Huang Ie Tjoe .. raja gula Hindia Belanda yang punya aset 3 juta Gulden,yang punya property premium di pulau Guilang tsb pada th 1919 ..mungkin partner bisnis atau kerabat Oei Tiong Ham. Perusahaan OTH pada waktu itu saat didirikan sudah profesional memakai sistem manajemen Barat tidak mengenal kekerabatan. Secara marga Oei sama dengan marga Huang (Hokian).
Madame Wellington Koo atau Oei Hui Lan ialah anak dari Raja gula Semarang yang sangat terkenal, yaitu Oei Tiong Ham. Kekayaan yang tidak ada habisnya dari ayahnya ternyata tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan padanya. Hidup serba berkelimpahan di istananya di Semarang-Indonesia di masa pemerintahan Hindia Belanda, melewatkan masa mudanya di Paris, London, Amerika, hingga China saat berkeluarga, menjadi socialita terpandang di kaum elit Eropa, menjadi istri Wellington Koo, orang nomor dua di China saat itu ternyata juga tidak juga bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadanya. Dilahirkan sebagai anak kedua dari istri sah Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan seolah menggenggam dunia dalam tangannya. Ayahnya yang kaya raya selalu memanjakannya dengan memberi apapun yang Ia inginkan, bahkan sampai membuatkan kebun binatang di istananya (istana mereka hingga saat ini masih ada di Semarang, namun sudah menjadi sebuah universitas swasta). Akan tetapi, tidak demikian dengan ibunya. Ibunya lebih menyayangi kakakanya, Oei Tjong Lan, dan lebih suka berfoya-foya membelanjakan uang ayahnya untuk membeli permata, berlian, emas, perhiasan mewah, dan baju-baju mahal hingga ke luar negeri demi menutupi kesedihannya akan kebiasaan buruk ayahnya yang memiliki banyak selir dan anak di luar nikah. Kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya ternyata justru mengancam kehidupan Oei Hui Lan beserta ibu dan kakaknya yang merupakan keluarga sah dari Oei Tiong Ham. Dengan keberadaan 18 selir dan 42 anaknya, keberadaan Hui Lan, ibu dan kakaknya selalu terancam. Para selir selalu berusaha untuk menggantikan ibu Hui Lan untuk menjadi istri sah ayahnya dan menguasai seluruh harta ayahnya. Ayahnya, Oei Tiong Ham, yang dikenal sebagai Raja Gula, bahkan orang terkaya se-Asia Tenggara saat itu memiliki pabrik tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Singapura, London, Paris, Cina, dan kota lainnya. Dengan kekayaan ayahnya, Hui Lan dibekali kehidupan bergelimangan harta, pakaian mewah, perhiasan mahal yang menunjukkan kastanya, berbagai kursus seperti berkuda hingga kursus bahasa yang membuatnya menguasai 4 bahasa termasuk Inggris dan Perancis. Semua itu ternyata masih membuat Hui Lan tetap mencari-cari kasih sayang di luar keluarganya. Pernah sekali waktu saat Ia, ibu dan kakaknya berlibur ke Singapura, Ia menemukan cinta pertamanya yang ternyata ialah seorang pria beristri. Pengalaman pahit itu membuatnya malas untuk menjalin hubungan lagi dengan pria, dan menyetujui ibunya untuk pindah tinggal ke London bersama kakaknya yang telah menikah. Saat mulai masuk menjadi penghuni kota London, Hui Lan dan ibunya menjadi orang yang sangat norak dan terkesan pamer. Ibunya yang terobsesi untuk menjadikan Hui Lan wanita terpandang dan bisa berbaur dengan para socialita membekali Hui Lan dengan gaun-gaun mewah dan perhiasan mahal setiap mereka akan mengunjungi pesta. Mulai asyik dengan kehidupan barunya, Hui Lan menjadi sangat terbiasa berpesta, mengikuti acara para socialita Eropa, berteman dengan keluarga kerajaan, bergaul dengan pria bule, hingga terbiasa dengan kebiasaan ibunya untuk memberikan perhiasan mahalnya ke orang yang dekat dengannya. Tapi semua itu tetap membuat Hui Lan merasa tidak puas. Ia selalu mencoba mencari cara untuk membahagiakan dirinya, tapi tidak pernah menemukannya.Obsesi ibunya untuk membuat Hui Lan menjadi orang terpandang akhirnya membuatnya harus menjalani kehidupan pernikahan tanpa cinta. Menikahi Wellington Koo, orang nomor dua di China, yang menjadi duta besar Cina untuk Amerika dalam rangka memerdekakan China memang membawanya ke kehidupan yang jauh lebih tinggi kastanya. Ia mulai dikenal oleh semua pembesar negara-negara yang menjalin hubungan dengan China, berbaur dengan berbagai keluarga presiden, kerajaan, menteri dan anggota pemerintahan dengan strata atas. Dalam pernikahannya, suaminya tidak pernah memberi uang yang cukup seperti ayahnya. Karena terbiasa dengan harta dan kehidupan mewah, Hui Lan pun tak pernah segan mengeluarkan uang pribadinya untuk membahagiakan hidupnya. Mulai dari merenovasi rumah, menghias dirinya seperti kebiasaannya, memelihara banyak anjing sebagai temannya, dan masih banyak hal lainnya yang berujung kecurigaan media China akan mewahnya pola hidup Hui Lan yang saat itu lebih dikenal sebagai Madame Wellington Koo. Hal itu tetap tidak membuatnya kapok, Hui Lan tetap memakai uang sesuka hati, bahkan meminta uang pada ayahnya untuk segala keperluannya. Sampai suatu ketika, Ia, suami dan anaknya mengunjungi Singapura untuk bertemu ayahnya yang ternyata telah menikah lagi dengan keponakan ibunya, Ia sangat kaget dengan pola hidup ayahnya yang telah berubah 180⁰. Ayahnya yang kaya raya malah hidup sederhana, bahkan cenderung prihatin untuk ukurannya. Hidup di ruko kecil di daerah kumuh, jauh sekali dari ingatannya tentang istana mereka saat di Indonesia. Ia berpikir dan bertanya mengapa ayahnya mau memilih kehidupan seperti itu, namun sepertinya Ia belum mengerti keputusan ayahnya. Ia masih terus hidup berfoya-foya, sampai akhirnya Perang Dunia Kedua merenggut seluruh hartanya di China. Ia hanya bisa meratapi semuanya, namun tetap tidak mau merubah pola hidupnya yang bak putri di pesta dansa. Kepergian satu- persatu dari ayahnya, ibunya, lalu disusul kakaknya akhirnya mulai menyadarkannya akan harta yang ternyata tidak bersifat kekal, dan malah menghancurkan keluarga mereka. Di usianya yang mulai tua, tanpa keluarga yang telah meninggalkannya, hanya tersisa anak-anaknya, tanpa suaminya yang telah menikah lagi dengan wanita lain, Hui Lan mulai merasa kesepian tinggal di rumah besar dan megah. Ia pun memilih untuk tinggal di apartemen seorang diri, dengan terlebih dahulu membekali anak-anaknya dengan rumah-rumah pribadi. Perampokan yang terjadi di apartemen kecilnya di Amerika saat usianya telah tualah yang akhirnya semakin menyadarkannya bahwa Ia tidak bisa selalu hidup memamerkan hartanya, dan membawa-bawa hartanya ke manapun Ia pergi. Ia pun mulai menyimpan seluruh harta dan perhiasan mewahnya di bank, dan hanya menyisakan sedikit di apartemennya. Kehidupannya yang bergelimangan harta, namun tetap tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan terasa begitu sayang baginya untuk dilewatkan. Bersama temannya, Hui Lan pun membuat sebuah buku yang hanya terbit di Amerika, yang berjudul “No Feast Last Forever”, sesuai dengan jalan hidup yang akan ditempuh semua orang. Tidak ada pesta yang tak berakhir. Bahkan pertemuan pun akan mengalami perpisahan. Segala pesta, kehidupan glamor, kemewahan harta, dan segala sesuatu yang menyertainya pada akhirnya akan habis juga. Kebahagiaan yang justru tak lekang oleh waktu justru tidak pernah Ia miliki, dan justru menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidupnya. Kisah Oei Hui lan mungkin hanya segelintir dari kisah hidup para socialita yang selalu dipenuhi pesta, hura-hura, dan barang mewah. Namun, pelajaran hidup yang dipetik Hui Lan di akhir hidupnyalah yang patut kita jadikan pembelajaran. Jangan mengagungkan sesuatu yang sifatnya sementara seperti harta. Akan jauh lebih baik mengumpulkan hal yang bersifat abadi seperti kebahagiaan dan cinta, karena hal itulah yang akan menguatkan kita saat dalam keadaan paling terpuruk sekalipun.
Oei Tiong Ham lahir di Semarang th 1866. Papahnya Oei Tjie Sien asal dari Tong An, Fujian, pada th 1858 usia 23 th terlibat Pemberontakan Taiping melawan dinasti Qing melarikan diri ke Semarang.
Bekasi hadir suaranya merdu
Dengar
Pematang siantar hadir
Blur gambarnya😊
鼓浪屿我最熟悉啦
terimaasih Cik Lucy dan Ko Alvin atas info2 nya. Selamat di jalan, sehat.
Cik sekalian nyebrang ke taiwan ya 😁
Wkwkkw ngga ke Taiwan, ribet lg bikin visanya..
Trs dl pergi seminggu lgs naik 5 kg, bahaya kulinernya terlalu enak2 🤣
Jangan lupa makan ote alias bakwan di Xiamen😊
Bu kalau Hp panas dibantu kompres pakai tisiu basah, sy sdh coba berhasil.
thank you sarannya
Langitnya bagusssss sekaleeeee
Apa sih keunggulan di tempat ini mbak Lusi, kok bisa begitu jadi Magnit para wisman?
ribuan bangunan bersejarah.. dan Victorian style gitu jd serasa jalan2 ke Eropa
Suaranya jelas di IKN KALTIM ci Lusy
Lusi, apa maksudnya harga vilanya 2 milyard Yuan, supaya bisa menjadi rp 4,4 triliun?
sebab kalau 2 juta Yuan itu cuma rp 4,4 milyard?
iya betul 2 billion cny
沙茶麵=mie sate.
Mie yang dikasih kuah bumbu kacang yang seperti biasa kita makan di INDONESIA
Huang Ie Tjoe .. raja gula Hindia Belanda yang punya aset 3 juta Gulden,yang punya property premium di pulau Guilang tsb pada th 1919 ..mungkin partner bisnis atau kerabat Oei Tiong Ham.
Perusahaan OTH pada waktu itu saat didirikan sudah profesional memakai sistem manajemen Barat tidak mengenal kekerabatan.
Secara marga Oei sama dengan marga Huang (Hokian).
👍🏽👍🏽👍🏽
Penasaran sama kue bulan yg asli dari China....coba di cicip Ce Lusi 🤭
Sdh di video2 sebelumnya hehehe, kebetulan kami dikasih sebox isi 8 pcs sm temannya Alvin di Shenzhen 😁🙏🏼
Di cina ada asia gim laev dong ceh
buset sampe baca pake suara demi berusaha memahami ini apaan 😂
Asean Games ya? LIVE maksudnya? 😅😅😅
Suara nya jelas..... Lampung hadir...
Flores Kelitey hadir hati² ci Lusi n ko Alvin..🙏❤️😇
Yang tragis itu, kisah anaknya, Oei Hui Lan. 🙏
ceritain dong... 😁
Madame Wellington Koo atau Oei Hui Lan ialah anak dari Raja gula Semarang yang sangat terkenal, yaitu Oei Tiong Ham. Kekayaan yang tidak ada habisnya dari ayahnya ternyata tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan padanya. Hidup serba berkelimpahan di istananya di Semarang-Indonesia di masa pemerintahan Hindia Belanda, melewatkan masa mudanya di Paris, London, Amerika, hingga China saat berkeluarga, menjadi socialita terpandang di kaum elit Eropa, menjadi istri Wellington Koo, orang nomor dua di China saat itu ternyata juga tidak juga bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadanya.
Dilahirkan sebagai anak kedua dari istri sah Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan seolah menggenggam dunia dalam tangannya. Ayahnya yang kaya raya selalu memanjakannya dengan memberi apapun yang Ia inginkan, bahkan sampai membuatkan kebun binatang di istananya (istana mereka hingga saat ini masih ada di Semarang, namun sudah menjadi sebuah universitas swasta).
Akan tetapi, tidak demikian dengan ibunya. Ibunya lebih menyayangi kakakanya, Oei Tjong Lan, dan lebih suka berfoya-foya membelanjakan uang ayahnya untuk membeli permata, berlian, emas, perhiasan mewah, dan baju-baju mahal hingga ke luar negeri demi menutupi kesedihannya akan kebiasaan buruk ayahnya yang memiliki banyak selir dan anak di luar nikah.
Kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya ternyata justru mengancam kehidupan Oei Hui Lan beserta ibu dan kakaknya yang merupakan keluarga sah dari Oei Tiong Ham. Dengan keberadaan 18 selir dan 42 anaknya, keberadaan Hui Lan, ibu dan kakaknya selalu terancam. Para selir selalu berusaha untuk menggantikan ibu Hui Lan untuk menjadi istri sah ayahnya dan menguasai seluruh harta ayahnya. Ayahnya, Oei Tiong Ham, yang dikenal sebagai Raja Gula, bahkan orang terkaya se-Asia Tenggara saat itu memiliki pabrik tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Singapura, London, Paris, Cina, dan kota lainnya. Dengan kekayaan ayahnya, Hui Lan dibekali kehidupan bergelimangan harta, pakaian mewah, perhiasan mahal yang menunjukkan kastanya, berbagai kursus seperti berkuda hingga kursus bahasa yang membuatnya menguasai 4 bahasa termasuk Inggris dan Perancis.
Semua itu ternyata masih membuat Hui Lan tetap mencari-cari kasih sayang di luar keluarganya. Pernah sekali waktu saat Ia, ibu dan kakaknya berlibur ke Singapura, Ia menemukan cinta pertamanya yang ternyata ialah seorang pria beristri. Pengalaman pahit itu membuatnya malas untuk menjalin hubungan lagi dengan pria, dan menyetujui ibunya untuk pindah tinggal ke London bersama kakaknya yang telah menikah.
Saat mulai masuk menjadi penghuni kota London, Hui Lan dan ibunya menjadi orang yang sangat norak dan terkesan pamer. Ibunya yang terobsesi untuk menjadikan Hui Lan wanita terpandang dan bisa berbaur dengan para socialita membekali Hui Lan dengan gaun-gaun mewah dan perhiasan mahal setiap mereka akan mengunjungi pesta. Mulai asyik dengan kehidupan barunya, Hui Lan menjadi sangat terbiasa berpesta, mengikuti acara para socialita Eropa, berteman dengan keluarga kerajaan, bergaul dengan pria bule, hingga terbiasa dengan kebiasaan ibunya untuk memberikan perhiasan mahalnya ke orang yang dekat dengannya.
Tapi semua itu tetap membuat Hui Lan merasa tidak puas. Ia selalu mencoba mencari cara untuk membahagiakan dirinya, tapi tidak pernah menemukannya.Obsesi ibunya untuk membuat Hui Lan menjadi orang terpandang akhirnya membuatnya harus menjalani kehidupan pernikahan tanpa cinta.
Menikahi Wellington Koo, orang nomor dua di China, yang menjadi duta besar Cina untuk Amerika dalam rangka memerdekakan China memang membawanya ke kehidupan yang jauh lebih tinggi kastanya. Ia mulai dikenal oleh semua pembesar negara-negara yang menjalin hubungan dengan China, berbaur dengan berbagai keluarga presiden, kerajaan, menteri dan anggota pemerintahan dengan strata atas.
Dalam pernikahannya, suaminya tidak pernah memberi uang yang cukup seperti ayahnya. Karena terbiasa dengan harta dan kehidupan mewah, Hui Lan pun tak pernah segan mengeluarkan uang pribadinya untuk membahagiakan hidupnya. Mulai dari merenovasi rumah, menghias dirinya seperti kebiasaannya, memelihara banyak anjing sebagai temannya, dan masih banyak hal lainnya yang berujung kecurigaan media China akan mewahnya pola hidup Hui Lan yang saat itu lebih dikenal sebagai Madame Wellington Koo.
Hal itu tetap tidak membuatnya kapok, Hui Lan tetap memakai uang sesuka hati, bahkan meminta uang pada ayahnya untuk segala keperluannya. Sampai suatu ketika, Ia, suami dan anaknya mengunjungi Singapura untuk bertemu ayahnya yang ternyata telah menikah lagi dengan keponakan ibunya, Ia sangat kaget dengan pola hidup ayahnya yang telah berubah 180⁰. Ayahnya yang kaya raya malah hidup sederhana, bahkan cenderung prihatin untuk ukurannya. Hidup di ruko kecil di daerah kumuh, jauh sekali dari ingatannya tentang istana mereka saat di Indonesia. Ia berpikir dan bertanya mengapa ayahnya mau memilih kehidupan seperti itu, namun sepertinya Ia belum mengerti keputusan ayahnya.
Ia masih terus hidup berfoya-foya, sampai akhirnya Perang Dunia Kedua merenggut seluruh hartanya di China. Ia hanya bisa meratapi semuanya, namun tetap tidak mau merubah pola hidupnya yang bak putri di pesta dansa. Kepergian satu- persatu dari ayahnya, ibunya, lalu disusul kakaknya akhirnya mulai menyadarkannya akan harta yang ternyata tidak bersifat kekal, dan malah menghancurkan keluarga mereka.
Di usianya yang mulai tua, tanpa keluarga yang telah meninggalkannya, hanya tersisa anak-anaknya, tanpa suaminya yang telah menikah lagi dengan wanita lain, Hui Lan mulai merasa kesepian tinggal di rumah besar dan megah. Ia pun memilih untuk tinggal di apartemen seorang diri, dengan terlebih dahulu membekali anak-anaknya dengan rumah-rumah pribadi. Perampokan yang terjadi di apartemen kecilnya di Amerika saat usianya telah tualah yang akhirnya semakin menyadarkannya bahwa Ia tidak bisa selalu hidup memamerkan hartanya, dan membawa-bawa hartanya ke manapun Ia pergi. Ia pun mulai menyimpan seluruh harta dan perhiasan mewahnya di bank, dan hanya menyisakan sedikit di apartemennya.
Kehidupannya yang bergelimangan harta, namun tetap tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan terasa begitu sayang baginya untuk dilewatkan. Bersama temannya, Hui Lan pun membuat sebuah buku yang hanya terbit di Amerika, yang berjudul “No Feast Last Forever”, sesuai dengan jalan hidup yang akan ditempuh semua orang. Tidak ada pesta yang tak berakhir. Bahkan pertemuan pun akan mengalami perpisahan. Segala pesta, kehidupan glamor, kemewahan harta, dan segala sesuatu yang menyertainya pada akhirnya akan habis juga. Kebahagiaan yang justru tak lekang oleh waktu justru tidak pernah Ia miliki, dan justru menjadi hal yang paling disesalinya seumur hidupnya.
Kisah Oei Hui lan mungkin hanya segelintir dari kisah hidup para socialita yang selalu dipenuhi pesta, hura-hura, dan barang mewah. Namun, pelajaran hidup yang dipetik Hui Lan di akhir hidupnyalah yang patut kita jadikan pembelajaran.
Jangan mengagungkan sesuatu yang sifatnya sementara seperti harta. Akan jauh lebih baik mengumpulkan hal yang bersifat abadi seperti kebahagiaan dan cinta, karena hal itulah yang akan menguatkan kita saat dalam keadaan paling terpuruk sekalipun.
Apakah Alvin Lussi, ada rencana ke Taiwan? Klo lihat peta, Taiwan "dekat" dari Fujian/ xiamen 😂
Ngga dulu krn masuk Taiwan perlu visa..
Udah bagus dan jelas.yg td ganya hitam aja
Lusi dan Alvin udah makan kue bulan belum
sudaaah 🥰🙏🏽🥮
Konon kt nya di sn setiap warga pasti punya satu unt piano maka nya di sebut pulau piano enth betul atau tdk
Hari ini tgl 15.8.tgl china.sembahyang kue bulan,
Iya betul
Suaranya clear cee cuma orangnya yg agak erorr kali yah 🤣🤣🤣🙏🙏🙏 di China masih brp lama lgi nih koh dn cee
😅😅😅
Dikota hoansu ade asia gem ceh laev kan disana
wkwkwk HANGZHOU 😂
tdi ikut live tpi loading terus
Subang hadir ci.suara ok ko
Suara oke ci, ko.. mantepp
Oei Tiong ham
Oei Tiong Ham lahir di Semarang th 1866.
Papahnya Oei Tjie Sien asal dari Tong An, Fujian, pada th 1858 usia 23 th terlibat Pemberontakan Taiping melawan dinasti Qing melarikan diri ke Semarang.
Nama Mandarin 黄仲涵 Huangzhonghan
Mbak lusi jawablah sapaan saya, Alfani pekanbaru
haloooo 😁🙏🏽
Iyaaa