Maaf Anak ku Hujan deras mengguyur kota kecil itu. Di sebuah rumah sederhana, Siska, seorang gadis berusia 17 tahun, tengah berkemas untuk pergi ke universitas di kota besar. Ibunya, Ratna, hanya berdiri di ambang pintu, memandang anak perempuannya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Ratna adalah seorang ibu yang keras. Bukan karena ia tidak mencintai Siska, tetapi hidup yang keras telah mengajarinya untuk menjadi tegar. Suaminya meninggal ketika Siska masih kecil, meninggalkan Ratna untuk membesarkan anaknya seorang diri. Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ratna bekerja siang dan malam sebagai buruh cuci. Dalam perjuangannya, Ratna sering lupa memberikan perhatian pada Siska. Ada hari-hari ketika Ratna membentak Siska karena nilai ujiannya menurun atau karena lupa menyelesaikan tugas rumah. Padahal, Siska hanya ingin ibunya mendengarkan keluh kesahnya tentang sekolah, teman-teman, atau mimpi-mimpinya. Siska sering menangis diam-diam di kamar, merasa tidak dimengerti. Ketika Siska menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di universitas impiannya, Ratna merasa bangga, tetapi juga gelisah. Ada banyak hal yang belum ia katakan pada anaknya. Malam sebelum keberangkatan Siska, Ratna duduk di meja kecil di dapur. Dengan tangan gemetar, ia menulis sebuah surat. > "Anakku tersayang, > Maafkan Ibu yang sering kali tidak memahami perasaanmu. Ibu tahu, selama ini Ibu keras padamu, bukan karena Ibu tidak sayang, tetapi karena Ibu ingin kau kuat. Ibu ingin kau menjadi seseorang yang bisa bertahan dalam dunia yang tidak selalu adil. Tapi, Ibu sadar, mungkin Ibu salah. > > Siska, kau adalah cahaya dalam hidup Ibu. Melihatmu tumbuh menjadi gadis yang pintar dan mandiri adalah kebahagiaan terbesar Ibu. Ibu hanya ingin kau tahu bahwa Ibu selalu mencintaimu, bahkan jika Ibu tidak pandai mengungkapkannya. > > Pergilah, kejar mimpimu. Jangan pernah ragu untuk kembali ke rumah ini jika kau butuh tempat bernaung. Ibu akan selalu ada untukmu. > > Dengan cinta yang tak pernah habis, > Ibumu." Keesokan harinya, ketika Siska selesai berkemas, Ratna menyerahkan surat itu. "Buka saat kamu sudah di sana," kata Ratna dengan senyum kecil. Di perjalanan menuju kota, Siska membuka surat itu. Membacanya, air matanya mengalir deras. Semua rasa kecewa dan kesedihan yang pernah ia rasakan seolah mencair. Di dalam hatinya, ia tahu ibunya mencintainya lebih dari apa pun. Malam itu, Siska menelepon Ratna. "Bu, terima kasih. Aku sayang Ibu." Dari balik telepon, Ratna menangis, merasa beban yang selama ini ia pikul telah sedikit terangkat. Dari saat itu, hubungan mereka berubah. Ratna belajar untuk lebih mendengarkan, dan Siska belajar untuk lebih memahami. Mereka terus saling mendukung, membangun mimpi bersama meski berjauhan. Cinta seorang ibu dan anaknya selalu menemukan jalan, meskipun terlambat diungkapkan. #anak #ibu
Maaf Anak ku
Hujan deras mengguyur kota kecil itu. Di sebuah rumah sederhana, Siska, seorang gadis berusia 17 tahun, tengah berkemas untuk pergi ke universitas di kota besar. Ibunya, Ratna, hanya berdiri di ambang pintu, memandang anak perempuannya dengan tatapan penuh rasa bersalah.
Ratna adalah seorang ibu yang keras. Bukan karena ia tidak mencintai Siska, tetapi hidup yang keras telah mengajarinya untuk menjadi tegar. Suaminya meninggal ketika Siska masih kecil, meninggalkan Ratna untuk membesarkan anaknya seorang diri. Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ratna bekerja siang dan malam sebagai buruh cuci. Dalam perjuangannya, Ratna sering lupa memberikan perhatian pada Siska.
Ada hari-hari ketika Ratna membentak Siska karena nilai ujiannya menurun atau karena lupa menyelesaikan tugas rumah. Padahal, Siska hanya ingin ibunya mendengarkan keluh kesahnya tentang sekolah, teman-teman, atau mimpi-mimpinya. Siska sering menangis diam-diam di kamar, merasa tidak dimengerti.
Ketika Siska menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di universitas impiannya, Ratna merasa bangga, tetapi juga gelisah. Ada banyak hal yang belum ia katakan pada anaknya.
Malam sebelum keberangkatan Siska, Ratna duduk di meja kecil di dapur. Dengan tangan gemetar, ia menulis sebuah surat.
> "Anakku tersayang,
> Maafkan Ibu yang sering kali tidak memahami perasaanmu. Ibu tahu, selama ini Ibu keras padamu, bukan karena Ibu tidak sayang, tetapi karena Ibu ingin kau kuat. Ibu ingin kau menjadi seseorang yang bisa bertahan dalam dunia yang tidak selalu adil. Tapi, Ibu sadar, mungkin Ibu salah.
>
> Siska, kau adalah cahaya dalam hidup Ibu. Melihatmu tumbuh menjadi gadis yang pintar dan mandiri adalah kebahagiaan terbesar Ibu. Ibu hanya ingin kau tahu bahwa Ibu selalu mencintaimu, bahkan jika Ibu tidak pandai mengungkapkannya.
>
> Pergilah, kejar mimpimu. Jangan pernah ragu untuk kembali ke rumah ini jika kau butuh tempat bernaung. Ibu akan selalu ada untukmu.
>
> Dengan cinta yang tak pernah habis,
> Ibumu."
Keesokan harinya, ketika Siska selesai berkemas, Ratna menyerahkan surat itu. "Buka saat kamu sudah di sana," kata Ratna dengan senyum kecil.
Di perjalanan menuju kota, Siska membuka surat itu. Membacanya, air matanya mengalir deras. Semua rasa kecewa dan kesedihan yang pernah ia rasakan seolah mencair. Di dalam hatinya, ia tahu ibunya mencintainya lebih dari apa pun.
Malam itu, Siska menelepon Ratna. "Bu, terima kasih. Aku sayang Ibu." Dari balik telepon, Ratna menangis, merasa beban yang selama ini ia pikul telah sedikit terangkat.
Dari saat itu, hubungan mereka berubah. Ratna belajar untuk lebih mendengarkan, dan Siska belajar untuk lebih memahami. Mereka terus saling mendukung, membangun mimpi bersama meski berjauhan. Cinta seorang ibu dan anaknya selalu menemukan jalan, meskipun terlambat diungkapkan.
#anak #ibu