saya juga dosen yg aktivitasnya mengajar dan meneliti. Menurut saya tantangan terbesarnya sebenarnya dosen-dosen yg bertugas di luar pulau jawa, di kampus-kampus kecil di luar sana. Kalau dosen yg bertugas di kampus-kampus besar seperti ITB, IPB, dan lainnya, mungkin sepertiga dari masalah dosen sebenarnya sudah teratasi, karena kualitas inputan yaitu mahasiswa di kampus-kampus itu sudah bagus, sehingga lebih mudah membinanya. Ini berbeda sekali dengan mahasiswa-mahasiswa di daerah yang minat dan keingintahuannya kecil, sehingga perlu pendekatan lain yg harus dicarikan solusinya. Untuk soal penelitian juga sama, walau tiap semester meneliti namun jalannya mungkin sangat lambat karena berbagai hambatan dan tantangan. Meski demikian, saya lebih suka tinggal di indonesia dengan dinamika dan budayanya, ketimbang di Taiwan dimana saya telah menghabiskan 10 tahun umur saya. Poin saya, saya setuju bahwa pendidikan dan penelitian kita di Indonesia tidak perlu lah digembar gemborkan lemah, jelek, kurang, dan sebagainya. Mungkin kita saja yg perlu beradaptasi, mengubah perspektif guna mencari peluang untuk mengubah kelemahan tersebut menjadi kekuatan.
Saya kebetulan mengajar di SMP dan SMK, di desa. Jujur saja, resah sebenarnya saya melihat kondisi pendidikan kita saat ini ; dari mulai kualitas si anak yang menurut penilaian saya sangat rendah sekali rasa ingin tahunya. Tapi saya juga akui bahwa saya belum termasuk pendidik yang baik, sampe saat inipun masih meraba raba teknik KBM seperti apa yang bisa saya aplikasikan ke siswa. Ditempat lain ; para orang tua siswa tersebut menyerahkan total anaknya pada sekolah, dirumahnya banyak yang abai. Dikurikulum juga banyak duri, dari mulai KKM yang menurut saya gak guna, dll. Masalahnya kompleks, tak bisa dilihat dari satu sisi ; kurikulum, gaji guru, latar belakang siswa, kondisi ekonomi keluarganya, dll. Saya bukan pakar, bingung, ini sudah jadi benang kusut yang tak tahu ujung pangkalnya
Sekedar saran, daripada panjenengan bingung gak jelas mikirin solusi bagi masalah purba yang model begituan (sudah amat sangat terlambat), alangkah baiknya panjenengan mulai mempersiapkan sekoci pribadi dalam mengarungi cita-cita emas 2045 (transformasi digital) ini. Sehingga suatu saat di masa depan ketika bahtera reyot yang perlahan mulai karam ini benar-benar tenggelam ke dasar samudra mahaluas yang bernama 'The Fifth Domain', panjenengan tidak ikut menjadi korban (tumbal) dari kebodohan para awaknya. 🤭
Saya juga sempat mengalami kebingungan dengan kegiatan KBM. Saya yang bukan lulusan Sarjana Pendidikan & sempat 2 tahun mengajar produktif TKJ dari TA 2019 di SMK swasta daerah pedesaan. Pas Covid-19 itu wah. Mengalami penurunan minat belajar siswa/i yang drastis, orang tua siswa/i komplain (karena sudah beranggapan bahwa mereka menitipkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada para pihak sekolah termasuk guru), juga karena daerah pedesaan yang mayoritas petani alih-alih bersekolah beberapa siswi-siswinya lebih memilih nikah dini, & saya juga sebagai wali kelasnya. Terlepas dari masalah honor atau keuangan. Sampai sekarang saya masih merasa telah menjadi sosok guru yang gagal. Sampai akhirnya lebih memilih menjadi seorang programmer yang terbiasa menyendiri.
@@HadiK-IT semoga sukses dijalur programmernya bang. Saya nuga selain ngajar honor jualan produk digital sampingannya. Abang gak gagal, kita ini korban dr sistem bobrok yang sudah kaya lingkaran setan.
Banyak institusi dan individu yang bekerja keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian di negara ini.yang penting kritik yang membangun, dan mengapa mereka mengkritik karena alasan cinta bangsa dan negara serta peduli terhadap pendidikan di negara tercinta. gak harus seperti negara maju tetapi jadilah indonesia dengan jati dirinya.
saya dpt info salah satu peneliti di indonesia sbg dosen univ. LN, dapat funding 1T lebih dari US untuk penelitian politik dan kebudayaan indonesia. menurut saya artinya ada bbrp porsi atau segmen di indonesia yg kita memang dihargai atau dicari ilmunya disini. gak semuanya jelek, kesempatan selalu ada
saya pernah dengar juga soal ini (soal indonesia adalah "ladang" utk penelitian terkait politik). banyak orang luar negeri yang tertarik bagaimana sistem perpolitikan kita, dilihat dalam konteks science. Orang luar negeri misalnya "takjub" bagaimana seorang prabowo dan jokowi yg tadinya "bermusuhan" secara politik namun akhirnya menjadi satu kubu. Soal lain, Indonesia juga sebenarnya "ladang" utk penelitian obat/tumbuh-tumbuhan.
Terkadang merasa seram, iba, sekaligus tergelitik membayangkan masa depan negara-negara dunia ketiga yang hanya memiliki *SDA dan DATA* dalam menyongsong *TRANSFORMASI DIGITAL* dengan segala keterbatasan (ketiadaan?) sumber daya yang mumpuni *(SDM dan INFRASTRUKTUR).* Mari kita doakan bersama, semoga saja mereka tidak hanya berakhir (dimanfaatkan) sebagai kuli pengepul dan pemasok data (secara tidak sadar dan tidak langsung) oleh organisasi-organisasi raksasa pemilik *sumber daya "tak terhingga",* seperti: Big Tech, DARPA, IARPA, NSA, dlsb. 😬
Sudah, jangan gaduh! Untuk researchers dan diaspora, tenanglah berkarir di sana, nggak usah banyak pikiran atau marah-marah tentang Indonesia. Nanti malah jadi hipertensi, migran, atau bahkan stroke. Rasionalitas kalian nggak akan pernah mampu mencerna situasi di Indonesia. Kalian sudah "berbeda" sekarang. Lebih baik kalian stay focus di sana, dan tidak perlu pulang. Jika ditawari menjadi permanent resident, terima saja. Mungkin kelak, generasi kedua atau ketiga dari kalian, akan meraih nobel, jadi pejabat, politikus, atau jadi apalah di sana, itu malah akan lebih dibangga-banggakan oleh masyarakat Indonesia. Untuk dosen dan peneliti, tidak perlu gusar dengar "ocehan" dari orang-orang yang sudah "berbeda" itu. Santai saja, nggak perlu terburu-buru untuk berubah. Belanda masih jauh. Yang penting, niat untuk berubah jadi lebih baik sudah ada, itu sudah lebih dari cukup. Perubahan itu memang perlu waktu yang lama, semua orang sangat paham itu. Jadi, jangan kecil hati ya, tetap semangat! Jika dibutuhkan waktu 100 tahun untuk berubah, ya memang seperti itu faktanya, mau bagaimana lagi, ya kan? Yang penting semua orang sudah melihat niat kalian untuk berubah, itu sudah cukup. Sudah ya, jangan gaduh lagi. Damai saja, dunia saat ini sudah terlalu banyak kegaduhan.
Barangkali yang bersangkutan sedang membandingkan antara institusi-institusi penelitian di negara-negara dunia ketiga dengan institusi selevel *IAS (Institute for Advanced Study) at Princeton,* yang dihuni oleh para *ilmuwan* terbaik dunia (Fields, Chern, Abacus, Abel, Gauss, Gödel, Turing, Nobel winner, dst.). Sampai kiamat juga gak bakalan ketemu. 🤭
Menurut saya lebih baik disebutkan saja pak contoh komentar-komentar yang anda anggap kurang tepat atau menjelekkan itu. Bukan ngungkit kesalahan orang tapi supaya jelas framework pembahasannya. Ngomongnya apa, salahnya dimana, menurut bapak seperti apa, sehingga yang nonton lebih relate.
nanti kena UU ITE, perbuatan yang tidak menyenangkan. he he he. ada banyak juga yang komentar2 bukan di dunia maya tapi di real world. hi hi hi. (dunia penelitian di Indonesia memang sedang sakit.)
sudah beberapa minggu ini cappuccino lho. pasti gak menyimak ya. ha ha ha. gpp sih. ini karena ada mesinnya (meskipun masih manual dan mesinnya kurang bagus tapi lumayan lah). dan kebetulan ada kopi yang bagusnya memang untuk cappuccino. kalau dibuat hitam saja "terlalu nendang". hi hi hi. yang kopi hitam (V60) tidak tervideokan. masih ngopi hitam juga.
saya juga dosen yg aktivitasnya mengajar dan meneliti. Menurut saya tantangan terbesarnya sebenarnya dosen-dosen yg bertugas di luar pulau jawa, di kampus-kampus kecil di luar sana. Kalau dosen yg bertugas di kampus-kampus besar seperti ITB, IPB, dan lainnya, mungkin sepertiga dari masalah dosen sebenarnya sudah teratasi, karena kualitas inputan yaitu mahasiswa di kampus-kampus itu sudah bagus, sehingga lebih mudah membinanya. Ini berbeda sekali dengan mahasiswa-mahasiswa di daerah yang minat dan keingintahuannya kecil, sehingga perlu pendekatan lain yg harus dicarikan solusinya. Untuk soal penelitian juga sama, walau tiap semester meneliti namun jalannya mungkin sangat lambat karena berbagai hambatan dan tantangan. Meski demikian, saya lebih suka tinggal di indonesia dengan dinamika dan budayanya, ketimbang di Taiwan dimana saya telah menghabiskan 10 tahun umur saya. Poin saya, saya setuju bahwa pendidikan dan penelitian kita di Indonesia tidak perlu lah digembar gemborkan lemah, jelek, kurang, dan sebagainya. Mungkin kita saja yg perlu beradaptasi, mengubah perspektif guna mencari peluang untuk mengubah kelemahan tersebut menjadi kekuatan.
Tidak ada visi menjadi pionir.
Teruslah berjuang dan berinovasi, karena setiap langkah kecil menuju perbaikan sangat berarti.
Saya kebetulan mengajar di SMP dan SMK, di desa. Jujur saja, resah sebenarnya saya melihat kondisi pendidikan kita saat ini ; dari mulai kualitas si anak yang menurut penilaian saya sangat rendah sekali rasa ingin tahunya. Tapi saya juga akui bahwa saya belum termasuk pendidik yang baik, sampe saat inipun masih meraba raba teknik KBM seperti apa yang bisa saya aplikasikan ke siswa. Ditempat lain ; para orang tua siswa tersebut menyerahkan total anaknya pada sekolah, dirumahnya banyak yang abai.
Dikurikulum juga banyak duri, dari mulai KKM yang menurut saya gak guna, dll.
Masalahnya kompleks, tak bisa dilihat dari satu sisi ; kurikulum, gaji guru, latar belakang siswa, kondisi ekonomi keluarganya, dll. Saya bukan pakar, bingung, ini sudah jadi benang kusut yang tak tahu ujung pangkalnya
Sekedar saran, daripada panjenengan bingung gak jelas mikirin solusi bagi masalah purba yang model begituan (sudah amat sangat terlambat), alangkah baiknya panjenengan mulai mempersiapkan sekoci pribadi dalam mengarungi cita-cita emas 2045 (transformasi digital) ini.
Sehingga suatu saat di masa depan ketika bahtera reyot yang perlahan mulai karam ini benar-benar tenggelam ke dasar samudra mahaluas yang bernama 'The Fifth Domain', panjenengan tidak ikut menjadi korban (tumbal) dari kebodohan para awaknya. 🤭
Saya juga sempat mengalami kebingungan dengan kegiatan KBM.
Saya yang bukan lulusan Sarjana Pendidikan & sempat 2 tahun mengajar produktif TKJ dari TA 2019 di SMK swasta daerah pedesaan.
Pas Covid-19 itu wah. Mengalami penurunan minat belajar siswa/i yang drastis, orang tua siswa/i komplain (karena sudah beranggapan bahwa mereka menitipkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada para pihak sekolah termasuk guru), juga karena daerah pedesaan yang mayoritas petani alih-alih bersekolah beberapa siswi-siswinya lebih memilih nikah dini, & saya juga sebagai wali kelasnya.
Terlepas dari masalah honor atau keuangan. Sampai sekarang saya masih merasa telah menjadi sosok guru yang gagal.
Sampai akhirnya lebih memilih menjadi seorang programmer yang terbiasa menyendiri.
@@AlgoNudger maksudnya selametin diri sendiri aja gitu bang?
@@HadiK-IT semoga sukses dijalur programmernya bang. Saya nuga selain ngajar honor jualan produk digital sampingannya. Abang gak gagal, kita ini korban dr sistem bobrok yang sudah kaya lingkaran setan.
Teruslah berusaha dan jangan ragu untuk mencari dukungan dari rekan-rekan sejawat dan komunitas pendidikan.
Banyak institusi dan individu yang bekerja keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian di negara ini.yang penting kritik yang membangun, dan mengapa mereka mengkritik karena alasan cinta bangsa dan negara serta peduli terhadap pendidikan di negara tercinta. gak harus seperti negara maju tetapi jadilah indonesia dengan jati dirinya.
saya dpt info salah satu peneliti di indonesia sbg dosen univ. LN, dapat funding 1T lebih dari US untuk penelitian politik dan kebudayaan indonesia. menurut saya artinya ada bbrp porsi atau segmen di indonesia yg kita memang dihargai atau dicari ilmunya disini. gak semuanya jelek, kesempatan selalu ada
saya pernah dengar juga soal ini (soal indonesia adalah "ladang" utk penelitian terkait politik). banyak orang luar negeri yang tertarik bagaimana sistem perpolitikan kita, dilihat dalam konteks science. Orang luar negeri misalnya "takjub" bagaimana seorang prabowo dan jokowi yg tadinya "bermusuhan" secara politik namun akhirnya menjadi satu kubu. Soal lain, Indonesia juga sebenarnya "ladang" utk penelitian obat/tumbuh-tumbuhan.
Terkadang merasa seram, iba, sekaligus tergelitik membayangkan masa depan negara-negara dunia ketiga yang hanya memiliki *SDA dan DATA* dalam menyongsong *TRANSFORMASI DIGITAL* dengan segala keterbatasan (ketiadaan?) sumber daya yang mumpuni *(SDM dan INFRASTRUKTUR).*
Mari kita doakan bersama, semoga saja mereka tidak hanya berakhir (dimanfaatkan) sebagai kuli pengepul dan pemasok data (secara tidak sadar dan tidak langsung) oleh organisasi-organisasi raksasa pemilik *sumber daya "tak terhingga",* seperti: Big Tech, DARPA, IARPA, NSA, dlsb. 😬
Sudah, jangan gaduh!
Untuk researchers dan diaspora, tenanglah berkarir di sana, nggak usah banyak pikiran atau marah-marah tentang Indonesia. Nanti malah jadi hipertensi, migran, atau bahkan stroke. Rasionalitas kalian nggak akan pernah mampu mencerna situasi di Indonesia. Kalian sudah "berbeda" sekarang. Lebih baik kalian stay focus di sana, dan tidak perlu pulang. Jika ditawari menjadi permanent resident, terima saja. Mungkin kelak, generasi kedua atau ketiga dari kalian, akan meraih nobel, jadi pejabat, politikus, atau jadi apalah di sana, itu malah akan lebih dibangga-banggakan oleh masyarakat Indonesia.
Untuk dosen dan peneliti, tidak perlu gusar dengar "ocehan" dari orang-orang yang sudah "berbeda" itu. Santai saja, nggak perlu terburu-buru untuk berubah. Belanda masih jauh. Yang penting, niat untuk berubah jadi lebih baik sudah ada, itu sudah lebih dari cukup. Perubahan itu memang perlu waktu yang lama, semua orang sangat paham itu. Jadi, jangan kecil hati ya, tetap semangat! Jika dibutuhkan waktu 100 tahun untuk berubah, ya memang seperti itu faktanya, mau bagaimana lagi, ya kan? Yang penting semua orang sudah melihat niat kalian untuk berubah, itu sudah cukup.
Sudah ya, jangan gaduh lagi. Damai saja, dunia saat ini sudah terlalu banyak kegaduhan.
Waduh! Ngeri amat pemahaman anda (Belanda masih jauh dan 100 tahun untuk berubah). 🤭
Keburu jadi perkedel, Pak! 😂
Barangkali yang bersangkutan sedang membandingkan antara institusi-institusi penelitian di negara-negara dunia ketiga dengan institusi selevel *IAS (Institute for Advanced Study) at Princeton,* yang dihuni oleh para *ilmuwan* terbaik dunia (Fields, Chern, Abacus, Abel, Gauss, Gödel, Turing, Nobel winner, dst.).
Sampai kiamat juga gak bakalan ketemu. 🤭
nah ini banget. he he he.
@@rahardaya-aya wae, Pak. 😂
setiap negara memiliki konteks dan tantangan yang berbeda.
otw tag bg bagus muljadi dkk
agar terjadi diskusi baik nantinya
Knp??
Bagus saja, bisa memperkaya pemahaman saya. Saya belum melihat beliau menjelek-jelekan, paling hanya as it is.
Menurut saya lebih baik disebutkan saja pak contoh komentar-komentar yang anda anggap kurang tepat atau menjelekkan itu. Bukan ngungkit kesalahan orang tapi supaya jelas framework pembahasannya. Ngomongnya apa, salahnya dimana, menurut bapak seperti apa, sehingga yang nonton lebih relate.
nanti kena UU ITE, perbuatan yang tidak menyenangkan. he he he. ada banyak juga yang komentar2 bukan di dunia maya tapi di real world. hi hi hi. (dunia penelitian di Indonesia memang sedang sakit.)
pak Budi... punya ceritera penelitian2 (dan pendidikan) di negeri Tiongkok kah? 🤔
ikutin channelnya pak Hora saja. dia dulu ngajar dan meneliti di sana.
ua-cam.com/video/UfD1m_LzhQ8/v-deo.html
terimakasih. 🙏
Eh tumben cappucino, Pak
sudah beberapa minggu ini cappuccino lho. pasti gak menyimak ya. ha ha ha. gpp sih. ini karena ada mesinnya (meskipun masih manual dan mesinnya kurang bagus tapi lumayan lah). dan kebetulan ada kopi yang bagusnya memang untuk cappuccino. kalau dibuat hitam saja "terlalu nendang". hi hi hi.
yang kopi hitam (V60) tidak tervideokan. masih ngopi hitam juga.
pak ngerekam videonya pakai apa ?
ini kayaknya harus dibuatkan video tersendiri ya? hi hi hi. pakai webcam logitech biasa saja. yang bagus adalah microphone-nya
@@rahard boleh pak dibuatkan videonya hihi , makasih pak
🇮🇩N.K.R.I🇮🇩
yang rusak itu birokrasinya, contohnya guru honorer
Birokrasi memang sering menjadi tantangan besar dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan.