DALAM AGAMA HINDU TIDAK DIKENAL ISTILAH KASTA Di sini saya berbicara tentang agama Hindu, perihal penting yang harus diketahui dan diluruskan yaitu tentang kekeliruan Catur Warna dan Kasta. Dalam Hindu tidak dikenal istilah "Kasta", itu penyimpangan (salah tafsir). Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah "Warna". Yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadarma (profesi) masing-masing orang. Berdasarkan pekerjaan bukan keturunan. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra adalah bagian dari Catur Warna, bukan Kasta. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta, yang jauh berbeda dengan konsep Catur Warna. Penyimpangan ajaran Catur Warna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia. "Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kata "KASTA" tidaklah berasal dari bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-orang Portugis "Casta" yang diambil dari bahasa latin "Castus". Yang ada sebenarnya dalam bahasa masyarakat Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata "WARNA" yang berarti memilih dimana setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah oleh masyarakat ditentukan apakah ia termasuk golongan Brahmana atau Ksatria atau Waisya ataukah Sudra." Kekeliruan Catur Warna dan Kasta. Kasta merupakan kesalahpahaman berabad-abad yang terjadi di beberapa daerah di dunia. Sistem Kasta manusia di buat oleh kaum penjajah untuk mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera). Kasta sendiri berasal dari bahasa Portugis yaitu "Casta". Di India Kasta mulai ada semenjak kedatangan Portugis (Kerajaan Goa, India jatuh ke tangan Portugis tahun 1511). Kemudian setelah itu istilah Kasta mulai diperkenalkan di India dan sejak itu para misionaris masuk menyebarkan Kristen di India dengan pola mempelintirkan sistem "Warna" di India menjadi sistem Kasta. Sedangkan Kasta di Bali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera), Kasta dibuat dengan nama yang diambil dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahan-kesalahan itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur "berkasta tinggi". Pada masyarakat Hindu di Bali terjadi polemik (pro dan kontra) dalam pemahaman Warna dan Kasta yang berkepanjangan. Kasta lebih banyak dipergunakan sebagai alat politik tata negara agar kekuasaan bisa eksis dan langgeng dalam sistem monarki/kerajaan. Kasta berlaku pada zaman kerajaan dan semenjak negara kita berbentuk Republik "Kasta" seharusnya sudah gak berlaku. Melainkan kembali kepada "Warna" sesuai ajaran Hindu. Hindu Dreste Bali yang egaliter bukan yang menumbuhkan kembalinya spirit Feodalisme, Kasta mengagungkan diri sendiri dan lainnya. Biarlah itu menjadi sisi gelap Bali di masa lampau. Jangan mau lagi dibodohi oleh sebagian oknum manusia yang mabuk akan Kasta, mengagungkan diri sendiri (menganggap diri sendiri berderajad tinggi dan menganggap yang lainnya berderajad rendah). Kasta itu berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan). Kasta merupakan salah satu penyebab agama Hindu menjadi kerdil, padahal dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta tidak ada dalam Veda dan karena pemahaman yang salah seolah-olah Hindu mengajarkan saling merendahkan antara sesama umat manusia. Inilah mengapa umat Hindu selalu tergerus oleh umat agama lain, terutama di India, Bali dan daerah lainnya di dunia. Kasta selalu dipakai senjata oleh umat agama lain untuk "mengkonversi" umat Hindu di manapun karena dianggap membeda-bedakan antara sesama umat manusia. Padahal sesungguhnya manusia itu sama dihadapan Tuhan. Persoalan yang kini menjadi masalah adalah jangan mengacaukan ajaran agama Hindu dengan menyimpangkan ajaran Catur Warna menjadi sistem Kasta. Kasta bukan bagian dari ajaran Hindu. Jangan samakan Catur Warna dengan Kasta. Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Jangan ikut-ikutan mempelintir ajaran Veda, karena dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta itu pembelokan dari Warna yang menempatkan atau penggolongan manusia berdasarkan pekerjaan, bukan keturunan. Tapi sistem Kasta dipertahankan yang merasa dapat keistimewaan dengan berbagai alasan. Sementara masyarakat awam memelihara juga dengan polos. Kini saatnya umat Hindu harus sadar bahwa sebenarnya dalam Hindu tidak mengenal sistem Kasta, yang ada sebenarnya adalah Catur Warna. Sudah sepatutnya kita sebagai umat Hindu membuang jauh-jauh kata Kasta dari semua lilelatur buku yang ada, baik yang di dalam buku-buku pelajaran agama Hindu maupun buku-buku umum lainnya. Kita harus menyadari penyebutan Kasta itulah yang membuat sekat, pengkotaan yang dapat memecah belah umat, itu dulu yang dilakukan kaum penjajah. Sekarang masa sudah zaman milenial, kita juga harus kembalikan ke yang sebenarnya. Umat Hindu harus membuka pengetahuan Veda agar tidak mudah dibodohi. Saatnya generasi muda Hindu harus berani berbicara. Benar katakan benar. Salah katakan salah. Jangan takut mengungkapkan kebenaran (Dharma). Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial itu bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra (lahir dari rahim ibu). Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orang tuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Waisya. Begitu pula kalau orang tuanya Sudra, anaknya Bisa saja Brahmana atau Kesatria atau Waisya. Begitu pula dengan Ksatria dan Waisya. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu. Jadi pembagian Catur Warna ini tidaklah dimaksud untuk menentukan tinggi rendah derajatnya tetapi menurut kepentingan, fungsi dan kesanggupan golongan itu masing-masing. Pembagian ini sebenarnya tidak dimaksud mengagung-agungkan Brahmana atau merendahkan derajat Sudra hal ini hanya merupakan simbol belaka. berdasarkan pekerjaan bukan keturunan. Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua manusia sama dihadapan Tuhan. Semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudaiva Kutumbakam). Keturunan juga bisa menjadi kebanggaan seseorang. Namun kebanggaan yang berlebihan akan menimbulkan keangkuhan. Kesombongan akan keturunan sehingga akan merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mengagung-agungkan keturunan atau kebangsawanan sangatlah tidak baik, apalagi menganggap orang lain lebih rendah. Agama Hindu mengajarkan agar setiap orang saling menghormati dan saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan konsep Tat Twam Asi dan Vasudaiva Kutumbakam. Tuhan menilai seseorang bukan karena keturunan yang dinilai adalah Dharma bhakti dan yajnanya. Demikian pula yang terpenting adalah memiliki etika moral yang tinggi. Satyam Eva Jayate. Dharma Raksati Raksitah. OM Shanti.
Mriki simpang ke singaraja gek
Banjarnegara hadir bos 🙏👍
niki sampun karya sane pinih becik
Jeg sekadi mantap, nyak masuk feelne 👍
DALAM AGAMA HINDU TIDAK DIKENAL ISTILAH KASTA
Di sini saya berbicara tentang agama Hindu, perihal penting yang harus diketahui dan diluruskan yaitu tentang kekeliruan Catur Warna dan Kasta. Dalam Hindu tidak dikenal istilah "Kasta", itu penyimpangan (salah tafsir). Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah "Warna". Yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadarma (profesi) masing-masing orang. Berdasarkan pekerjaan bukan keturunan. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra adalah bagian dari Catur Warna, bukan Kasta.
Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta, yang jauh berbeda dengan konsep Catur Warna. Penyimpangan ajaran Catur Warna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
"Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kata "KASTA" tidaklah berasal dari bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-orang Portugis "Casta" yang diambil dari bahasa latin "Castus". Yang ada sebenarnya dalam bahasa masyarakat Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata "WARNA" yang berarti memilih dimana setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah oleh masyarakat ditentukan apakah ia termasuk golongan Brahmana atau Ksatria atau Waisya ataukah Sudra."
Kekeliruan Catur Warna dan Kasta.
Kasta merupakan kesalahpahaman berabad-abad yang terjadi di beberapa daerah di dunia. Sistem Kasta manusia di buat oleh kaum penjajah untuk mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera). Kasta sendiri berasal dari bahasa Portugis yaitu "Casta". Di India Kasta mulai ada semenjak kedatangan Portugis (Kerajaan Goa, India jatuh ke tangan Portugis tahun 1511). Kemudian setelah itu istilah Kasta mulai diperkenalkan di India dan sejak itu para misionaris masuk menyebarkan Kristen di India dengan pola mempelintirkan sistem "Warna" di India menjadi sistem Kasta.
Sedangkan Kasta di Bali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera), Kasta dibuat dengan nama yang diambil dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahan-kesalahan itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur "berkasta tinggi". Pada masyarakat Hindu di Bali terjadi polemik (pro dan kontra) dalam pemahaman Warna dan Kasta yang berkepanjangan.
Kasta lebih banyak dipergunakan sebagai alat politik tata negara agar kekuasaan bisa eksis dan langgeng dalam sistem monarki/kerajaan. Kasta berlaku pada zaman kerajaan dan semenjak negara kita berbentuk Republik "Kasta" seharusnya sudah gak berlaku. Melainkan kembali kepada "Warna" sesuai ajaran Hindu.
Hindu Dreste Bali yang egaliter bukan yang menumbuhkan kembalinya spirit Feodalisme, Kasta mengagungkan diri sendiri dan lainnya. Biarlah itu menjadi sisi gelap Bali di masa lampau. Jangan mau lagi dibodohi oleh sebagian oknum manusia yang mabuk akan Kasta, mengagungkan diri sendiri (menganggap diri sendiri berderajad tinggi dan menganggap yang lainnya berderajad rendah). Kasta itu berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan).
Kasta merupakan salah satu penyebab agama Hindu menjadi kerdil, padahal dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta tidak ada dalam Veda dan karena pemahaman yang salah seolah-olah Hindu mengajarkan saling merendahkan antara sesama umat manusia. Inilah mengapa umat Hindu selalu tergerus oleh umat agama lain, terutama di India, Bali dan daerah lainnya di dunia. Kasta selalu dipakai senjata oleh umat agama lain untuk "mengkonversi" umat Hindu di manapun karena dianggap membeda-bedakan antara sesama umat manusia. Padahal sesungguhnya manusia itu sama dihadapan Tuhan.
Persoalan yang kini menjadi masalah adalah jangan mengacaukan ajaran agama Hindu dengan menyimpangkan ajaran Catur Warna menjadi sistem Kasta. Kasta bukan bagian dari ajaran Hindu. Jangan samakan Catur Warna dengan Kasta. Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Jangan ikut-ikutan mempelintir ajaran Veda, karena dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta itu pembelokan dari Warna yang menempatkan atau penggolongan manusia berdasarkan pekerjaan, bukan keturunan. Tapi sistem Kasta dipertahankan yang merasa dapat keistimewaan dengan berbagai alasan. Sementara masyarakat awam memelihara juga dengan polos.
Kini saatnya umat Hindu harus sadar bahwa sebenarnya dalam Hindu tidak mengenal sistem Kasta, yang ada sebenarnya adalah Catur Warna. Sudah sepatutnya kita sebagai umat Hindu membuang jauh-jauh kata Kasta dari semua lilelatur buku yang ada, baik yang di dalam buku-buku pelajaran agama Hindu maupun buku-buku umum lainnya. Kita harus menyadari penyebutan Kasta itulah yang membuat sekat, pengkotaan yang dapat memecah belah umat, itu dulu yang dilakukan kaum penjajah. Sekarang masa sudah zaman milenial, kita juga harus kembalikan ke yang sebenarnya. Umat Hindu harus membuka pengetahuan Veda agar tidak mudah dibodohi. Saatnya generasi muda Hindu harus berani berbicara. Benar katakan benar. Salah katakan salah. Jangan takut mengungkapkan kebenaran (Dharma).
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial itu bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra (lahir dari rahim ibu). Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orang tuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Waisya. Begitu pula kalau orang tuanya Sudra, anaknya Bisa saja Brahmana atau Kesatria atau Waisya. Begitu pula dengan Ksatria dan Waisya. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Jadi pembagian Catur Warna ini tidaklah dimaksud untuk menentukan tinggi rendah derajatnya tetapi menurut kepentingan, fungsi dan kesanggupan golongan itu masing-masing. Pembagian ini sebenarnya tidak dimaksud mengagung-agungkan Brahmana atau merendahkan derajat Sudra hal ini hanya merupakan simbol belaka. berdasarkan pekerjaan bukan keturunan.
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua manusia sama dihadapan Tuhan. Semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudaiva Kutumbakam).
Keturunan juga bisa menjadi kebanggaan seseorang. Namun kebanggaan yang berlebihan akan menimbulkan keangkuhan. Kesombongan akan keturunan sehingga akan merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mengagung-agungkan keturunan atau kebangsawanan sangatlah tidak baik, apalagi menganggap orang lain lebih rendah. Agama Hindu mengajarkan agar setiap orang saling menghormati dan saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan konsep Tat Twam Asi dan Vasudaiva Kutumbakam. Tuhan menilai seseorang bukan karena keturunan yang dinilai adalah Dharma bhakti dan yajnanya. Demikian pula yang terpenting adalah memiliki etika moral yang tinggi.
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.
OM Shanti.
Asikkk nee🤘
❤❤❤❤❤
Wii nangun😎🤟
Semngat berkarya....keren" mntap
Semangat!
Bagus gekrai jadi buguru
Nyimak...sdh like subcribe dr youtube dewi caput bali
Mntap💥
seru banget
Mntp Semeton 🙏🏻😇
Top 👍👍👍
Mantap🤩🤩
Mantapppppppp🔥
keren 👌
Keren asli tiyang uleng Lampung salam semeton
Keren🤩🤩
Gagah kalii🔥🔥🔥
mantaaao
Keren banget 🔥🔥
Kerennn bangettt🔥
Kerenn bnget,, smngat trus buat konten
Keren kali🔥🔥
Mntap kak
Kerenn 👍
Amazingg🤩
🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
kereen 😍😍😍
Jeg herrr
Mantap🔥
kerennn 🤩
🔥🔥
Kerenn
🤙🏻🤙🏻
Jossss🔥🔥🔥🔥
Juu💨
Gek rai
Buk made sd kucup bunga
Ngorahang Meli nasi tpi kal ke alfa sing Meli nasi buin imih😭
Kanal yutub nak bali jek kal alih2in kal subscribe selama nu ngelah kuota internet
🤩🤩
🔥🔥💪🏼✨
Wonderful ✨✨
🤙🤙
Terus berkarya demi Bali💪
Oh niki sane di tiktok 😂
kok ada bawang nyaa yeee
Ceritanya masih ngambang, apa kal terjadi selanjutnya? Apakah gek memilih si bagus dengan kawin lari atau kengken :)
👍
Gekrai kuliah dulu kayak dekira
ada yg jual basreng ga?
2.00
Kasian
Knp y gk di bolehin pcrn
11:30
💦
Knaijwomannaomwoa
Maka dari itu aku tidak suka ama orang yang berkasta tinggi,
Keren🤩
Keren banget 🔥🔥
🔥🔥
🔥🔥
🔥🔥
🔥🔥
🔥🔥🔥