Tata krama ini memang sangat terasa bagi kita orang NTT yg lama tinggal di Jawa. Saat mudik kita kaget karena keponakan atau anak2 di kampung menyebut kita dengan "engkau" atau "kamu". Padahal kata ganti engkau dan kamu terasa kasar untuk orang yg jauh lebih tua. Di daerahku NTT memang tata krama atau unggah-ungguh bahasa hampir tidak ada. "Engkau pigi mana, Om?" kata anak di kampung. Contoh Bung Ignas soal orang kampung yg habiskan makanan karena tuan rumah terlambat 1 atau 2 jam memang sering terjadi. Makanya anak2 hasil pernikahan orang NTT dan Jawa di Jawa biasanya kurang suka orang2 yg baru datang dari kampung. Sebab kebiasaan di kampung sering dibawa sampai ke Jawa, Malaysia dsb.
Tata krama ini produk peradaban feodalisme, pengaruh budaya Hindu India yg mempunyai hirarki kasta Dalam status sosial. Pengaruh ini akhirnya Di serap oleh masyarakat jawa sehingga Dalam pengamalannya menciptakan hirarki Bahasa (udha usuk ),yg kemudian mempengaruhi juga hirarki Bahasa Sunda( lewat kerajaan mataram islam,)padahal sebelumnya Sunda itu Egaliter, contoh: Bahasa Aing(Bahasa kasar,saya), Di prasasti atau candi² Yang ditinggalkan kerajaan Sunda pasti Ada. Sedangkan Abdi(Bahasa lembut ,saya) ga akan kita temukan Di prasasti manapun. Nah hubungannya apa dengan NTT, bisa Di Cari UU no. 64 Tahun 1958, Disana merupakan bukti Nama Sunda kecil Di ganti menjadi NTT, NTB Dan Bali, bahkan Masih Ada bukti fisik nya Kantor gubernur Sunda kecil Di Denpasar bisa anda search. Nah Jadi wajar NTT ini ga mengenal Yang namanya Hirarki Bahasa soalnya nenek moyangnya Egaliter(Sunda).
Dr. Ignas Kleden telah memberi warna sekaligus kompas sejarah intelektual bangsa Indonesia❤
Sangat - sangat teredukasi
Min, mohon podcast dg pak ignaz diperbanyak, mumpung beliau masih sehat, karena akan menjadi warisan intelektual kita kelak.
Tata krama ini memang sangat terasa bagi kita orang NTT yg lama tinggal di Jawa. Saat mudik kita kaget karena keponakan atau anak2 di kampung menyebut kita dengan "engkau" atau "kamu". Padahal kata ganti engkau dan kamu terasa kasar untuk orang yg jauh lebih tua.
Di daerahku NTT memang tata krama atau unggah-ungguh bahasa hampir tidak ada. "Engkau pigi mana, Om?" kata anak di kampung.
Contoh Bung Ignas soal orang kampung yg habiskan makanan karena tuan rumah terlambat 1 atau 2 jam memang sering terjadi. Makanya anak2 hasil pernikahan orang NTT dan Jawa di Jawa biasanya kurang suka orang2 yg baru datang dari kampung. Sebab kebiasaan di kampung sering dibawa sampai ke Jawa, Malaysia dsb.
Tata krama ini produk peradaban feodalisme, pengaruh budaya Hindu India yg mempunyai hirarki kasta Dalam status sosial. Pengaruh ini akhirnya Di serap oleh masyarakat jawa sehingga Dalam pengamalannya menciptakan hirarki Bahasa (udha usuk ),yg kemudian mempengaruhi juga hirarki Bahasa Sunda( lewat kerajaan mataram islam,)padahal sebelumnya Sunda itu Egaliter, contoh: Bahasa Aing(Bahasa kasar,saya), Di prasasti atau candi² Yang ditinggalkan kerajaan Sunda pasti Ada. Sedangkan Abdi(Bahasa lembut ,saya) ga akan kita temukan Di prasasti manapun.
Nah hubungannya apa dengan NTT, bisa Di Cari UU no. 64 Tahun 1958, Disana merupakan bukti Nama Sunda kecil Di ganti menjadi NTT, NTB Dan Bali, bahkan Masih Ada bukti fisik nya Kantor gubernur Sunda kecil Di Denpasar bisa anda search. Nah Jadi wajar NTT ini ga mengenal Yang namanya Hirarki Bahasa soalnya nenek moyangnya Egaliter(Sunda).
Semoga Bpk sehat selalu
"Orientasi Darat atau Orientasi Laut"
(Ignas Kleden).