NGAJI KITAB AMTSAL WAL HIKAM (12) - IMAM ABU HASAN AL-MAWARDI - Prof. Machasin

Поділитися
Вставка
  • Опубліковано 24 тра 2021
  • NGAJI KITAB AMTSAL WAL HIKAM (12) - IMAM ABU HASAN AL-MAWARDI - Prof. Machasin
    Sistem pemerintahan islam dimulai sejak datangnya Muhammad SAW menyeru ummat kepada agama terakhir ini di Madinah. Akibat dari perkembangan penganut islam yang bertransformasi menjadi kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode mekkah dibawah kendala nabi Muhammad SAW. Pemerintahan islam dalam sejarah mencatat diawali dengan kepemerintahan nabi Muhammad SAW hingga runtuh nya dinasti Turki Usmani yang mana ditengah-tengah masa tersebut islam mengalami kejayaan yang sangat tak tertandingi, yaitu dimasa dinasti Abbasiyah.
    Al Mawardi hidup pada abad pertengahan dimana situasi politik pada zaman tersebut sangatlah tidak stabil dan mengarah pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah telah melahirkan sebuah konsep sistem pemerintahan yang didasarkan realitas politik pada zamannya. Dalam bukunya al-ahkam al-sulthaniyah tertulis teori yang dipakai mengenai kontrak social yang menjelaskan hubungan antara ahl al-halli wa al-aqdi dengan ahl al-imamah dan menjadi konsep dasar bagi perkembangan pemikiran politik dan penerapannya di era modern.
    Konsep tersebut kekudian dikembangkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia menjadi 3 lembaga, yaitu Lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif.
    Abu Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib Al Mawardi lahir pada tahun 364 H adalah seorang ahli fikih, hadist dan politikus muslim. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab syafi'ie pada abad ke 10 dan pejabat tinggi yang berpengaruh besar dalam pemerintahan Abbasiyah. Ia juga seorang fakih madzhab syafi'ie yang menaruh perhatian penuh terhadap pembahasan tentang imamah dan khilafah sebagai suatu sistem politik. Karena sejak kecil al mawardi sangat suka mendalami fikh yang berkaitan dengan fikih siyasi.
    Darinya ia menjadi hakim terkenal pada masa pemerintahan al-Qadir (381 H/991 M-423 H/1031 M) dan meniggal ketika ia menjadi hakim agung (kembali menetap di Baghdad), penasehat raja dibidang agama dan pemerintahan.
    Pemikiran al-Mawardi dapat tentang sistem pemerintahan islam dapat ditelaah dari beberapa karya tulisnya dalam dalam bidang politik. Karyanya lengkap memuat tentang pokok-pokok kenegaraan dan kepemerintahan seperti jabatan khalifah, syarat-syarat agar dapat diangkat sebagai khalifah, pengangkatan para pembantunya (baik pemerintahan pusat maupun daerah) dari pengangkatan perangkat lain pemerintahan serta fungsi dan tugasnya.
    Al-Mawardi berijtihad dan menyusun sebuah kerangka politik tentang apa yang harus dilakukan dalam suatu pemerintah, seperti ketentuan pokok dalam pengangkatan seorang khalifah, tugas-tugas khalifah dan pejabat negara, dan hubungan negara dengan rakyat.
    Pokok-pokok pemikiran politik dan pemerintahan islam dalam pandangan al-Mawardi :
    Konsep sebuah kenegaraan
    Dalam pandangan al-Mawardi, politik negara diperlukan 6 sendi utama, yaitu :
    Agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral karena agama dapat mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia
    Penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dijadikan teladan, dengan sifat-sifat tersebut seorang penguasa dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, membina negara untuk mencapai tujuan luhur, menjaga agama agar dihayati serta diamalkan dan melindungi rakyat, kekayaan dan kehormatan negara.
    Keadilan yang menyeluruh
    Kesuburan bumi (tanah)
    Harapan kelangsungan hidup
    Keamanan yang merata
    Sistem pemerintahan
    Sistem pemerintahan menurutnya didasari oleh teori politik nya atas dasar kenyataan yang ada kemudian secara realistic menawarkan saran-saran dan perbaikan (reformasi) seperti mempertahankan status quo.
    Konsep imamah
    Menurut al-Mawardi imamah adalah jabatan politis keagamaan. Imam merupakan pengganti nabi yang bertugas menegakkan agama dan mengatur politik islam. Dengan demikian konteks pemimpin menurutnya adalah pemimpin negara (politik) dan pemimpin agama. Sedangkan dasar-dasar imamah, al-Mawardi melakukan dengan cara majelis syura (pemufakatan) dan baiat (persetujuan dan pengakuan umat).
    Mekanisme pemilihan dan pengangkatan imam
    Al-Mawardi melakukan cara pemilihan pemimpin dengan dua pola, yaitu pemilihan yang dilakukan oleh ahl al-halli wa al-aqdi dan penunjukkan atau wasiat dari imam, khalifah maupun raja sebelumnya. Dalam konteks ini al-Mawardi mengatakan bahwa diperlukan dua hal, yaitu ahl al-ikhtiar dan ahl al-imamah. Syarat menjadi ahl al-ikhtiar adalah adil, cerdas, ilmu pengetahuan, memiliki wawasan yang luas dan memiliki kearifan dalam memilih imam dan mampu untuk mengelola kepentingan umat diantara mereka.
    Sedangkan syarat menjadi ahl al-imamah menurut al-Mawardi adalah adil, berilmu dan paham dalam berijtihad dibidang hukum dan pengelolaannya, sehat mental, fisik, berwawasan luas, memiliki keberanian dan ketegasan untuk melindungi umat menumpas musuh. Dan merupakan keturunan Quraisy.

КОМЕНТАРІ •