🔴 LIVE - JALSAH ULA BAHTSUL MASAIL KUBRO | PONDOK PESANTREN HM LIRBOYO

Поділитися
Вставка
  • Опубліковано 20 вер 2024
  • Dimulai Jam 19:30 WIB
    Disiarkan Langsung di Channel Pondok HM Lirboyo
    Rabu-Kamis 06-07 Desember 2023 M.
    TEMA PEMBAHASAN:
    2. DILEMATIK TALAK PENGADILAN AGAMA | JF. AL-AQSHO
    Kontak & Informasi : lynk.id/pphm_l...
    #lirboyo #pondoklirboyo #pphmlirboyo
    Deskripsi masalah
    Sebagai umat muslim yang islami, kita semua diwajibkan untuk mematuhi segala peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah selagi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan hukum syari’at. Namun tak jarang dari peraturan tersebut yang sejatinya bertentangan dengan syari’at, akan tetapi kita tetap dituntut untuk mentaati perturan itu agar dapat hidup dengan tenang di negara demokrasi ini. Salah satu contohnya ialah peraturan tentang talak.
    Ketetapan hukum Indonesi menyatakan bahwa talak hanya sah jika dilakukan di depan pengadilan. Aturan tersebut tercermin dalam pasal 39 ayat 1 undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 65 UU no. 17 tahun 1989 dan KHI (kompilasi hukum islam) pasal 115. Tiga pasal tersebut memiliki bunyi yang sama, yaitu sebagai berikut:
    “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
    Pasal di atas, dengan tegas memberikan wewenang bagi pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus perceraian, bahkan dalam pasal 49 UU no. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU no. 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama memiliki kekuatan absolut untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata (termasuk cerai) orang Islam. Dan Dengan dicatatnya pasal di atas dalam KHI -yang seharusnya mengakomodir hukum islam, justru akan menyebabkan salah satu pasal KHI bertentangan dengan hukum islam itu sendiri.
    Dengan adanya peraturan tersebut akan menyebabkan kegelisahan bagi suami. Bagai pedang berbilah dua, satu sisi menurut syari’at talak yang ia jatuhkan telah sah, dan di sisi lain pihak pengadilan tidak mengesahkannya. Akibatnya adalah seorang istri masih tetap memiliki payung hukum yang dilindungi oleh pengadilan dan ia bisa menuntut sang suami jika nanti ia tidak diberikan nafkah dan tidak mendapatkan warisan. Padahal secara syari’at, si istri justru sudah tidak berhak mendapatkan nafkah dan warisan oleh karena talak tiga yang sudah dijatuhkan oleh si suami meskipun pengadilan tidak mengabsahkan talak tersebut.
    Pertanyaan:
    a. Dapatkah dibenarkan tindakan pengadilan dalam deskripsi?
    b. Jika tidak dibenarkan, siapa yang lebih dimenangkan jika suami-istri saling menuntut?
    c. Apa solusi yang paling tepat untuk menyikapi peraturan pemerintah dalam masalah talak?

КОМЕНТАРІ • 21