Meneruskan tanggapan dari penulis (Feby Indirani) terkait satu bagian dalam review buku Bukan Perawan Maria di video ini: ***Halo Maria, terima kasih sudah membaca kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria (BPM) dan membuat ulasannya ya. Terkait dengan komentarmu di menit 15:46 terhadap cerpen berjudul Tiba di Surga, yang menurutmu ‘menampilkan ekspresi kebencian kepada kaum minoritas khususnya kaum gay,’ aku merasa perlu menyikapinya dengan serius , sebab pernyataanmu itu berisiko menimbulkan prasangka yang keliru dan tidak adil terhadap buku BPM. Sebagai pembaca fiksi, kita paham bahwa karakter-karakter di dalam cerita memiliki suara dan sikapnya masing-masing. Sikap karakter Abdullah dalam cerpen tersebut adalah homofobik, seperti diperlihatkan juga oleh sebagian orang di dalam kehidupan nyata di sekitar kita. Abdullah memuja teknologi komputer, tapi tidak bisa menghormati sosok penciptanya yang berorientasi seksual berbeda. Abdullah kemudian merasa guncang, karena ‘surga’ yang tadinya dia agungkan itu ternyata tidak seperti dugaannya. Dia tidak siap berbagi ‘surga’ dengan orang orang yg tidak ia setujui, padahal ‘surga’ itu begitu luas. Lalu di akhir cerita, Abdullah mendapat kehidupan kedua, dan di dalam perasaan terguncangnya itu, ia merasa ‘sepertinya ia belum siap masuk ke surga.’ Dengan pembacaan yang lebih menyeluruh dan tidak sepotong-potong, kita bisa melihat bahwa Tiba di Surga tidak bisa dianggap ‘menampilkan ekspresi kebencian kepada gay,’ justru sangat berkebalikan dari itu, cerpen tersebut menentang sikap Abdullah yang membenci dan menghakimi orang lain yang berbeda nilai dan pandangan dari dirinya sendiri. Abdullah bahkan seperti ‘dilemparkan’ lagi dari ‘surga’ sebab dia merasa dirinya lebih mulia daripada orang lain. Demikian tanggapan dariku. Sebuah cerita memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kita sebagai pembaca juga kadang mencampurkan antara teks dan hal-hal di luar teks yang sudah kita miliki sebelumnya, misalnya latar dan pengalaman pribadi, prasangka, cara pandang dunia dan sebagainya. Karenanya dalam membaca teks apapun, kita juga penting bersikap rendah hati, sebab belum tentu penafsiran dan penilaian kita itulah yang paling benar. Cerita yang kita baca hari ini dan kita maknai dengan cara tertentu, bisa jadi akan kita maknai dengan berbeda seiring dengan pertumbuhan dan pertambahan pengalaman kita. (Feby Indirani)***
Meneruskan tanggapan dari penulis (Feby Indirani) terkait satu bagian dalam review buku Bukan Perawan Maria di video ini:
***Halo Maria, terima kasih sudah membaca kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria (BPM) dan membuat ulasannya ya.
Terkait dengan komentarmu di menit 15:46 terhadap cerpen berjudul Tiba di Surga, yang menurutmu ‘menampilkan ekspresi kebencian kepada kaum minoritas khususnya kaum gay,’ aku merasa perlu menyikapinya dengan serius , sebab pernyataanmu itu berisiko menimbulkan prasangka yang keliru dan tidak adil terhadap buku BPM.
Sebagai pembaca fiksi, kita paham bahwa karakter-karakter di dalam cerita memiliki suara dan sikapnya masing-masing. Sikap karakter Abdullah dalam cerpen tersebut adalah homofobik, seperti diperlihatkan juga oleh sebagian orang di dalam kehidupan nyata di sekitar kita. Abdullah memuja teknologi komputer, tapi tidak bisa menghormati sosok penciptanya yang berorientasi seksual berbeda.
Abdullah kemudian merasa guncang, karena ‘surga’ yang tadinya dia agungkan itu ternyata tidak seperti dugaannya. Dia tidak siap berbagi ‘surga’ dengan orang orang yg tidak ia setujui, padahal ‘surga’ itu begitu luas. Lalu di akhir cerita, Abdullah mendapat kehidupan kedua, dan di dalam perasaan terguncangnya itu, ia merasa ‘sepertinya ia belum siap masuk ke surga.’
Dengan pembacaan yang lebih menyeluruh dan tidak sepotong-potong, kita bisa melihat bahwa Tiba di Surga tidak bisa dianggap ‘menampilkan ekspresi kebencian kepada gay,’ justru sangat berkebalikan dari itu, cerpen tersebut menentang sikap Abdullah yang membenci dan menghakimi orang lain yang berbeda nilai dan pandangan dari dirinya sendiri. Abdullah bahkan seperti ‘dilemparkan’ lagi dari ‘surga’ sebab dia merasa dirinya lebih mulia daripada orang lain.
Demikian tanggapan dariku. Sebuah cerita memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kita sebagai pembaca juga kadang mencampurkan antara teks dan hal-hal di luar teks yang sudah kita miliki sebelumnya, misalnya latar dan pengalaman pribadi, prasangka, cara pandang dunia dan sebagainya.
Karenanya dalam membaca teks apapun, kita juga penting bersikap rendah hati, sebab belum tentu penafsiran dan penilaian kita itulah yang paling benar. Cerita yang kita baca hari ini dan kita maknai dengan cara tertentu, bisa jadi akan kita maknai dengan berbeda seiring dengan pertumbuhan dan pertambahan pengalaman kita. (Feby Indirani)***
Kak aman ga review buku ke UA-cam