Misalkan Kita di Sarajevo karya Goenawan Mohamad | Mohamad Fajar Ramadan
Вставка
- Опубліковано 18 гру 2020
- Pembaca Puisi : Mohamad Fajar
Pembimbing : IS
Penata Musik : Mahesa Elgasani, Caesario Mahesa
Dokumentasi : Fahad Alfaj
Puisi yang saya tampilkan merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa genting semacam pandemi Covid. Puisi Misalkan Kita di Sarajevo karya Goenawan Mohamad menjadi selaras dengan keadaan pandemi sekarang, karena mengirim siapa pun pembaca atau penonton dalam video ini pada keadaan sublim saat menghadapi keadaan Sarajevo di masa perang saudara. Puisi ini pun selaras ditengah gonjang-ganjing permasalahan yang terjadi di Indonesia. Antara ketakutan akan pandemi serta ketakutan akan pecahnya negeri ini. Dengan konteks demikian, tayangan video pembacaan puisi ini hadir untuk menanggapi segala permasalahan yang hadir.
Misalkan Kita di Sarajevo
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
1994
#fbsuny #universitasnegeriyogyakarta #kreatifhadapipandemi
Nanjeur!
Semangaattt...kita selalu mendukung muu...
Pembacaan puisinya menggugah ♥️
Keren.. Semangattt
Mantap banget, Fajar! 🤩
Semangat, Fajar. 👍🏻💪🏻
Mantapss kakak👏👍
keren, semangat kang fajar🔥
Cakeeeep. Semangaaatt
Semangat qaqaaa
Inspiratif sekali
Bisa gitu ya... mantep
Khas, rempahnya terasa 😁
Sebagai pembaca GM yg tekun (sampai puisi2nya juga ada nafas GM). Si pembaca puisi ini, Fajar Ramadan, alias Maskot, alias Fajar Kliwon kayaknya udh gak bermasalah lagi dengan puisi ini. Bosnia dalam hadapan
c