menterjemah yad menjadi tangan, dan mengembel2i 'Tangan Allah tdk sama dengan tangan makhluk'. Kaum Salafy tersebut berkata jangankan dengan Allah, antar makhluk saja misal tangan manusia dan monyet jelas berbeda. Tapi salafy lupa bahwa sebagaimanapun berbedanya tangan antar makhluk tapi punya fungsi yang sama, untuk memegang, meraba. Artinya kalau tangan Allah dan manusia diaebut berbeda, tapi tetap hakikat fungsinya sama, yaitu organ peraba. Ini artinya salafi sama halnya dengan mengatakan bahwa tangan manusia dan tuhan itu sama saja hakikatnya, tapi hanya beda dari ukuran dan kekuatan saja. Tangan manusia kecil dan lemah sedangkan tangan tuhan besar dan kuat. Ini sungguh aqidah menyimpang dari orang2 mujassimah yang gemar m3ngkhayalkan bahwa tuhan adalah sosok raksasa super besar yg berbeda dari apapun selain-Nya. Makanya yg paling aman adalah tafwidh. Dalam dalil2 disebutkan ada Yad bagi Allah. Maka sdh saja kita terima kalimahnya begitu adanya, 'Yad'. Gak usah diterjemah jadi tangan! Karena Yad adalah kalimah bahasa arab yg mana kalimah2 bahasa arab itu mempunyai banyak makna dan akan berlaku sesuai konteksnya. Justru ketika kita menerjemahkan Yad menjdi 'tangan' maka berarti kita malah menyempitkan makna Yad tersebut. Ini juga berlaku bagi kalimah2 khabariyah yg lain. Jangan diterjemah! Karena akan menyempitkan maknanya yg sebenarnya bgtu luas dan kaya. Dan lagi Dalam dalil mana pun tdk pernah Allah menyebutkan bahwa Dia memiliki organ tubuh. Kok berani2nya mengatakan Allah mempunyai tangan. Kalau Yad emang iya, tapi akan jadi keliru ketika menterjemah yad menjadi tangan. Walaupun soal menterjemah yad menjadi tangan ini ada kalangan ulama aswaja yg membolehkan, karena memang yad dan tangan itu memiliki banyak makna, tdk mesti organ tubuh. Jadi terbilang aman menerjemah Yad menjadi tangan. Tapi saya memilih tdk menterjemahny, membiarkan apa adanya kalimahnya seperyi itu. Soal istawa juga bgtu. Salafi banyak yang berpendapat makna istawa adalah bersemayam. Walaupun saya lihat gak kompak sih salafi dalam hal ini. Ustadz Salafi macam Dzulqarnain Sunusi atau Farhan Abu Furaihan mengatakan keliru memaknai istawa menjadi bersemayam. Tapi yg lain ada yg mengatakan bersemayam. Maka sudah jangan diterjemah. Paling aman imani saja dan gak usah korek2 makna istawa itu apa.
@@LingkungSeniSantriKalijaga anda gak mendalami kaidahnya,
"Terima makna dhohir sampai adanya tawil dari NABI dan SAHABAT".
Mudah dan selamat.
saya kira kalau mensyaratkan harus mendalami kalam supaya terhindar tasybih, para awam, anak kecil, sepuh dan simbah yg gk paham filsafat akan mencicipi neraka dulu secara default.
Yg di debat kan bukan soal istawa/istaula.
Tp soal ALAL= di atas.
Istawa diatas arsy, istaula juga diatas arsy,
Jadi jelas kata DIATAS tak bisa dibantah.
ALLAH DI ATAS ARSY, tanpa membutuhkan tempat ITULAH KEHENDAkNya . QS Thaha:5.banyak dalil
Berani BANTAH KEHENDAK ALLAH??
tak ada DALIL Allah dimana2 sperti GAS oksigen, nitrogen, helium, dll yg menempati ruang. Ingat gas itu mahluk.
Sy tanya, ADAkah mahluk yg bisa berada DI ATAS ARSY?? Jawabnya TIDAK.
Tak ada satu pun mahluk yg mampu bersanding dgn ALLAH, berada di ATAS arsy.
Hanya ALLAH saja satu satunya yg mampu berada TINGGI di atas arsy, kita menunjuk Allah ada diatas dgn Niat mengagung kan Nya.
Krna ALLAH lah satu2 nya dzat yg maha tinggi.
Yg MAMPU BERADA DI ATAS ARSY
KONSEKWENSI Jika Allah ada dmana2 sperti gas, :
1. ada banyak mahkluk yg setara dgn Allah.
2. Sifat MAHA TINGGI ALLAH GUGUR, krna ada BANYAK MAHLUK yg setara, bahkan mengalahkan tinggi nya ALLAH
3.ALLAH sifatnya seperti Mahluk Gas yg tak berwujud, memenuhi ruangan, ada dmana2.
4. Sifat Allah seperti gas, adalah batil.
Krna TAK ADA DALIL satu pun
KESIMPULAN:
ALLAH DI ATAS ARSY
TAK ADA MAHLUK YG MAMPU berada di atas Arsy.
Artinya Allah TIDAK sperti mahluk , tak ada mahluk yg mampu berada diatas ARSY
Itulah maksud Laaisa kamislihi sai'un
Saya setuju dengan pemahaman imam Malik.. dalam memahami AL-QUR'AN Surat Toha ayat 5...
Setuju dengan imam malik tidak bulet seperti ustad ini.
Bukan Ustadz ini yg mbulet, tapi kamu saja yg gak mau belajar detail
Ulama Assyai'rah tidak mentakwil,sebaliknya mentafsir mengenai Ayat tersebut..Arrahman nu ala aryistawa bermaksud:
Allah yang bersifat Pemurah dan Agong berbanding Araf yg merupakan makhluk yang maha besar.Ini menunjukkan yang Allah adalah maha berkuasa dalam memiliki dan menguasai sekian alam dari sekecik hingga yang paling besar.
Lebih yakin penjelasan ustadz-ustadz salafi
maaf ! berdasarkan keterangan / penjelasan yang di uraikan oleh Kiyahi dalam video ini mengindikasikan dengan jelas bahwa dia belum faham bahasa arab dengan baik / benar , jadi pemahamannya cenderung batal / tidak sah ( tidak benar ) Allaahu a'lam .
Emang kamu udah belajar bahasa Arab dengan benar?
@@orangberiman6262 tidak ada kaifiyah dan tidak diketahui kaifiyahNya adalah dua hal yg berbeda
Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan,mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari cari fitnah dan MENCARI CARI TA'WILNYA,padahl tdk ad yang tau takwilnya kecuali Allah.(Qs,ali imran:7)
Ikhwan salaf hihihi ta'wil bknlah sesat
Ikhwan salaf...Mana yang anda imani sebagai Kalamullah, QS Ali Imron : 7 atau terjemahan dari QS Ali Imron : 7, seperti komentar anda?
Ikhwan salaf والرسخون فىالعلم kelanjutannya
Bilang Allah bertempat itu takwil sesat. Knp ? Krn itu berarti mengatakan Allah butuh tempat yaitu arsy. Allah itu Tuhan masak butuh mahluq?
Sifat butuh adalah sifat mahluq,dan Allah maha suci dr keserupaan dg mahluq.
Laisa kamistlihii syaiun
@@annabawy7274 afwan antum pikirannya keliru dengan pemahaman seperti itu, Allah berIstiwa' di atas 'Arsy bukan berarti Allah membutuhkan tempat dan menyerupakannya dengan makhluk. Jelas Allah tidak serupa dengan makhluk. Antum memahami dalil dengan akal semata, cukup di imani saja tanpa mencari-cari takwilnya. Kalau antum berkata Allah berIstiwa' diatas 'Arsy sama dengan makhluk berarti antum tidak boleh mengimani Allah itu hidup, sebab makhluk juga hidup. Antum tidak boleh mengimani Allah itu mendengar dan makhluk juga mendengar, semoga Antum paham. Hidayah hanyalah milik Allah 'Azza wa Jalla.
Kenapa orang Islam tidak percaya bahawa Allah punya anak kayak kepercayaan Nasrani? Kerna dalam Al-Quran dinyatakan Allah itu tidak punya anak.
Nah kenapa perlu percaya bahawa Allah di atas arasy..? Kerna didalam Quran dinyatakan sedemikian.
Sesuatu yang jelas di tokwal takwil bikin ribet dan mbulet
Istiwa bukan bermakna istaula
“Suatu ketika kami berada di sisi Ibnul A’rabi (wafat: 231-H). Tiba-tiba seorang laki-laki datang lantas bertanya: ‘apa makna firman Allah ini...??:
ﭐﻟﺮَّﺣْﻤَـٰﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﭐﻟْﻌَﺮْﺵِ ﭐﺳْﺘَﻮَﻯٰ
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. [QS. Thaha: 5]
Ibnul A’rabi rahimahullah menjawab:
ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺒﺮ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ
“Maknanya; Dia berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia-‘azza wa jalla-kabarkan.”
Laki-laki itu lantas menimpali:
ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﻣﻌﻨﺎﻩ، ﺇﻧﻤﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ
“Wahai Abu ‘Abdillah (Ibnul A’rabi), bukan itu maknanya. Akan tetapi maknanya adalah Istaulaa (Dia berkuasa).”
Ibnul A’rabi menjawab:
ﺍﺳﻜﺖ ! ﻣﺎ ﺃﻧﺖ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﻘﺎﻝ : ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﻣﻀﺎﺩ ﻓﺈﺫﺍ ﻏﻠﺐ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻗﻴﻞ : ﺍﺳﺘﻮﻟﻰ
“Diam kamu! Apa taumu dalam masalah ini..?! Tidaklah dikatakan seseorang ‘istaulaa’ (menguasai) sesuatu melainkan dia memiliki lawan (sengketa). Jika salah seorang di antara keduanya berhasil mengalahkan yang lain, barulah dia dikatakan ‘istaulaa’ (telah menguasai).”
Kisah tersebut shahih, diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam Syarh Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (3/399, no. 666, tahqiq: Ahmad bin Mas’ud Hamdan).
Berdasarkan penjelasan Imam Ibnul A’rabi tersebut, maka secara bahasa, mustahil kita akan menakwil istiwaa’ dengan makna istaulaa. Karena akan melahirkan konsekuensi makna yang batil, bahwa Allah sebelumnya tidak berkuasa atas ‘Arsy. Dia baru berkuasa (istaulaa) terhadap ‘Arsy setelah Dia merebutnya dari selain-Nya. Maha Suci Allah dari sifat yang demikian.
Ngarang cerita ya...menguasai kok merebut dr penguasa sblmnya...ngawur
@@latifafkar4360 istaula itu menguasai setelah sebelumnya tidak dikuasai
@@belajartauhidsunnah Allah menguasai langit dan bumi,sebelumnya tdk dikuasai..🤣🤣🤣lawak..
@@belajartauhidsunnah logika yg lucu...
@@latifafkar4360 istaula adalah ucapan mutazilah
Artinya alqur'an bukan kitab petunjuk.., saya kok tidak yakin dengan pernyataan anda.
Al-Quran dan kutubussittah itu semuanya valid atau shohih, otak dan kemampuan anda yang tidak valid. Coba sering-sering khatamkan Qur'an jangan cuma terima potongan dari syuyukh anda.
Tafwidh dan takwil itu saling bertolak belakang..
Masa yg saling bertolak belakang di jadikan aqidah...
NU perlu banyak mengapload video penjelasan Aqidah ke youtube.
Insyaallah, pandunganipun bah..
Setuju
Dimana allah????
@@abdulghofur2286 kamu kehilangan Allah ya...kok tanya dimana..
@@abdulghofur2286 pertanyaanmu bidah
Arasy al adhim = makhluk yang paling besar sebagai induk semua makhluk.
Arasy istawa = arasy yang seimbang, stabil tidak bergoncang, berdiri kokoh, tangguh.
Jagad raya berada dibawah arasy, dengan segala material berpusar dalam lintasannya sedangkan arasy stabil dan seimbang menaungi jagad raya.
Kursiyuhu samawat wa ard = kursi Dia meliputi samawat (arasy) dan bumi = fi samawat wa ard.
Penjabaran alternatif adalah Tuan semesta alam bersifat transenden = wajibul wujud menguasai samawat wa ard.
Tuan semesta alam = mukholafatu lil hawadisi.
Samawat (arasy) wa ard (jagad raya) = hawadisi.
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN
Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni:
من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات
"Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis)
Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan.
Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal.
Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua.
Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut:
Dzat itu ada macam-macam kategorinya:
Jauhar (entitas tunggal terkecil)
Jisim (entitas multi jauhar)
‘Aradl (aksiden)
Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl
Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama.
Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut:
Qadim (tanpa awalan)
Baqa’ (tanpa akhiran)
Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya)
Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk)
Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya.
Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah.
Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah.
Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana?
Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini).
Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri.
Istawa dan Nuzul Masuk Mana?
Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah.
Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah.
Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya.
Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah
Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy.
Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah.
Istawa sebagai Keberadaan Allah
Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah.
Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah.
Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian.
Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah?
Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah.
Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir.
Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax.
* Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
Mantab, Referensi ne dari mana Gus?
Kalo dua dua nya di ambil(istawa & istaula) boleh apa Ega ya kiyai
Tolong upload banyak kajian Aqidah ke UA-cam . Cantumkan sumber nya. Wajib bersanad hingga ke Nabi Muhammad SAW. Sehingga umat Islam bersatu. Trimakasih
ua-cam.com/users/live3FNtp1XTlk0?feature=share
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الناس يتساءلون حتى يقال هذا خلق اللهُ الخلقَ ، فمن خلق الله ؟ فمن وجد من ذلك شيئا فليقل آمنت بالله
“Orang-orang akan ada saja yang bertanya-tanya, hingga akhirnya akan ditanyakan, Allah yang menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah? Siapa yang mendapati hal tersebut, maka ucapkanlah, aku beriman kepada Allah.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihiw a sallam juga bersabda,
يأتي الشيطانُ أحدَكم فيقول من خلق كذا وكذا ؟ حتى يقول له من خلق ربَّك ؟ فإذا بلغ ذلك فليستعذ بالله ولينته
“Setan akan datang kepada salah seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu? Hingga akhirnya dia akan bertanya siapa yang menciptakan tuhanmu? Jika hal itu terjadi, hendaknya dia berlindung kepada Allah dan sudahilah (jangan turuti menjawab pertanyaannya).” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa sumber dari pertanyaan seperti itu adalah setan
Premisnya apa, konklusinya apa, :)
Ia menjelaskan tanpa menukil perkataan ulama salaf
Dengarkan dan simak nukilannya
Allah alquran di atas langit di atas arasy
Tinggal di arasy tiada rumah tiada makan tiada minum
Kami mengimani apa yg allah katakan kami ngak memahami kek ustat pahami kalau allah katakan allah punya tangan kami imani allah punya tangan tapi kami itu aja ngak kek ustat pahami karna di kepala ustat ke banyakan syhuphat
Matematika Tauhid
0 dibagi 1
0 dibagi 1 itu = x ? penjelasannya
0/1 = x maka 0 = 1 . x atau 1 . x = 0,
kita harus mencari “1 dikalikan dengan berapa (x) agar memenuhi hasil sama dengan 0”. Tentunya kita sudah mengetahui, x = 0,
kita telah mengetahui bahwa “bilangan berapapun dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan 0”. Oleh karena 0 dibagi 1 itu adalah 0 atau dikatakan memiliki satu solusi yaitu = 0.
👉 Manusia dan semua makhluk itu tidak ada kuasa, Tapi Allah lah satu2nya Yang Maha Kuasa = La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.. (lafadz Hauqalah)
0 dibagi 0
0/0 = x maka 0 = 0 . x atau 0 . x = 0.
kita harus mencari 0 dikalikan dengan bilangan berapa (x) agar menghasilkan sama dengan 0.
“bilangan berapapun dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan sama dengan 0”, berarti bilangan yang memenuhi nilai x itu adalah semua bilangan, yaitu 1, 2, 5, 9, 50, 60, 100, 10.000.000 dst tak terhingga ( ~ ), mau berapapun itu ketika dikalikan dengan 0 hasilnya akan tetap 0. Maka 0 dibagi 0 dikatakan “TAK TERHINGGA” ( ~ ) karena memiliki banyak solusi.
👉 Arsy (makhluk = 0).. mau dibagi (difikirkan) oleh Manusia (makhluk = 0 jg), maka kita tidak bisa memikirkan batasnya dimana.. dan berapa besar kelipatannya = TAK TERHINGGA / ~
1 dibagi 0
1/0 = x maka 1 = 0 . x atau 0 . x = 1
“0 . x = 1”, artinya kita harus mencari “0 dikalikan dengan berapa (x) agar memenuhi hasilnya sama dengan 1, lalu berapa nilai x nya ?. TIDAK ADA angka yang dikalikan dengan 0 menghasilkan 1, kita tahu suatu bilangan yang dikalikan dengan 0 maka akan menghasilkan sama dengan 0.
Jadi bilangan x tersebut “tidak terdefinisi”, oleh karena itu 1 dibagi 0 itu “TIDAK TERDEFINISI” atau dikatakan "TIDAK MEMILIKI SOLUSI."
👉 1 = Khalik/Allah/Esa.
0 = Manusia/makhluk/hakekat tiada..
Maka manusia tidak bisa memikirkan Dzat Allah (Tdk Terdefinisi, Tdk ada solusi - dan tdk akan sanggup)..
Kita dilarang memikirkan Dzat-Nya, tapi diperintahkan memikirkan tentang ciptaan-Nya atau Kekuasaan-Nya
Aqidah Ahlussunah waljamaah..
Bahwa Allah itu Wujud (Ada), Tanpa Permulaan, Tanpa Akhir, Tidak Bertempat dan Tidak Berarah (Tidak Dikuasai Arah)
👉 Aqidah Aswaja ini lebih berkesesuain dng konklusi logika matematika (dalil aqli) diatas.. dr pd musyabihah & mujasimah..
Dan kita harus menghindar dari mendefinisikan makna dzahir yang mengarah pada tajsim & tasybih terhadap Dzat Allah yg akan melemahkan Dzat Allah, /menyamakan dng makhluknya.. (dng menggunakan metode tafwidh ataupun takwil u/ menghindarkannya)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “
[ QS. as-Syura:11 ]
Wallahualam..
NU & SALAF itu sama-sama bermanhaj salafusholeh, yang membedakan adalah bagaimana mereka mentakhrij hadits. SALAF banyak membuang hadits yang dianggap dhoif, tapi NU menanganggap itu shohih. Maka tidak pelak mereka berbeda. Tapi dalam kaidah-kaidah keilmuwan mereka seimbang, kemudian dalam beberapa hal mereka sepakat, padahal seperti Muhammadiyah, HTI IM, dkk. tidak setuju.
Cukup diyakini aja sdr
Saya menghargai pendapat ustadz dlm video ini, tp saya tidak setuju bila beliau menolak sifat nuzul-Nya Allah dgn mentakwil menjadi rahmat-Nya yang turun. Yang saya pelajari cukup di imani saja ttg sifat nuzul-Nya Allah, tanpa perlu membagaimanakan nuzul-Nya, karena akal manusia terbatas. Tidak bisa memikirkan hal yang gaib. Jazakallah khayr.
Dalam akidah Aswaja, untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat ada 2 metode: tafwidl dan ta'wil.
ALKIYAHI Channel knp harus di takwil ttg sifat Allah? Bukankah cukup di imani saja?
ALKIYAHI Channel Ibnu abbas radhiyallahuanhu brkata: Kami beriman kpada yang muhkam dan mengamalkannya dan kami beriman kpada yang mutasyabihat nmun tdk mengamalkannya,dan seluruhnya dari sisi Allah Ta'ala.(Tafsir ath thabari dan al itqaan fii uluumil qur'aan"krya as suyuthi)
Adnan Handaru... Pertanyaan anda "knp harus ditakwil ttg sifat Allah?" bisa jadi contoh yang baik utk sebagian muslim yang selalu mempertanyakan arti/makna atau tafsir dari ayat2 mutasyabihat...
Takwil adalah kaidah/metode yg dipakai para ulama Ahlussunnah wal Jamaah utk menjelaskan makna/tafsir dari ayat2 mutasyabihat, jika ada jamaah (orang awam) yg msh penasaran dan tdk puas dgn jawaban para ulama yang menggunakan kaidah tafwidh...
Kaidah/metode tafwidh dan takwil ini dimaksudkan utk menutup rapat2 celah dari pemikiran bahwa Allah serupa dgn mahluk-Nya, tapi tentu saja kaidah takwil ini hanya boleh dilakukan oleh para ulama dgn ilmu yg mumpuni dan tidak boleh merubah tulisan beraksara Arab, berbahasa (bunyi) Arab dari nash Al-Qur'an sebagai Kalamullah... Wallahu a'lam bishawab
Ikhwan salaf... bukankan komentar anda itu adlh kaidah/metode tafwidh? Wallahu a'lam bishawab
Pemuda Desa... Saya bermazhab akidah Asy'ariyah, dan saya meyakini kaidah/metode utk mengenal Allah dgn menggunakan kaidah/metode "20 sifat wajib Allah dan 20 sifat mustahil Allah" dan kalimat Tauhid "Laillahaillah" hanya 1 arti, 1makna dan 1 tafsir yaitu "tiada Tuhan selain Allah"...
Tapi ada saudara kita, yang bermazhab akidah Ibnu Taimiyah, dalam mengenal Allah, mereka menggunakan metode "Tauhid terdiri dari 3 aspek"...
Maaf akhi, saya kurang sependapat jika ada saudara kita yang bermazhab akidah Asy'ariyah, yang mengatakan metode "Tauhid dibagi 3" atau metode "Tauhid 3 serangkai", karena terkesan seperti membagi Tauhid menjadi 3 (seperti keyakinannya umat Kristen dgn metode "trinitas" nya)...
Ini saya sertakan cuplikan video ceramah ust. Adi Hidayat dari Muhammadiyah, yg menjelaskan tentang metode "Tauhid terdiri dari 3 aspek" yang benar...
ua-cam.com/video/WES9amB-fO4/v-deo.html
Ada perbedaan pendapat diantara mereka yang bermazhab akidah Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan dan memahami "Tauhid Asma wa Sifat", paling tidak antara ust. Adi Hidayat dan kelompok Salafi...
Ust Adi Hidayat berpendapat bahwa sifat2 Allah dalam ayat mutasyabihat harus di tafwidh, dan jangan ditanyakan atau ditafsirkan, tapi membolehkan takwil, jika masih ada jamaah (orang awam) yang masih bertanya tentang makna/tafsiran logis dari ayat2 mutasyabihat...
Sementara kelompok Salafi, berpendapat bahwa Sifat Allah dalam ayat mutasyabihat harus ditafsirkan seperti dzohirnya ayat tsb, tapi menyerahkan kepada Allah mengenai "bagaimananya"/"seperti apanya"...
Naahhh, inilah yang sering terjadi benturan pemahaman antara ust. Adi Hidayat dgn kelompok Salafi, apalagi antara Asy'ariyah (Ahlussunnah wal Jamaah/Aswaja) dgn kelompok Salafi...
Maaf, karena masih sangat terbatasnya pengetahuan saya, saya blm mengerti, apakah jika ada seseorang yg tidak mengakui 1 saja aspek dari 3 aspek Tauhid, itu berarti Tauhid orang tersebut secara keseluruhan dianggap telah gugur...???
Atau hanya 1 aspek yang tidak diakuinya saja yang dianggap gugur, tapi secara keseluruhan orang tsb masih dianggap bertauhid...??? Wallahu a'lam bishawab
Mohon pencerahannya akhi... Jazakallah khoir
Kayaknya ada wahabi/mujassimah nyusup ke sini😆😆😆
Ada dimana allah????
Njenengan ustadz siapa? Njenengan menguasai ilmu Islam secara komprehensif dan shohih.
Memang memahami al quran dan alhadist butuh orang yang mengetahui metode2 para ulama yang lebih dulu, lebih dekat ke rosululloh seperti sahabat, tabiin, tabiin tabiat, dan ulama mujtahid. Tidak langsung bilang kembali ke alquran dan alhadist. Itu terlihat bodohnya. Terus perjuangkan ustad
tambah lagi ngaji ilmunya syeikh, biar paham agama sesuai pemahaman para salaf sholeh (manhaj salaf)
Manhaj salaf tp mentok sampai ibnu taimiyah..itu mah manhaj khalaf
Tafwidh berarti tdk diketahui arti dan maknanya.
Padahal 'istawa alal 'arsy' disampaikan dlm bahasa arab yg jelas arti dan maknanya. Pendpt si ustad divideo ini tertolak.
Yg ulama salaf bersikap tafwidh adalah kpd ayat2 yg mutasyabihat dan tidak diketahui arti dan maknanya, seperti ayat2 muqaththa'ah: Alif laam miim, thaa haa, kaaf haa yaa ain shaad.
Ayat2 tersebut bahkan tdk diketahui artinya dalam bahasa arab, dan tidak diketahui maknanya.
Pada ayat2 spt itulah para ulana salaf tafwidh. Dan bukan pd ayat2 istawa alal arsy.
MasyaaAllah.... baarakallahu fiik... saya pun memahami nya begitu..
Istawa maknanya banyak ,kenapa pilih makna seperti makhluk ?
perhatikan kata yg mengikutinya. dalam al Quran tdk pernah disebutkan "istawa" saja. selalu di ikuti kata " 'ala".
ayat al Quran yg menjelaskan sifat Allah Ta'ala bunyinya "istawa 'ala " , kalimat " istawa 'ala " maknanya hanya satu yakni "bersemayam diatas...". tidak bisa diartikan lain.
Allah Ta'ala menjelaskan dengan kalimat yg kokoh sehingga tidak bisa diartikan macam2. Itulah ma'na yg Allah Ta'ala inginkan untuk kita imani.
Allah Ta'ala juga menjelaskan "laisa kamitslihi syai' ", Allah Ta'ala tidak serupa dg suatu apapun.
Pokoknya yg tdak sesuai dg pemahaman mereka harus ditakwil..
Ya Iyah harus di tanya ke Allah Allah kan ada di atas
Sholatmu menghadap Allah keatas ya,,,,?
@@latifafkar4360
Berarti antum tidak pernah membaca ayat dan hadits bahwa KETIKA KITA SHALAT, Allah berada di hadapan kita.
Di mana saja kita berada.
Dalam waktu bersamaan di seluruh dunia banyak orang yang yang shalat.
Sementara Allah tetap berada di atas Arsy-Nya di atas langit ketujuh.
Mengajak bicara kepada para malaikat, dalam waktu yang bersamaan pula.
Mendengarkankan permohonan doa dan mengabulkannya secara bersamaan di seluruh tempat.
Mengatur seluruh makhluk-Nya di mana saja mereka berada, dalam waktu bersamaan.
Itulah Allah.
Maha Besar, Maha Tahu, dan Maha Kuasa.
Fa'-'aalul limaa yuriid (berbuat apa saja yang Dia kehendaki).
Yang tidak masuk akal jika itu dilakukan oleh manusia.
Laisa kamitslihi syaiun.
Kaum bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah menganggap bahwa Allah kemampuan-Nya hanya seperti manusia.
Sehingga mereka menolak hampir semua ayat dan hadits tentang Sifat-sifat Allah.
Kemudian diikuti oleh kullabiyah Asy'ariyyah maturidiyyah.
Ahlussunah wal Jamaah Salafi mengimani Sifat-sifat Allah yang Allah khabarkan.
Allah yang tahu tentang Sifat-Sifat-Nya.
Kita tinggal mengimani.
Tanpa menyerupakan Sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat manusia/makhluk.
Dan tanpa bertanya bagaimana rinciannya.
Karena hal itu akan membawa kepada penyerupaan Allah dengan makhluk.
Dari sini sangat salah tuduhan para ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah yang menuduh bahwa: Ahlussunah wal Jamaah Salafi menyerupakan Allah dengan makhluk, karena mengimani Sifat-sifat Allah.
Mereka menjuluki Ahlussunah wal Jamaah Salafi dengan julukan mujassimah (menganggap bahwa Allah memiliki jism/badan yang sama dengan manusia) dan hasyawiyah (tekstual).
Mereka membangun keyakinan mereka dan menyalahkan aqidah Ahlussunah wal Jamaah Salafi di atas dasar AKAL mereka yang terpengaruh FILSAFAT (ilmu kalam) Yunani, Romawi, dan Persia.
Padahal Ahlussunah wal Jamaah Salafi mengimani tanpa menyerupakan.
Badan manusia, kita banyak tahu hakekat rinciannya. Adapun Dzat Allah, kita tidak tahu hakekat-Nya sama sekali.
Kita tahu Sifat-sifat Allah adalah dari Allah sendiri.
Ketika kita mengimani khabar Allah tentang Sifat-sifat-Nya tanpa menyerupakan Sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat manusia/ makhluk,
itu adalah KEIMANAN kepada Allah.
Bukan sikap TEKSTUAL dalam arti MENYAMAKAN dengan jism manusia.
Maka istilah mujassimah dan hasyawiyah untuk menjuluki Ahlussunah wal Jamaah Salafi, adalah dibangun oleh pemahaman bid'ah sesat ILMU KALAM mereka.
Tidak ada contohnya dari Rasulullah dan para Sahabat.
Sikap ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah ini kemudian diikuti oleh kelompok ahli kalam (filsafat) yang baru: kullabiyah, Asy'ariyyah, dan maturidiyyah.
Mereka melakukan penggabungan antara aqidah ilmu kalam jahmiyah mu'tazilah dengan aqidah Ahlussunah wal Jamaah Salafi.
Hasilnya mereka (kullabiyah, Asy'ariyyah, maturidiyyah) menetapkan sebagian kecil saja dari Sifat-sifat Allah yang menurut mereka tidak bertentangan dengan AKAL mereka.
Dan menolak Sifat-sifat Allah yang lainnya, dengan cara yang sama persis dengan cara ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah.
Dan mereka pun menuduh Ahlussunah wal Jamaah Salafi yang mengimani Sifat-sifat Allah yang mereka ingkari, dengan tuduhan yang sama persis seperti tuduhan ahli bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah: mujassimah dan hasyawiyah.
Inilah hakekat aqidah Asy'ariyyah.
Alhamdulillah.
Ahlussunah wal Jamaah Salafi walaupun terasing, mereka tetap ada dan tetap menang dalil-dalilnya yang jelas kebenarannya, atas seluruh aqidah bid'ah sesat. Termasuk atas aqidah bid'ah sesat jahmiyah mu'tazilah dan yang mengikutinya: aqidah Asy'ariyyah.
Alhamdulillah.
@@zulkarnainalatsari684 katanya Allah diatas ,,sholatmu menghadap Allah gk...
Allah ada tanpa terbatas arah dan tdk bertempat..
Makanya kami menolak ayat mutasyabihat (istiwa ala arsy)dgn makna/arti dhohir =duduk/tinggal diarsy...arti dhohir ini gk mungkin bagi bagi Allah,,krn Allah tdk maha jauh,,,arsy itu jauh bgt.
@@latifafkar4360
Ngomong pakai dalil ayat dan hadits shahih, Mas.
Jangan pakai akal antum.
Ketika shalat, Allah berada di depan kita.
Ini berdasarkan ayat dan hadits shahih.
@@zulkarnainalatsari684 kamu gk bakal nrima dalil orang lain..ciri2 wahaby tu gk nrima dalil orang lain..percuma pake dalil....
Apkh Allah maha jauh..?
Yg paling benar gimana kiyai
Aqidah ada di dalam hati kita sendiri, berdo'alah dalam setiap sholatmu, Ihdina sirotol mustaqim... Hanya Allah saja yang bisa memberikan jalan yang lurus saudaraku seiman... 😀
Klo mdukung Allah bertempat turun k bumi berarti bsa mngecil dan meninggalkan ciptaan yg lain.... 😭
@@jufriyadi8706
Dari mana sampeyan bisa mengatakan bahwa Allah itu bisa "mengecil dan meninggalkan ciptaan yang lainnya"?
Berarti sampeyan telah "membayangkan bagaimananya".
Dan pasti yang sampeyan bayangkan itu adalah sama dengan apa yang sampeyan lihat. Yaitu makhluk.
Akhirnya sampeyan membayangkan Allah sama dengan makhluk.
Ini jelas salah.
@@abdullah5975 itu sanggahan jika menganggap Allah itu bertempat.... Bertangan dan turun d sepertiga malam. Sanggahan bagi mereka yg hanya memahami ayat scr harfiah.... Krn kami ahlussunah waljamaah mnafsirinya Rahmat Nya yg turun d sepertiga malam.... Jg tangan dan wajah Allah itu d artikan kekuasaannya. Mngenai ars mempunyai arti yg tinggi.
@@jufriyadi8706
Ahlussunnah wal Jamaah itu ikut Sunnah, Mas..!!!
Bukan malah menolak Sunnah dan menggantikannya dengan bidah sesat, Mas...!!!
Jika maksudnya "Rahmat Allah yang turun", mana dalilnya?
Mikir, Mas...!!!
Jangan asal ikut-ikutan tanpa dalil...!!!
@@jufriyadi8706
Juga perubahan makna Wajah, Tangan, dan istawa di atas Arsy. Mana dalilnya..???
📚 *Tujuh Ayat ISTAWA (berada tinggi) Allah di atas Arsy*
=========°
🌷 Sifat istiwa’ (berada tinggi) adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu:
1. QS Al-A’raf: 54,
2. QS Yunus: 3,
3. QS Ar-Ra’d: 2,
4. QS Al-Furqan: 59,
5. QS As-Sajdah: 4 dan
6. QS Al-Hadid: 4,
Ke-6 ayat tersebut semuanya dengan lafazh:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
_“Kemudian Dia Istawa (berada tinggi) di atas ‘Arsy (singgasana).”_
💦 _[Kata "tsumma (kemudian)" menunjukkan bahwa istawa Allah di atas Arsy adalah perbuatan Allah yang Allah lakukan kemudian. Yaitu setelah Allah menciptakan langit dan bumi]_
Dan dalam:
7. QS Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
_“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) istawa (berada tinggi).”_
💦 _[Didahulukannya kata "alal arsy (di atas Arsy)" sebelum kata kerja "istawa (berada tinggi)", menunjukkan bahwa istawanya Allah _*_hanyalah_*_ di atas Arsy. Tidak istawa di atas selain Arsy]_
Ketujuh ayat tersebut jelas pembicaraan tentang: *KEBERADAAN DZAT ALLAH.*
🌷 *Apa itu makna istiwa’?*
Makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh dua ulama Tabiin,
Imam Abul ‘Aliyah dan
Imam Mujahid,
yang dinukil oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya:
قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ ( اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ ) ارْتَفَعَ
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa:
_"Maksud dari ‘istiwa’ ke atas langit’ adalah _*_irtafa’a (naik)."_*
. وَقَالَ مُجَاهِدٌ ( اسْتَوَى ) عَلاَ عَلَى الْعَرْشِ
Mujahid mengatakan:
_"istiwa’ adalah _*_‘alaa (menetap tinggi)_*_ di atas ‘Arsy."_
Penjelasan kedua ulama Tabiin tersebut jelas menjelaskan *KEBERADAAN DZAT ALLAH.*
Bukan sekedar: derajat (kedudukan) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
📚 *Hadits: Di Mana Allah*
Dari Mu‘awiyah ibn Hakam Radhiallahu ‘Anhu:
وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).
_Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi._
_Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu._
_Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’_
_Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’_
_Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, _*_‘Di mana Allah?’_*
_Jawab budak tersebut, _*_‘Di atas langit.’_*
_Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’_
_Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’_
_Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita *mukminah.*’”_
Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i dalam al-Risālah no. 242, dll.
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa:
1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan KEBERADAAN DZAT ALLAH, sebagai *tolok ukur keimanan.*
2. *Disyariatkannya* menanyakan KEBERADAAN DZAT ALLAH dengan pertanyaan: *"Di mana Allah?"*
3. Jawaban yang menunjukkan keimanan yang benar terhadap KEBERADAAN DZAT ALLAH, adalah jawaban:
*"Allah berada di atas langit."*
Yakni di atas langit ketujuh.
Istawa (berada tinggi) di atas Singgasana (Arsy)-Nya.
🌷 Dan masih banyak dalil ayat dan hadits tentang keberadaan Dzat Allah Yang Maha Tinggi di atas Arsy. Sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak serupa dengan makhluk-Nya.
💦🌸💦🌸💦
Shohih
KARENA ITULAH UNTUK MEMBAHAS KETUHANAN PERLU NALAR LAIN
Imam Fakhruddin ar-Razi, imamnya ilmu aqliyat dan naqliyat, pernah memberikan rumus sederhana bagi mereka yang hendak membahas ketuhanan, yakni:
من أراد أن يشرع في الإلهيات؛ فليستحدث لنفسه فطرةً أخرى، فالإنسان - كما يتابع - إذا تأمل في أحوال الأجرام السفلية والعلوية، وتأمل في صفاتها، فذلك له قانون. وإذا أراد أن ينتقل منها إلى معرفة الربوبية؛ وجب أن يستحدث له فطرة أخرى وعقلا آخر، بخلاف العقل الذي اهتدى به إلى معرفة الجسمانيات
"Siapa yang hendak membahas teologi/ketuhanan, maka dia harus menyediakan kondisi mental yang lain bagi dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya ketika memikirkan keadaan materi-materi mikrokosmos atau pun makrokosmos dan dia merenungkan sifat-sifatnya, maka hal itu mempunyai aturan hukumnya sendiri. Ketika dia hendak berpindah pada pengetahuan ketuhanan, maka dia wajib menghadirkan kondisi mental dan rasio yang lain yang berbeda dari rasio yang memberinya petunjuk pada pengetahuan dunia materi" (Fakhruddin ar-Razi, Asas at-Taqdis)
Aplikasi panduan Imam ar-Razi tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika manusia membahas semesta secara umum, berlaku hukum fisika umum. Namun, ketika hendak membahas dunia sub-atomik, maka berlaku fisika kuantum yang punya nalar berbeda dan rumus-rumus berbeda. Padahal keduanya masih sama-sama dunia materi/fisik. Nah, ketika hendak membahas ketuhanan, maka buang semua aturan fisika materi tersebut dan persiapkan kondisi mental yang berbeda serta nalar rasional yang berbeda pula. Dengan cara ini, barulah misteri ketuhanan akan terpecahkan.
Orang-orang Taymiyun dan musyabbih secara umum (mencakup para ateis) tidak mampu menghadirkan kondisi mental yang baru ini sehingga mereka terjebak pada nalar materialisme hingga jatuh pada absurditas. Akhirnya, ketika membahas ketuhanan mereka masih saja mereka memaksakan hukum fisika yang berlaku di semesta makhluk ini sehingga tidak mampu melepaskan Tuhan dari unsur ruang, jarak, bentuk, waktu, materi dan arah fisikal.
Karena itulah selalu muncul pertanyaan lucu dan menggemaskan dari mereka. Sebagian berpikir seperti anak kecil yang mengira Tuhan adalah sosok berukuran super besar yang sedang duduk-duduk di singgasananya di ruang yang jauh di atas sana, sebagian berfikir Tuhan menempati mana2 tempat, sebagian lagi malah menafikan eksistensi Tuhan karena ilmu fisika modern tidak dapat menjangkau dan menganalisisnya. Maha Suci Allah dari prasangka mereka semua.
Namun Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut:
Dzat itu ada macam-macam kategorinya:
Jauhar (entitas tunggal terkecil)
Jisim (entitas multi jauhar)
‘Aradl (aksiden)
Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl
Allah adalah kategori keempat, sebab laisa kamitslihi syai’un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama.
Kemudian, sifat Allah ada dua kategori, pertama adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Oleh karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai berikut:
Qadim (tanpa awalan)
Baqa’ (tanpa akhiran)
Wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya)
Mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk)
Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contohnya mendengar, melihat, mengetahui, dan sebagainya. Semuanya selalu ada pada Allah, tidak ada berhentinya.
Kedua, sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah.
Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (makhluknya yang mati), menghidupkan (makhluknya yang hidup), merahmati (makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi’liyah.
Yad, Ain, Wajh dan sebagainya Masuk Mana?
Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini).
Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi’liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri.
Istawa dan Nuzul Masuk Mana?
Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah.
Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi’liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi’liyah.
Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya.
Yadullah Bukan Anggota Tubuh Allah
Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy.
Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah. Padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah.
Istawa sebagai Keberadaan Allah
Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas, di sana saja dengan ukuran tertentu. Baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy, adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah.
Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy, ke lokasi di bawahnya. Sampai berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah.
Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian.
Apakah Taymiyun Mengikuti Akidah Ibnu Taymiyah?
Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total. Akan tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah.
Oleh karena masih pemula, mereka hanya sekadar menetapkan istilah yang ada dalam Alquran dan hadis. Tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir.
Mereka ini sejatinya sama seperti Asy’ariyah, hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya’irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya’irah sesat. Padahal hanya karena menjadi korban hoax.
* Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.
@@LingkungSeniSantriKalijaga
Ya jelas sesat.
Membahas ketuhanan kok pakai nalar. Apalagi "nalar yang lain". Ya jelas sesat.
...
Yang benar : membahas tentang Tuhan ya harus dengan "apa kata Tuhan".
Nalar tinggal membenarkan "apa kata Tuhan".
Mudah. Nggak repot. Nggak bingung. Nggak sesat.
@@abdullah5975 jika sampeyan tak mampu menalar, maka akal sampeyan rusak. Jika akal sampeyan rusak, sampeyan terbebas dari kewajiban syariat. Jadi kaga usah lagi sholat, zakat, naik haji dll. Sdh tak perlu lagi, karena akal sampeyan rusak. Syariat hanya berlaku bagi orang beriman yg sehat akalnya, tidak gila. Gitu Lurs.
Masa sampeyan tidak menyadari kalau laisakamitslihi syaiun dan walamyakunlahukufuwan ahad itu adalah penalaran yang diberikan Allah pada kita untuk membahas Dzat-Nya? Walah gimana ini😄
@@LingkungSeniSantriKalijaga
Akal sampeyan yang rusak, Mas.
Menolak "apa kata Tuhan" dengan "nalar" berarti "nalar/akal" sampeyan telah rusak. Sesat.
Bayak ulama yg pahami istawa issaula tapi ulama yg di kepala nya ada syhubhat kalau ustat pahami istawa issaula berarti allah ada di wc dong mahasuci allah dari apa yg ustat pahami
Istiwa tafsirnya istiwa, tidak ada istaula.. Jngn ngarang
Ust nur Hidayat TDK bisa membedakan tafwid ahlussunah waljamaah dg ahlul bid'ah,begitu juga dg takwil ahli Sunnah adalah tafsir adapun ahlul bid'ah takwil penyelewengan makna
Yang benar:
1. Para ulama Ahlussunah wal Jamaah di masa Salaf memaknai dengan MAKNA ZHAHIRNYA:
- 'ALAA (berada tinggi di atas) dan
- IRTAFA'A (berada tinggi) dan
- SHA'IDA (berada di atas dan naik) dan
- ISTAQARRA (berada menetap).
Yakni: berada menetap tinggi di atas.
Yakni di atas Arsy.
Mereka memaknai. Bukan tidak memaknai. Bukan menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh makna).
Mereka memaknai dengan MAKNA ZHAHIRNYA. BUKAN makna TAKWIL (makna jauh). BUKAN pula makna TAHRIF (makna yang bukan makna zhahir maupun makna takwil).
Inilah sikap kaum Salaf.
2. Adapun makna TAKWIL dari ISTAWA 'ALAA; kebanyakan kaum ahli bidah sesat (Jahmiyah Mu'tazilah dan Khawarij; yang diikuti oleh kaum Asy'ariyah, Kullabiyyah, dan Maturidiyah), mereka mentakwil secara BATHIL. Yang dikenal dengan istilah TAHRIF (merubah).
Mereka mentahrif dengan makna yang bukan berasal dari kebiasaan orang Arab memaknai ISTAWA. Yaitu mentahrif ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA (menguasai).
Mentahrif ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA, telah dibantah oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari sendiri (imamnya kaum Asy'ariyah) di dalam kitab Al Ibanah.
Bisa dilihat di kitab terbitan kaum Asy'ariyah sendiri (Al Ibanah Cetakan Darul Anshar Mesir), halaman 108.
3. Tidak adanya kaum ahli bidah sesat yang memilih makna takwil (makna jauh) di kamus bahasa Arab, menunjukkan bahwa:
- kaum ahli bidah sesat sendiri faham, bahwa mengganti dengan makna-makna selain makna zhahir nya, adalah jelas tidak benar.
- kaum ahli bidah sesat hanya bisa memilih menerima makna zhahir nya atau menolak.
4. Maka datanglah dalil di luar lingkungan bahasa Arab. Yang memaknai ISTAWA 'ALAA menjadi ISTAULAA. Yakni dari syair yang dari luar lingkungan kaum yang fasih berbahasa Arab.
Syair itu telah dibantah dari segi bahasa oleh para ahli bahasa Arab seperti Sibawaih dan Ibnul Arabi.
Tapi qaddara llaahu. Karena banyaknya orang yang bodoh di dalam bahasa Arab menerima TAHRIF ISTAULAA tersebut, akhirnya sekarang ini, makna ISTAULAA dimasukkan ke dalam makna takwil di kamus bahasa Arab.
Yang benar: ini adalah kesalahan dilihat dari segi penjelasan para ulama Salaf maupun ulama bahasa Arab.
Kesimpulannya:
Yang benar adalah MENGIMANI bahwa Allah berada di atas. Di atas Arsy. Di atas langit ketujuh.
Dengan menyerahkan bagaimana caranya Allah berada di atas Arsy, kepada Allah.
Kesesatan orang wahabi menjisimkan Allah
Muter muter bikin bingung pemirsa, ustadz salafi penjelasannya lebih tegas dan sederhana
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
Bedakan ... Alloh tidak membutuhkan tempat bukan berarti Alloh tidak istiwa Arsy ...seperti Alloh tidak membutuhkan untuk mencintai hamba-Nya tapi Alloh mencintai hamba yang dikehendaki-Nya ... ta'wil itu boleh jika memang ada dalil yang menunjukkan ta'wil nya, tapi untuk ayat mutasyabahat yang tidak ada dalil yang menta'wilnya maka tidak boleh....."...tidak ada yang tahu ta'wilnya kecuali Alloh " (al Baqoroh) .... makna ayat 'Wallohu maa'kum aina makuntum" adalah Alloh Istiwa diatas Arsy dan Maha Tahu Maha melihat hamba-Nya lihat QS Al Hadid 4....artinya kata "ma'akum' ini ditakwil(dijelaskan) sendiri oleh Alloh dalam QS Al Hadid ayat 4... begitu pula pada ayat kursy , yang sering kita baca , dijelaskan Alloh Maha Berdiri Sendiri (Al Qoyyum) tetapi Alloh menjelaskan juga tentang kursy-Nya, sebagaimana kita tahu kursy itu artinya tempat pijakan kaki para raja pada singgasananya ...artinya kita tidak bisa mempertanyakan "bagaimana Alloh Berdiri ?" ini adalah pertanyaan bidah dan tercela, karena menunjukkan ketidak pahaman dia bahwa Dzat Alloh tidak bisa kita ketahui hakekatnya kecuali kita hanya mengimaninya ...dan mengapa orang tidak mempersoalkan ta'wilnya, tapi diterima begitu saja, maka mestinya seperti ini pula seseorang menyikapi firman Alloh "Arrohmanu istiwa alal arsy" = "(Alloh) Yang Maha Pengasih ber istiwa diatas Arsy -Nya" .. ... kata ma'a sendiri tidak harus berarti bersama dalam dzatnya , tapi bisa bermakna bersetuju / sependapat / satu tujuan ... wallohu a'lamu bish showab
Bukan maknanya ditafwid ustad. Yg d tafwid kaifiatnya ostad
ahlu NU al'ashobiyah
Tidak boleh di takwil poko nya terbelit belit jadi nya hhh
Ditakwil, akhirnya bingung sendiri..
tidak boleh membicarakan makna tapi memberikan makna hasil takwil. Aqidah mbulet
takwil itu ajaran batil
Apa pun, saya meyakini Sains Cosmology dan Matematik yg diwarisi dari candekiawan Islam dahulu sprt Al Khindi dll memang sealiran dengan Golongan Salafi
Istaqra mana boleh pakai itu sudah mujasimah. Allah duduk menetap di atas langit sudah menyamakan Allah dengan manusia. Haram.
Maaf , masukan, lebih baik di rujuk nama2 ulama dan penjelasannya secara rinci, jadi org awam seperti saya tdk bingung. Dan kalau ada kata2 istilah khusus tolong dijelaskan
Misal, hal A ada beberapa pendapat,
Misal ulama A madzab nya apa, berpendapat seprti ini,
Ulama B berpendapat seprrti itu,
Jumur ulama berpendapat seprti ini,
Yg menyelisihi pendapat itu,
Kesimpulan.
Trims
Ngomong apa sih ente dul...ga paham gue
Noh ente dipanggil tahlilan noh....cepet berangkat sana....amplop nie amplop....dasar panitia doa keliling
Allah alkitab di syurga kerna manusia menujuh syurga
Syurga kerajaan allah siapa yang berdosa tidak masuk syurga
Ada rumah ada makan ada minum
Tawa tawa😂
Pada paham kagak.......?
Bagi saya yg awam yg penting percaya Allah itu ada itu sudah Aman
Lafadz ucapan ALLAH kenapa seperti itu...?
Ia menjelaskan Aqidah asy'ariyah bukan aqidah salaf /ahlus sunnah wal jama'ah
Mujtahid Abu Asyifas... Menurut anda atau menurut guru2 agama anda, aqidah salaf / ahlus sunnah wal jama'ah itu menggunakan kaidah/metode apa utk memahami ayat2 mutasyabihat?...
Karena akidah Asy'ariyah/Ahlussunnah wal Jamaah menggunakan 2 kaidah/metode: tafwidh dan takwil....
Mohon pencerahannya?
Nyimak
Jelaskan, dgn sebenar2nya. Kalo antum "merasa" benar.
😄😄
Dunia tlng kaji srt srt al,angkabut,,43,kalau kamu masi manusia tak tau ni ayat.
Ustadz membaca الله kok pakai و ya
😂😂😂😂😂😂
Berapa pun istilah bahasa dan makna huraian bahasa oleh ahli ahli agama, menurut sains modern dan matematik Arasy adalah Tempat Allah SWT dan bukan makhluk Allah SWT yakni sama seperti Al Quran adalah khalimah Allah SWT bukan makhluk.....tiada isu terbatas Arasy akan tempat Allah itu kerana , menurut sains cosmology dan matematik, Arasy adalah tempat Allah (dan bukan makhluk itu) melewati langit yang tiada batasnya. Sebenarnya satu padangan yg mengundang pertikaian bila, Ahli agama selalu mengatakan bahawa setiap tempat itu ada batasnya..padahal sains dan matematik membuktikan bahawa ada nya tempat yg tiada batasnya dalam kehidupan makhluk...contohnya LANGIT itu tiada batasnya....
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga kamu kurang mengerti ttg sains sebenarnya...sdgkan maksud sains sprt dlm Al Quran adalah dalam sebahagian penjelasan tuan..
Nak kata kamu ttg pendapat saya, sebenarnya isi maksud saya adalah dlm berberapa penjelasan kamu
@@LingkungSeniSantriKalijaga No.1 Sifat Ahad ...bertempat.
Kalau DIA katakan SIFAT Nya MENDENGAR....SIFAT AHAD tu sudah macam mana ?
@@LingkungSeniSantriKalijaga No.2 Bertempat adalah Perbuatan Berjisim.
Kamu masih berfikir namanya TEMPAT itu adalah HANYA DALAM CAPAIAN MAHKHLUK, AKAL DAN JISIM.
Sedangkan dlm SAINS boleh dibuktikan ADANYA TEMPAT YANG TIDAK DICAPAI OLEH AKAL,MAHKHLUK DAN JISIM.
Sama sprt SAINS hanya buktikan ADANYA TUHAN ESA, yg tidak dicapai oleh AKAL, MAHKHLUK DAN JISIM.
@@LingkungSeniSantriKalijaga No 3. Ini hanyalah KASALAHAN DAN TUDUHAN LIAR AKAL mu berkenaan ALLAH SWT DAN ARASY(TEMPATNYA)
Bagaimana dengan kata tsumma apakah memberi arti kemudian maka sblmnya arsy di kuasai oleh siapa? Tolong kasih pwnjelasan
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga jika Allah disandingkan dg kata tsumma, maka Allah telah masuk ke dalam lingkup waktu. Allah telah dibatasi oleh waktu sebelum dan waktu sesudah. Apakah alquran sedang tasybih thd Allah? Bagaimana kang filsafat menjelaskan agar tidak tasybih? Monggo kang filsafat
📚 *PARA ULAMA SALAF SEPAKAT bahwa ALLAH ISTAWA (berada tinggi) DI ATAS ARSY*
=========°
🌷Abu Bakr Al-Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al-Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An-Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al-Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata:
_"Allah Ta’ala berfirman,_
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
_“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”._
_"Para ulama _*_sepakat (berijmak)_*_ bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh."_
🌷Imam Adz-Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan:
_“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini._ _Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya _*_ijmak (kesepakatan ulama)_*_ mengenai masalah ini._ _Sebagaimana pula ijmak ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”_
Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-Ghaffar, hlm. 179. Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 194.
💦🌸💦🌸💦
8:43 udah dapat bukti nih... Buat yang ngerti yuk senyum senyum aja.
Istawa menjadi istaula itu apa dalilnya pak? Imam madzhab mana yg berpendapat begitu? Jangan bawa2 manhaj salaf
Wahabi pula ternyata kiyahi ini ya broooo... Ngotot pula
drimnanya wahabi
Coba dijelaskan donk pendapat 4 imam madzhab ttg sifat istiwa ALLAH....jgn cm ngomong itu pendapat mayoritas ulama salaf.....dalil2 shahih sudah jelas ALLAH diatas langit....kok ditakwil yg aneh2
www.kanglatif.com/2015/12/allah-ada-dimana-kajian-akidah-secara.html
mbulet
Maaf pak Ustadz, Allah mah di atas Arsy, dalilnya sangat kuat, imani aja pak ustadz ga usah ambulacung sana sini mencari pembenaran,
Kyk burung di atas pohon?
ngaji yg bener biar g begok
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga penyakitnya asyairah itu sama dg mu'tazilah, tanpa sadar mendewakan akal, meskipun lisan mereka ngakunya gak bermaksud demikian.
Agama itu ttg keimanan bukan ttg berfilsafat. Karena dzat Allah itu tidak bisa dicapai oleh akal (semuanya sepakat), sehingga seorang paling alim ulama pun tidak berhak sembarangan menolak makna bahasanya, sampai ada dalil penjelasan dari nabi dan para sahabat. Agama itu dari Allah dan Rasul Nya, bukan dari opini filsafat pribadi.
@@nikovn9
Seluruh Indonesia juga tau pelaku teror itu dari kalangan ente
Saya tidak sependapat dgn anda ustadz
Manhaj salaf? Hahahah
Banyak 'ehem nya wkwkwkwk
Istiwa ma lum hingga anak kecilnyapun tahu negara manakah itu?
Aliran sesat dr zaman ke zaman pasti akan tumbang bila berhdapan dengan ulama2 Aswaja NU... Apalgi baru sekte HAMA SAWAH(SALAFI WAHABI), nanti juga bakal tenggelam sendirinya... BARAOKALLAH NAHDLATUL 'ULAMA
Ketakutan ya
Bukan nya Allah sendiri yg berfirman dlm Al qur.an sesungguhNya Allah maha mendengar dan Maha melihat? Bukan nya sifat itu jg menyerupai sifat mahluk Nya? Jd ga setiap sma dlm kata sma pula dlm hakikat persoalan Allah di atas Arsy wlo pun itu bertempat biarkan krna Dia sendiri yg berfirman kita hanya wajib mengimani sja wlopun iya bertempat tp jgn sekali kali disamakan dg bertempat nya mahluk krn sesungguhnya Allah tidak menyerupai dan tidak diserupakan dg mahlukNya. Sedangkan kaefiyah atau bagaimana Allah diatas arsy pertanyaan dan penjelasan dlm hal itu hukum nya bahlul
Bersemayam itu kata kerja , bukan sifat. Sapi bersemayam di kandang , Punya mata tapi tidak sama dg manusia
Mrndengar dan melihat bagi Allah adalah wajib, tapi bagi makhluk ya tidak! Ada makhluk yg ditakdirkan tdk mempunyai pendengaran dan penglihatan. Ada manusia yg buta dan tuli sejak lahir. Tapi bertempat, oh tidak bisa! Karena bertempat itu tdk ada makna lain kecuali membutuhkan kepada tempat, dan Allah tdklah punya sifat membutuhkan. Apa anda berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat membutuhkan tapi sifat membutuhkannya berbeda dgn makhluk? Awas hati2 di sini!
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga mendengar dan melihat itu sifat makhluk juga. Apa takwil mendengar dan melihat?
Istawa takwilnya istaula. Istaula juga sifat makhluk, apa takwil sifat istaula?
Alkitab firman allah
Firman itu pencipta perkataan allah
Firman itu adalah allah
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﺋﻠﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺮﻭﺭﻳﺔ : ﺇﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﺳﺘﻮﻟﻰ ﻭﻣﻠﻚ ﻭﻗﻬﺮ، ﻭﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺟﺤﺪﻭﺍ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ، ﻭﺫﻫﺒﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺪﺭﺓ، ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻷﻧﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ، ﻭﺍﻷﺭﺽ ﺷﻲﺀ، ﻓﺎﻟﻠﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺸﻮﺵ .
ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﻮﻳﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍﻹﺳﺘﻴﻼﺀ، ﻟﺠﺎﺯ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ : ﻫﻮ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻛﻠﻬﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻋﻨﺪ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺘﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﻠﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺸﻮﺵ، ﻓﺒﻄﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ [ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ] : ﺍﻹﺳﺘﻴﻼﺀ .
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah, hal. 34-37 - melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
Pada menit 2:17 ustadz ini mengatakan imam Ahmad bin Hambal mentakwil sifat istiwa. Dan yang menjadi pertanyaan saya di kitab manakah imam Ahmad bin Hambal mentakwil sifat istiwa... Coba jelaskan terdapat di kitab mana perkataan tersebut ! Ini perkataan imam Ahmad bin Hanbal tentang istiwa. IMAM AHMAD BIN HAMBAL (tahun 164-241 H)
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar , hal. 176. Lihat pula
Mukhtashar Al ‘Uluw , hal. 189.
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﻪ ﺍﻻ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻪ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﻩ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﻜﻞ ﺷﻲﺀ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻼﻡ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺭﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﺻﻔﻪ ﻭﺳﻊ ﻛﺮﺳﻴﻪ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ
“ Apa makna firman Allah,
ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
“ Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. ” QS. Al Hadiid: 4
ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ
“ Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. ” QS. Al Mujadilah: 7
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﺂﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﺑﻜﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭ ﻻﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw , hal. 116
Abu Bakr Al Atsram mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
ﻛﻴﻒ ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
ﻫﻜﺬﺍ ﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ
“Begitu juga keyakinan kami.” Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
NU HARUS LEBIH RAJIN APLOAD TENTANG TAUHID FIKIH DAN LAIN2.. JANGAN MAU KALAH DENGAN WAHABI
Sebaiknya untuk mencari kebenaran bukan untuk kalah atau menang. Carilah kebenaran bukan kemenangan.
Dlm hal aqidah tdk ada perselisihan d kalangan generasi salaf
Alquran buatan dari bangsa arab dari manusia
Bukan dari tuhan kerna allah di arasy
Bukan di syurga
Itu kan kata lu
Ustadz mu aja masih pake laptop ko' mencela ustadz/dai lain yg pake laptop....
bingung dg penjelasan ustadz ini, coba ustadz kembali saja ke pemahaman para sahabat ya, bkn dasar yg dibicarakan oleh pemahaman berdasarkan logika. kalo pemahaman pendikut para sahabat sdh jelas ustadz, makanya tdk pd berselisih faham. Menerima dalil sesuai yg turun sesuai keagungan Alloh ta'ala dg pemahaman bhwa tdk ada yg semisal dg Nya, tp juga tanpa mentakwil krn tamsil itu berdasar logika bkn berdasar.pemahaman para.sahabat
jangan menilai Allah dengan cara penilaian terhadap Dzat bersifat materi. Sesuatu disebut materi apabila menempati ruang dan mempunyai massa (bentuk dan ukuran). Karena itu tidaklah srsuatu disebut materi, kecuali dia tersusun oleh susunan atom, sel dari yg terkecil sampai terbesar sampai mencapai batas bentuknya. Ketika materi itu sudah mencapai batas bentuknya, maka otomatis perlu wadah untuk menampung wujud material tersebut, wadah tersebut adalah tempat.
Karakter dzat Allah disebutkan dalam dua ayat ; Q.S. Asy-Syura (42): 11 ; Laisakamitslihi syai ; tiada satu pun yang serupa dengan-Nya.... dan surat Al-Ikhlas (112) : 4 ; walamyakunlahu kufuwan ahad ; tiada satu pun yang sebanding dengan-Nya.
Sedangkan dzat bersifat materi, sangat banyak bandingannya dan sangat banyak yg saling menyerupai satu sama lain. Kan Dzat Allah tidak serupa dan tdk sebanding dengan apa pun. Maka jelas dzat Allah bukan materi!
Karena itu dalam penjelasan saya sering berkata, "Janganlah anda menilai dzat Allah dengan pemahaman terhadap materi!" Balik lagi ke syarat materi yaitu harus mempunyai massa dan menempati ruang. Berdasarkan dua ayat tadi,Allah tidaklah demikian!
Maka bila ada ayat yg menyebut, 'Arrahmanu'alal 'arsyistawa...' bukan bermakna Allah menempati Arsy nongkrong di sana apalagi duduk seperti raja duduk di singgasana!
Bila ada ayat berbunyi, "wahuama'akum ainama kuntum ; Dia bersamamu di manapun kamu berada," Bukan bermakna Allah ngikut kita ke mana kita pergi, merangkul kita kaya rangkulan sobat kita.
Ada hadis yang artinya, "Allah turun ke langit dunia saat sepertiga malam....", bukan bermakna pindah dari atas ke bawah seperti berpindahnya makhluk. Tapi itu semua hanyalah perbuatan-Nya, kehendak-Nya yang kita takkan pernah tau bagaimana caranya.
Ini hanya sebuah pengandaian bukan tuduhan ;
Kalau anda bilang Allah bertempat tapi tempat-Nya tdk sama dengan tempat makhluk maka sama halnya anda bilang "Dzat Allah adalah materi tapi materi-Nya tdk sama dengan materi makhluk...". Tahukah anda bila anda bilang demikian maka konsekuensinya ;
1. Anda adalah golongan mujassimah. Karena Mujassimah berkata Dzat Allah itu adalah jism (materi) tapi tdk sama dengan jism makhluk. Apa anda tdk tahu bahwa seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa Mujassimah adalah aliran sesat?
2. Anda membenarkan aqidah Nasrani, bahwa Allah beranak tapi tdk sama dengan beranaknya makhluk. Beranak adalah salah satu ciri khas materi, selain bertempat. Anak itu lahir dari gabungan sel yang mana sel adalah penyusun materi.
Bila kita mengikuti Nabi dan sahabat maka kita tidak boleh mengatakan Allah dapat menempati ciptaan-Nya. Sebab bila demikian maka konsekuensinya ;
1. Menghilangkan sifat Ahad pada Allah. Ahad berarti hanya ada Dia sendiri tanpa sekutu, tanpa apa pun termasuk tempat, istri dan anak. Bila bertempat, hilanglah sifat ahad ini.
2. Bertempat adalah perbuatan jism. Sementara salafi juga mengakui Allah bukan jism. Mengatakan Allah berjism adalah perbuatan kaum mujassimah dan semua sepakat mujassimah adalah sesat.
3. Allah menempati ciptaan-Nya juga berkonsekuensi menjadikan-Nya bersatu dengan tempat dan jasad, dan inilah paham wihdatul wujud seperti yg dianut Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sementara semua sepakat bahwa wihdatul wujud adalah paham sesat sebagaimana halnya mujassimah.
Awas hati2!
@@LingkungSeniSantriKalijaga berarti Allah memiliki sifat bukan materi. Dalilnya?
Mantap