Oleh : W.S. Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. ………………… Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun. Dan di langit; para tekhnokrat berkata : bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam. Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ……………… Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan
Mbak bisa lihat dari jenis puisi yang dibacakan Mbak. Kalau puisi seperti ini, saya bacakan outdoor tanpa mic, di UI pula yg luas, seandainya pelan, terekam gak? hehe lagipula puisi ini memang tentang protes sosial. Coba cek lagi video saya yg lain ketika saya membaca puisi Sapardi Djoko Damono Mbak hehee
Di video Selamat Pagi Indonesia masih mahasiswa tingkat akhir. Belum menikah dan belum punya anak. Hehee sekarang sudah 2 jagoannya hehe Selamat yaa.. Semoga bisa semakin tinggi lagi berprestasinya dan semakin cinta sastra.
Penjiwaannya masuk, arwah WS Rendra seakan merasuki mbak nya.... Mantap, lanjut kan Mabak.
Meskipun pembacaanya di luar ruangan, atmosfer nya masih terasa, suaranya tetap menggelegar.. powernya keren🤩🤩
Wah terima kasih, Mas..🙏🙏
Keren, ini suara menggelegar jd termotivasi
Terbaik☕
Nuhun kang..
Kerennnnn bangett
Keren
Oleh : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan
mantaaap kakak kuuu😍😍😍
Love it❤️
❤️❤️
Ya gini nih kalau yang baca orang juara. 👏👏👏
Wah terima kasih 😆
Kok lantang smua suaranya .....gg da variasi suara lain lg y.....monoton suaranya
Mbak bisa lihat dari jenis puisi yang dibacakan Mbak. Kalau puisi seperti ini, saya bacakan outdoor tanpa mic, di UI pula yg luas, seandainya pelan, terekam gak? hehe lagipula puisi ini memang tentang protes sosial. Coba cek lagi video saya yg lain ketika saya membaca puisi Sapardi Djoko Damono Mbak hehee
Rindu Kaka mbaca puisi selamat pagi Indonésia ka:(
Hehee siap nanti dibacain ya. Nanti kita lihat 2012-2019 beda apa gak 😂😂 Beda ukuran badan kayaknya hahahaa..
Ayu Puspa Nanda
Iya kayaknya beda🤣berkat Kaka aq jd juara kabupatèn ka😂
Di video Selamat Pagi Indonesia masih mahasiswa tingkat akhir. Belum menikah dan belum punya anak. Hehee sekarang sudah 2 jagoannya hehe Selamat yaa.. Semoga bisa semakin tinggi lagi berprestasinya dan semakin cinta sastra.
Ayu Puspa Nanda
Amin makasih ka
Keren