EMPAT LARANGAN HIDUP, Video YTC Seri Ke-70

Поділитися
Вставка
  • Опубліковано 3 сер 2021
  • • EMPAT LARANGAN HIDUP, ...
    EMPAT LARANGAN HIDUP
    #Empat
    #Larangan
    #HidupBahagia
    Dalam kitab Slokantara disebutkan bahwa terdapat empat larangan hidup yang tidak patut dilakukan oleh setiap insan. Empat larangan hidup itu adalah caci maki, bualan kosong, janji-janji palsu, dan nafsu yang tidak kenal batas. Larangan yang pertama disebut Wada berarti ucapan atau kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh orang-orang bijaksana. Insan yang sedang diberikan amanah memimpin, maka hendaknya dilarang mengeluarkan kata-kata yang dapat menimbulkan perselisihan, permusuhan dan perasaan tidak menyenangkan. Kata-kata dan pilihan diksi dapat juga mencerminkan kualitas diri. Jadi Wada juga berarti kemampuan mengontrol diri dalam situasi apapun agar senantiasa mampu menjaga kata-kata dan ucapan. Dalam kitab Nitisastra IV.3 juga dinyatakan: “Wasita nimittanta manemu laksmi, wasita nimittanta pati kapangguh, wasita nimittanta manemu duhkha, wasita nimittanta manemu mitra”, yang artinya karena kata-kata engkau mendapat kebahagiaan, karena kata-kata engkau menemukan ajal, karena kata-kata engkau menderita nestapa, dan karena kata-kata engkau mendapat kawan. Juga ditegaskan dalam kitab Nitisastra III.10 bahwa perbawa Bhatara Wisnu itu sejuk melebihi kesejukan sinar bulan. Walaupun demikian, kata-kata orang budiman itu melebihi dua kali lipat kesejukannya. Panas api menyala itu melebihi panas matahari di dunia ini, tetapi kata-kata orang marah dan jahat itu dua kali lipat melebihi kepanasan api itu”.
    Larangan yang kedua adalah Bahuwakya, artinya orang yang suka membual. Pembual adalah orang yang suka bicara semaunya sendiri, seperti halnya orang menghayal, agar orang lain tertarik untuk mendengarkan, tetapi semua yang dikatakannya tidak ada realitanya, yang dikatakannya tidak didasarkan atas pertimbangan dan analisis baik-buruk, peluang-tantangan, melainkan hanya pepesan kosong. Jika pemimpin suka membual, jika kita semua yang sedang menjadi pemimpin minimal pemimpin bagi keluarga suka membuat, maka keluarga itu akan rusak dan institusi yang sedang dipimpinnya akan rusak. Itu sebabnya dalam kitab Slokantara dinyatakan jika kita ingin menjadi insan yang bijaksana, hindari perbuatan membual.
    Larangan yang ketiga itu adalah Wacanapunah-punah, artinya janji palsu. Jika pada Bahuwakya itu seseorang dilarang membual, ngomongnya gede-gede, tetapi tiada menjadi nyata, maka pada kata Wacanapunah-punah lebih diartikan dengan janji palsu. Setiap insan, terlebih lagi pemimpin dilarang membuat janji palsu yang dikeluarga dengan sadar, tetapi tidak pernah diingat apalagi dipenuhi. Orang bijaksana dilarang membuat janji palsu. Larangan ini menjadi amat penting dalam tradisi Hindu, sehingga setiap orang yang meninggal selalu ada kata-kata: “jika sang palatra ada hutang dan atau janji yang belum dibayar, maka hubungi keuarga”. Maksudnya sangat jelas bahwa setiap orang tidak boleh berbohong dan atau membuat janji palsu atau Wacanapunah-punah. Jika dikaitkan dengan dengan panca satya, maka Wacanapunah-punah adalah pemimpin yang tidak satya terhadap janji, tidak satyawacana, dan itu merefleksikan dirinya tidak setya herdaya tidak setia pada dirinyan sendiri.
    Larangan yang keempat sebagaimana dinyatakan dalam kitab Slokantara adalah Jnanagamya yang artinya seorang pemimpin/raja dilarang yang terlalu banyak memenuhi hawa nafsu tanpa pertimbangan. Nafsu yang dimaksud tentu berkaitan dengan 3T, yaitu tahTa, harTa, dan waniTa. Seorang pemimpin seharusnya konsentrasi terhadap tugas yang sedang dijalankannya, tidak mendua, tidak berfikir lain-lain selain tugas pokoknya. Pemimpin tidak dalam rangka mengumpulkan harta, walau kita tahu bahwa harta itu penting. Seorang pemimpin harus bekerja sebaik-baiknya, karena hasil pasti akan datang dari segala penjuru. Sloka ini menegaskan seorang pemimpin bukan bertujuan mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dari kedudukannya, melainkan melalui kedudukannya itu ia berbuat sebaik-baiknya dengan keyakinan bahwa merta utama akan datang dari segala penjuru. Jnanagamya juga berarti seorang pemimpin tidak boleh terlalu ambisius, terlebih mengabaikan pertimbangan-pertimbangan rasional dan kemampuan. Pemimpin sesungguhnya menjalankan kehendak bersama, bukan memenuhi keinginan pribadi. Ide boleh saja berasal dari pemimpin, tetapi tetap disosialisasikan dan dibicarakan bersama sebagai proses agar kegiatan yang dilaksanakan menjadi tanggungjawab bersama. Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada UA-cam, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
    Subscribe untuk mendapatkan video-video terbaru
    ua-cam.com/channels/B5R.html
    Facebook:
    yudhatriguna
    Instagram:
    / yudhatrigunachannel
    Website:
    www.yudhatriguna.com

КОМЕНТАРІ • 68