Semata Karenamu - Mario G Klau ( Cover by Hananu Hamutuk Piche Djk ) Live Record Halte Cafe Atambua
Вставка
- Опубліковано 5 жов 2024
- Original Song :
• MARIO G KLAU - SEMATA ...
Live Record Halte Cafe Atambua
Suport by Hananu Hamutuk Production
Vocal : Piche Djk
Keybord : Aldyn
Gitar Lead : Ady Dosantos
Akustik : Welly Baria
Drum : Obed Anwer
Bass : Dave Soares
Video : Ferdy Dosantos
Mixing & Mastering : Mino Seran
Location : Halte Cafe Atambua
Wuhuuuuu maju terus musik Atambua 🔥🔥🔥
Mntap bro semua 🙏
Terbaik👍
Mantap HH Band maju terus 🔥🔥🔥
Hananu Hamutuk the best👍🥰🥰👏
Mantap sukses terus Hananu Hamutuk
Salam dari Timor leste buat Guitaristny Dari Mauabara🎼🤘🔥
Mantul full bang piche Minggu ini ktg dari Kupang otw merapat 🤟😎🔥🔥🔥
Kk cover lagu bohongi hati mahalini Radja
4:16 - 4:21 merinding 🔥
Ayang Picheeeee❤😂
Gasssss trus🔥🔥🔥
Mntp kawan
Keren😃👏👏👏
Semoga bsa Duet bareng 😃🙏
lanjutkan komplit krenn
lanjut dave soares
terbaik
Keren kk,semangat terus 🙏🏻🙏🏻
🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
Lanjutkan!!!
Mntp2
Terbaik abang
Mantap hananu hamutuk teruslah berkarya
🔥🔥🔥
Paket komplit😅
👏👏
*AKUSTIK LEBIH COCOK*
#SaranDoank
Baru di zaman ini tukang cover lagu lebih terkenal daripada pencipta atau penyanyi lagu asli yang di-cover-nya. Seenak-enaknya menjadi penyanyi adalah penyanyi cover.
---
BAGAIMANA tidak, ia tak harus capek-capek berkarya, berproses menciptakan lagu, cukup dengan hanya menunggu munculnya karya-karya baru, tinggal dipilih lalu dinyanyikan ulang dengan format berbeda. Hasilnya diunggah di laman UA-cam, ditonton jutaan orang, semakin terkenal, dan berdampak pada ritme pentas yang padat. Uniknya, lagu yang dibawakan musisi aslinya hanya ditonton segelintir orang. Lebih ironis lagi, lagu-lagu yang diunggah sering kali tak memiliki izin resmi dari penciptanya. Kasus demikian jamak terjadi. Terbaru, Tri Suaka dan Zinidin Zindan, para penyanyi spesialis cover lagu, dituntut Erwin Agam selaku pencipta lagu Emas Hantaran. Lagu itu dinyanyikan ulang oleh mereka, diunggah di UA-cam, ditonton jutaan orang, mendatangkan pundi-pundi iklan, namun royalti sama sekali tidak mengalir ke pencipta lagu. Peristiwa serupa pernah dialami (almarhum) Didi Kempot yang berkali-kali memperingatkan agar para tukang cover lagunya membayar royalti, walaupun kenyataannya jauh panggang dari api.
Tukang Cover
Nasib baik memang memihak pada mereka yang memiliki suara merdu. Berbekal media sosial semacam UA-cam, mereka menemukan panggung. Media sosial menjadi kenyataan baru, memberi kesempatan sama bagi setiap orang untuk terkenal dan diidolakan tanpa harus capek-capek pergi ke Jakarta sebagaimana era sebelumnya. Lihatlah hari ini, siapa sangka di pelosok kampung, di kabupaten yang tak pernah terdengar melahirkan penyanyi-penyanyi kondang, kemudian kita mengenal sosok semacam Happy Asmara, Denny Caknan, Yeni Inka. Kenyataan yang demikian telah melenyapkan batas-batas geografis. Jakarta tidak lagi menjadi tolok ukur. Di hadapan dunia digital, menjadi penyanyi semudah bersenandung di kamar mandi. Karena itu, dalam lima tahun terakhir banyak bermunculan penyanyi, tapi tak banyak muncul pencipta lagu. Satu lagu dapat diubah, di-cover menjadi berbagai macam genre, dari pop, koplo, hingga jaranan. Satu lagu dapat dinyanyikan ratusan penyanyi. Penonton tinggal pilih yang disukai. Mau model apa pun, di dunia digital, pasti akan tersedia. Apabila belum ada, cukup meminta penyanyi idolanya membawakan dalam format yang diinginkan lewat kolom komentar di laman media sosialnya. Semudah dan sepraktis itu.
Keintiman terjadi antara penonton dan penyanyi. Semakin banyak komentar yang menyertai lagu itu dianggap semakin baik. Sebab, dengan demikian mereka -para penonton itu- telah melihat dan menikmatinya. Tubuh-tubuh penonton yang biasanya hadir di depan panggung itu direduksi menjadi angka-angka. Angka itu yang menentukan iklan (monetisasi). Bagi penonton, alih-alih gratis menikmati tanpa membeli tiket, para penyanyi itu justru dibayar mahal oleh UA-cam lewat iklan yang ada. Tak mengherankan kemudian nasib tukang cover lagu berubah drastis, dari pengamen jalanan menjadi orang kaya baru. Peluh keringat saat mengamen di depan warung makan dan sumpeknya bus antarkota tak lagi dirasakannya. Panggung mereka telah berubah.
Begitulah nasib dunia musik kita hari ini. Satu karya musik tercipta, seketika terbajak berkali-kali. Bukankah media sosial semacam UA-cam memiliki perangkat dalam mendeteksi plagiarisme-pembajakan, hak cipta, dan royalti? Memang benar, namun harus diketahui pula, sebagaimana penjelasan saya dalam artikel jurnal berjudul ”Criticising Government Regulations on Music Royalty in Indonesia and Some Copyright Issues of Music Works in the Digital Space” (2021), banyak penyanyi cover yang menyiasati agar lagu yang di-cover-nya tak terdeteksi sebagai pembajakan. Salah satunya dengan menampilkan gaya musik berbeda, mengubah irama, tempo, merekayasa melodi. UA-cam membacanya sebagai karya baru, bukan karya yang berbasis cover. Akibatnya, lagu cover itu lolos dari skrining hak cipta oleh UA-cam. Tukang cover sepenuhnya mendapat penghasilan dari iklan yang masuk tanpa berbagi dengan pemegang resmi hak ciptanya. Mereka dengan bebas menyanyikan ulang lagu orang lain, tanpa takut dianggap menjiplak, walau kenyataannya memang demikian.
@@Ricky_Amfotis36 *MIRIS*