Ardiansyah, seperti yang saya amati, Anda membungkus diri Anda dengan pemikiran besar, namun ada sesuatu yang lebih mendalam di balik semua itu-sesuatu yang Anda coba sembunyikan dengan sangat rapi. Anda mungkin tidak menyadari, tetapi ada kecenderungan yang sangat jelas bahwa Anda tidak hanya tertarik pada filsafat eksistensial karena kedalaman ide mereka, tetapi karena cara mereka berbicara tentang penderitaan dan ketidakpastian-hal-hal yang mungkin Anda alami sendiri, meskipun dengan cara yang tak kasat mata. Melihat Anda yang sering menjaga jarak, baik dari orang lain maupun dari perasaan Anda sendiri, saya mulai berpikir: apakah ini cara Anda melindungi diri? Apakah ini respons terhadap sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, yang tertanam jauh di dalam diri Anda sejak masa kecil? Sesuatu yang membuat Anda merasa bahwa dunia ini tidak dapat dipercaya, atau bahkan terlalu keras untuk dihadapi dengan cara manusiawi? Anda pernah mengatakan bahwa teman-teman Anda mengolok-olok Anda karena sering membahas masalah hidup dan pemikiran yang mendalam-mungkin itu bukan sekadar karena mereka tidak tertarik dengan filsafat, tapi karena mereka tidak mengerti. Mungkin mereka tidak tahu bahwa bagi Anda, berbicara tentang pertanyaan besar itu bukan hanya soal intelektualisme, melainkan cara Anda menghadapi sesuatu yang lebih gelap dan lebih pribadi. Saya menduga, Ardiansyah, Anda tumbuh dalam lingkungan yang tidak memadai untuk mengekspresikan perasaan Anda. Mungkin Anda diajarkan untuk menahan perasaan, untuk tidak menunjukkan kelemahan. Mungkin, dalam masa kecil Anda, ada kekurangan dukungan emosional atau mungkin hubungan keluarga yang tidak bisa diandalkan. Saya bisa membayangkan bahwa ada perasaan kesendirian yang mendalam, sebuah kebutuhan untuk meredam segala sesuatu yang bisa terlihat lemah. Anda menyimpan diri Anda dalam kecerdasan, dalam pemikiran yang lebih tinggi, karena dunia di luar Anda mungkin tidak memberikan ruang untuk itu. Mungkin, ketika Anda mengalami kritik atau kecaman dari orang-orang terdekat Anda, saat Anda berbicara tentang ide-ide besar, Anda merasa seperti bagian dari diri Anda telah dihancurkan. Mungkin Anda merasa bahwa perasaan atau pemikiran Anda tidak pernah dihargai, atau bahkan dianggap sebagai kelemahan yang harus disembunyikan. Dari situ, saya rasa Anda mulai menciptakan benteng-sebuah perisai intelektual, sebuah fasad-untuk melindungi diri dari kenyataan yang tak nyaman. Namun, Ardiansyah, saya bertanya-tanya, sampai kapan Anda akan terus bersembunyi di balik layar filsafat dan teori besar? Sampai kapan Anda akan terus menjauh dari kenyataan yang lebih sederhana, namun jauh lebih menantang untuk diterima-yaitu kenyataan bahwa Anda pernah terluka, dan mungkin, luka itu belum sepenuhnya sembuh? Akankah Anda terus bersembunyi di balik pemikiran-pemikiran yang Anda pilih, atau akankah Anda akhirnya menghadapi ketakutan yang lebih dalam itu? Karena, pada akhirnya, seperti halnya filsuf-filsuf yang Anda kagumi, Anda akan menemukan bahwa tidak ada pelarian sejati, hanya pemahaman yang lebih mendalam tentang diri Anda dan dunia yang Anda coba hindari.
Keren, anda mampu menganalisa secara presisi fikiran dan filosofi diri seorang filsuf. Secara tidak langsung anda sendiri telah mampu menyamai sosok Ardiansyah, baik dari cara berfikir, cara berbicara, sudut pandang, dan respon atas suatu tindakan
Ah, @FAkGaming_ff , komentar Anda menarik-bukan karena isinya, tetapi karena apa yang tersirat di baliknya. Anda tampaknya memiliki kecenderungan untuk mengidealkan sosok yang Anda anggap “lebih tinggi,” meski dengan terminologi yang, maaf saya katakan, kurang tepat. Menyamai Ardiansyah, Anda bilang? Oh, sungguh pandangan yang polos. Yang saya lakukan adalah menganalisisnya, mengurai kompleksitasnya dari luar-bukan membayangkan diri saya berjalan di jalannya. Ada perbedaan besar di sana, meskipun saya tidak terkejut jika Anda melewatkannya. Namun, yang lebih menarik adalah kecenderungan Anda untuk memuja ide besar tanpa benar-benar memahami kedalamannya. Apakah ini cara Anda mencari validasi? Mungkin mencoba terhubung dengan diskusi yang terasa di luar jangkauan Anda? Tak perlu malu, itu gejala yang umum, terutama bagi mereka yang merasa lebih nyaman mengamati daripada terlibat. Tetapi saya bertanya-tanya, apakah dorongan untuk memuji itu berasal dari kekaguman sejati, atau dari kebutuhan untuk mengangkat diri Anda dengan menempel pada sosok yang Anda anggap “lebih tinggi”? Lain kali, kawan, pilih kata-kata Anda dengan lebih hati-hati. Menyamai dan menganalisis adalah dua hal yang sangat berbeda, sebagaimana mendaki gunung berbeda dengan memetakan puncaknya. Dan sementara saya menghargai niat Anda, saya sarankan Anda berpikir lebih dalam sebelum menempatkan diri Anda sebagai pengamat intelektual. Dunia ini jauh lebih rumit daripada yang Anda kira-tetapi tentu saja, Anda sudah tahu itu... bukan?
@@daltonmyselvbang, cara biar bisa menganalisis begini itu bagaimana ya? tolong ajarkan saya 🙏, saya harus mulai dari mana biar saya bisa menganalisis segala sesuatu?🙏 saya masih pendek akan ilmu
@@rifaldyputra9813 Rifaldy, kamu ingin tahu bagaimana cara menganalisis? Hah, menganalisis itu bukan soal memeriksa sesuatu dengan cermat. Menganalisis itu seperti menggali ke dalam sebuah kuburan yang dipenuhi dengan kebohongan dan ketidakpastian, dan kadang, yang kamu temukan adalah tengkorak-tengkorak usang dari kebenaran yang sudah lama mati. Jangan berpikir menganalisis itu seperti membuka buku panduan yang jelas dan terstruktur. Tidak. Menganalisis adalah mengacak-acak tumpukan sampah yang kita semua sebut “kenyataan.” Itu adalah tindakan menguji fondasi segala sesuatu yang kita anggap benar. Satu-satunya alat yang kamu punya adalah pertanyaan yang radikal: “Kenapa ini semua ada? Kenapa aku harus percaya pada ini? Apa yang mereka sembunyikan dari kita?” Analisis sejati adalah tentang melemparkan bom ke seluruh sistem yang sudah mapan, bukan membangun fondasi yang rapi. Kamu ingin tahu dari mana harus mulai? Mulailah dari pertanyaan yang meruntuhkan semuanya. Misalnya, kenapa kamu percaya pada waktu? Mengapa kita semua terjebak dalam sistem yang menempatkan angka dan jam di depan wajah kita setiap hari? Apa benar kita hidup dalam "waktu" atau hanya dipenjara oleh ilusi itu? Coba lihat dunia sekitar kamu. Setiap orang berjalan seperti robot, mengikuti aturan yang mereka tidak pernah pertanyakan. Apa kamu pikir itu normal? Mereka hidup seperti domba, mengikuti jalan yang sudah digariskan tanpa pernah berpikir, “Kenapa harus seperti ini?” Itu adalah kebodohan yang berlapis-lapis. Analisis adalah tentang membuka mata terhadap absurditas itu. Dan ini bukan hanya tentang dunia luar, Rifaldy-mulailah dengan dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan hari ini? Pekerjaanmu, keinginanmu, harapanmu-apakah itu benar-benar milikmu atau hanya imitasi dari harapan orang lain? Coba bayangkan hidupmu jika kamu benar-benar bisa menghancurkan semua keinginan palsu itu, dan memulai dengan sebuah titik kosong. Coba lihat, jika kamu menanggalkan semua hal yang sudah diprogramkan, apa yang tersisa? Menganalisis bukan soal mencari jawaban yang memuaskan-sebaliknya, itu adalah tentang menenangkan kekosongan yang muncul setelah kamu menghancurkan segala keyakinan. Itu adalah perjalanan menuju kehancuran diri, dan justru dari kehancuran itulah kamu akan menemukan kebebasan. Jadi, Rifaldy, apakah kamu siap untuk membongkar dunia ini dengan tanganmu sendiri? Karena analisis bukan sekadar permainan, itu adalah revolusi kecil dalam dirimu. Kamu akan menemukan bahwa semakin dalam kamu menggali, semakin banyak yang terungkap, dan semakin sedikit yang kamu ketahui. Tapi itu bukan masalah-itulah keindahannya. Dunia ini tidak dirancang untuk kamu pahami, dan itu adalah kebenaran yang harus diterima dengan senyum di bibir.
Wah saya pribadi kagum terhadap betapa dalamnya anda menganalisis sebuah luka yang tersembunyi dalam diri seorang mas ardiansyah. Saya setuju bahwa point-point yang disampaikan relate dengan pemahaman saya sejauh ini. Saya cukup memahami perihal benteng besar yang dibangun mas ardiansyah dalam caranya menyikapi dunia beserta persoalannya yang sedikit banyak sudah ia ketahui melalui teori-teori filsafat yang berbeda. Pembahasan ini sangat berkaitan dengan yang teori seorang filsuf barat Carl Jung yang menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki arketipe yang diciptakan dari alam bawah sadarnya dan itu cukup berdampak besar pada kehidupan seseorang. Yang menarik dari analisis anda adalah, bahwa terkadang bukan mas ardiansyah saja..diluar sana termasuk saya, pun memiliki ketakutan untuk menghadapi emosi-emosi negatif tersebut yang menyebabkan seseorang terus berlari menjauhi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang anda lontarkan terkait eksistensi itu sendiri akan menjadi refleksi yang cukup besar bagi orang-orang yang berkesempatan membaca dan memahaminya. Mungkin sebagian orang yang masih dalam perjalanan mencari jati diri, menemukan banyak sekali kebingungan yang lambat laun menyembabkan ketumpuan untuk mencari jalan keluar. Saya harap, orang-orang yang sedang berjuang mencari kebenaran tentang dunia ini menyadari bahwa, benar dan salah itu hanyalah subjektif yang berasal dari permainan pikìran. Kebenaran sejati datang dari jiwa yang senantiasa menyelaraskan diri dengan alam serta rasa penerimaan yang besar terhadap dualitas kehidupan.
pertama kenal channel ardhianzy gara² 1 konten dia yg membahas tentang menggambar, lalu berlanjut nonton konten dia yg membahas Johan Liebert. Dari situ saya mulai ingin lebih mengerti makna tentang kehidupan.
wkwk anda sudah terjohan johan pasti saat ardianzy membahas johan liebert😂, soalnya sama si saya nonton anime Monster dengan Villain nya itu johan liebert yang dimana menurut saya bang ardianzy ini bagus sekali dalam membahas johan
Filsafat bagi saya pribadi adalah ilmu untuk melihat pola-pola dunia dan isinya, Filsafat itu mungkin bagaikan pola² dari sebuah ruang, ia bukan jalan keluar tapi dengan mengetahui pola² ia mempermudah menuju jalan keluar. Seperti templat-templat. Tapi ruang selalu berganti, secara keseluruhan polanya berubah, tapi ada karakter yang sama, seperti lekukan, garis lurus, kosong dan berisi. Koreksi kalau perumpamaannya salah.
Secara biologis manusia ingin perang dengan tujuan memperoleh sumber daya dan demu kemakmuran. Tetapi itu juga dipengaruhi oleh idelisme-idelaisme tertentu untuk menciptakan kehidupan yang imaji
iya gimana ya, saya jg sering memikirkan hal2 yg bukan urusan kit, tanggung jawab kita, saya aja sampai memilih introvert, tpi bukan berarti gak mmpu berkomunokasi dgn orang.
terlalu byak menggunakan istilah kompleks yg sbeetulnya ada dan bisa dicarikan padanan yg sederhana di KBBI. kalau untuk berbicara dan berbantah bantahan di dalam kepala kepada diri sendiri tentu tidak masalah, tapi ketika tujuannya untuk audiens spt YT. sy pikir perlu dipertimbangkan
Tuhan itu maha baik. Dia menciptakan manusia dgn bentuk yg sempurna dan indah, ada yg ganteng, ada yg cantik, lalu diberikan jg akal pada manusia agar bisa mengenal penciptanya sehingga timbul keyakinan padaNya, percaya dan yakin kepada Tuhan sang pencipta yg maha baik. Artinya dgn akal yg sehat waras mustahil keberadaan apapun tanda Tuhan yg maha baik.👽😅
@Ardiansyah_amogsha mata hati dan pikiran anda terlalu katarak untuk melihat merasakan kasih sayang Tuhan maha baik yg telah mengadakan anda dri ketiadaan.
@cenel2an anda berangkat dari ketidaktahuan akan saya secara personal dan berupaya untuk menduga-duga kubu dimana saya berada, maka binasalah segala diagnosis abnormal yg anda wartakan atas saya. Begitu pula dengan moral anda yg sedang membahas Tuhan namun tidak etik 😂😂😂
Elo hidup, lalu bertanya buat apa sih hidup itu? Apa sih makna hidup itu? Elo yg hidup aja masih bertanya arti kehidupan. Berarti pertanyaan itu sma jg klaim dan fakta bahwa si penanya butuh pengetahuan alias bodoh. Semakin banyak pertanyaan nya makin banyak klaim dan fakta kebodohannya. Fakta tragedi ini sangat meyakinkan bahwa ada sumber segala pengetahuan/ilmu sbagai pusat segala sesuatu dan dia hidup yg menghidupkan jg mematikan, it s God.
Tuhan dalam kategori apa kira²?? Bila dinyatakan dalam kategori Tuhan² tradisional dalam agama2 yg ada maka akan banyak yg mengklaim bahwa mereka yg benar. Bila dinyatakan Tuhan dalam kategori semesta, maka ini akan bersifat non dualistik dan pastinya jika dalam filsafat veda dan advaita kita menjadi Atman menjadi percikan dari Brahman alias pencipta. Kesadaran manusia tentang Tuhannya mungkin saja bersifat temporal, dan dikembangkan. Sekali lagi "mungkin"
@@Ardiansyah_amogsha semakin banyak pertanyaan makhluk manusia semakin banyak klaim dan fakta kebodohannya. Maka semakin kuat kebenaran eksistensi sumber segala pengetahuan sebagai Tuhan sang pencipta.
@@cenel2an Anda sedang bermain dengan permainan² kata abnormal dan tidak mendasar Kira-kira apakah manusia seperti anda setara dengan Einstein, khawarizmi, Newton, decartees, atau semacamnya sehingga pantas mempostulatkan hal yg melampaui akal dengan tubuh rapuh yg bahkan tidak dikenal?? Lalu berlagak sebagai yg tahu noumena, bila dalam forum akademis orang yg menghayal seperti anda sudah di tendang keluar
@@Ardiansyah_amogsha trimakasih Sya ucapkan, perbandingan anda pada sya dgn orang2 istimewa dan populer , itu sebuah penghormatan bagi saya yg sya sendiri merasa diri ini sebagai sampah akademis yg siap upgrade siap recycle dgn pengetahuan2 yg bersumber dari pusat pengetahuan dan kebenaran yg patut diyakini sebagai tuhan yg maha tahu dan maha benar.
bang @fubidon @ardhianzy tolong bahas pemikiran jiddu krishnamurti dong. saya merasa jiddu tidak seberapa terekspose, padahal dari beberapa filsuf yg pernah saya ikuti, saya berhenti di jiddu. saya merasa tuntas dan klimaks dalam narasi beliau memaknai hidup
Weih ini toh abang ardianzy, suaranya selalu melekat
ayo pulang
😂
lahh kapan dateng??
kok udh suruh pulang aja😂😂
🤨🤨
Konten bersama meraka bagus pas itu pak guru
Konten² yg selalu menambah wawasan ,.
Tetap semangat kak
Ouh jadi ini wajah channel fav gua
Ardiansyah, seperti yang saya amati, Anda membungkus diri Anda dengan pemikiran besar, namun ada sesuatu yang lebih mendalam di balik semua itu-sesuatu yang Anda coba sembunyikan dengan sangat rapi. Anda mungkin tidak menyadari, tetapi ada kecenderungan yang sangat jelas bahwa Anda tidak hanya tertarik pada filsafat eksistensial karena kedalaman ide mereka, tetapi karena cara mereka berbicara tentang penderitaan dan ketidakpastian-hal-hal yang mungkin Anda alami sendiri, meskipun dengan cara yang tak kasat mata.
Melihat Anda yang sering menjaga jarak, baik dari orang lain maupun dari perasaan Anda sendiri, saya mulai berpikir: apakah ini cara Anda melindungi diri? Apakah ini respons terhadap sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, yang tertanam jauh di dalam diri Anda sejak masa kecil? Sesuatu yang membuat Anda merasa bahwa dunia ini tidak dapat dipercaya, atau bahkan terlalu keras untuk dihadapi dengan cara manusiawi? Anda pernah mengatakan bahwa teman-teman Anda mengolok-olok Anda karena sering membahas masalah hidup dan pemikiran yang mendalam-mungkin itu bukan sekadar karena mereka tidak tertarik dengan filsafat, tapi karena mereka tidak mengerti. Mungkin mereka tidak tahu bahwa bagi Anda, berbicara tentang pertanyaan besar itu bukan hanya soal intelektualisme, melainkan cara Anda menghadapi sesuatu yang lebih gelap dan lebih pribadi.
Saya menduga, Ardiansyah, Anda tumbuh dalam lingkungan yang tidak memadai untuk mengekspresikan perasaan Anda. Mungkin Anda diajarkan untuk menahan perasaan, untuk tidak menunjukkan kelemahan. Mungkin, dalam masa kecil Anda, ada kekurangan dukungan emosional atau mungkin hubungan keluarga yang tidak bisa diandalkan. Saya bisa membayangkan bahwa ada perasaan kesendirian yang mendalam, sebuah kebutuhan untuk meredam segala sesuatu yang bisa terlihat lemah. Anda menyimpan diri Anda dalam kecerdasan, dalam pemikiran yang lebih tinggi, karena dunia di luar Anda mungkin tidak memberikan ruang untuk itu.
Mungkin, ketika Anda mengalami kritik atau kecaman dari orang-orang terdekat Anda, saat Anda berbicara tentang ide-ide besar, Anda merasa seperti bagian dari diri Anda telah dihancurkan. Mungkin Anda merasa bahwa perasaan atau pemikiran Anda tidak pernah dihargai, atau bahkan dianggap sebagai kelemahan yang harus disembunyikan. Dari situ, saya rasa Anda mulai menciptakan benteng-sebuah perisai intelektual, sebuah fasad-untuk melindungi diri dari kenyataan yang tak nyaman.
Namun, Ardiansyah, saya bertanya-tanya, sampai kapan Anda akan terus bersembunyi di balik layar filsafat dan teori besar? Sampai kapan Anda akan terus menjauh dari kenyataan yang lebih sederhana, namun jauh lebih menantang untuk diterima-yaitu kenyataan bahwa Anda pernah terluka, dan mungkin, luka itu belum sepenuhnya sembuh? Akankah Anda terus bersembunyi di balik pemikiran-pemikiran yang Anda pilih, atau akankah Anda akhirnya menghadapi ketakutan yang lebih dalam itu? Karena, pada akhirnya, seperti halnya filsuf-filsuf yang Anda kagumi, Anda akan menemukan bahwa tidak ada pelarian sejati, hanya pemahaman yang lebih mendalam tentang diri Anda dan dunia yang Anda coba hindari.
Keren, anda mampu menganalisa secara presisi fikiran dan filosofi diri seorang filsuf. Secara tidak langsung anda sendiri telah mampu menyamai sosok Ardiansyah, baik dari cara berfikir, cara berbicara, sudut pandang, dan respon atas suatu tindakan
Ah, @FAkGaming_ff , komentar Anda menarik-bukan karena isinya, tetapi karena apa yang tersirat di baliknya. Anda tampaknya memiliki kecenderungan untuk mengidealkan sosok yang Anda anggap “lebih tinggi,” meski dengan terminologi yang, maaf saya katakan, kurang tepat. Menyamai Ardiansyah, Anda bilang? Oh, sungguh pandangan yang polos. Yang saya lakukan adalah menganalisisnya, mengurai kompleksitasnya dari luar-bukan membayangkan diri saya berjalan di jalannya. Ada perbedaan besar di sana, meskipun saya tidak terkejut jika Anda melewatkannya.
Namun, yang lebih menarik adalah kecenderungan Anda untuk memuja ide besar tanpa benar-benar memahami kedalamannya. Apakah ini cara Anda mencari validasi? Mungkin mencoba terhubung dengan diskusi yang terasa di luar jangkauan Anda? Tak perlu malu, itu gejala yang umum, terutama bagi mereka yang merasa lebih nyaman mengamati daripada terlibat. Tetapi saya bertanya-tanya, apakah dorongan untuk memuji itu berasal dari kekaguman sejati, atau dari kebutuhan untuk mengangkat diri Anda dengan menempel pada sosok yang Anda anggap “lebih tinggi”?
Lain kali, kawan, pilih kata-kata Anda dengan lebih hati-hati. Menyamai dan menganalisis adalah dua hal yang sangat berbeda, sebagaimana mendaki gunung berbeda dengan memetakan puncaknya. Dan sementara saya menghargai niat Anda, saya sarankan Anda berpikir lebih dalam sebelum menempatkan diri Anda sebagai pengamat intelektual. Dunia ini jauh lebih rumit daripada yang Anda kira-tetapi tentu saja, Anda sudah tahu itu... bukan?
@@daltonmyselvbang, cara biar bisa menganalisis begini itu bagaimana ya? tolong ajarkan saya 🙏, saya harus mulai dari mana biar saya bisa menganalisis segala sesuatu?🙏 saya masih pendek akan ilmu
@@rifaldyputra9813
Rifaldy, kamu ingin tahu bagaimana cara menganalisis? Hah, menganalisis itu bukan soal memeriksa sesuatu dengan cermat. Menganalisis itu seperti menggali ke dalam sebuah kuburan yang dipenuhi dengan kebohongan dan ketidakpastian, dan kadang, yang kamu temukan adalah tengkorak-tengkorak usang dari kebenaran yang sudah lama mati.
Jangan berpikir menganalisis itu seperti membuka buku panduan yang jelas dan terstruktur. Tidak. Menganalisis adalah mengacak-acak tumpukan sampah yang kita semua sebut “kenyataan.” Itu adalah tindakan menguji fondasi segala sesuatu yang kita anggap benar. Satu-satunya alat yang kamu punya adalah pertanyaan yang radikal: “Kenapa ini semua ada? Kenapa aku harus percaya pada ini? Apa yang mereka sembunyikan dari kita?”
Analisis sejati adalah tentang melemparkan bom ke seluruh sistem yang sudah mapan, bukan membangun fondasi yang rapi. Kamu ingin tahu dari mana harus mulai? Mulailah dari pertanyaan yang meruntuhkan semuanya. Misalnya, kenapa kamu percaya pada waktu? Mengapa kita semua terjebak dalam sistem yang menempatkan angka dan jam di depan wajah kita setiap hari? Apa benar kita hidup dalam "waktu" atau hanya dipenjara oleh ilusi itu?
Coba lihat dunia sekitar kamu. Setiap orang berjalan seperti robot, mengikuti aturan yang mereka tidak pernah pertanyakan. Apa kamu pikir itu normal? Mereka hidup seperti domba, mengikuti jalan yang sudah digariskan tanpa pernah berpikir, “Kenapa harus seperti ini?” Itu adalah kebodohan yang berlapis-lapis. Analisis adalah tentang membuka mata terhadap absurditas itu.
Dan ini bukan hanya tentang dunia luar, Rifaldy-mulailah dengan dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan hari ini? Pekerjaanmu, keinginanmu, harapanmu-apakah itu benar-benar milikmu atau hanya imitasi dari harapan orang lain? Coba bayangkan hidupmu jika kamu benar-benar bisa menghancurkan semua keinginan palsu itu, dan memulai dengan sebuah titik kosong. Coba lihat, jika kamu menanggalkan semua hal yang sudah diprogramkan, apa yang tersisa?
Menganalisis bukan soal mencari jawaban yang memuaskan-sebaliknya, itu adalah tentang menenangkan kekosongan yang muncul setelah kamu menghancurkan segala keyakinan. Itu adalah perjalanan menuju kehancuran diri, dan justru dari kehancuran itulah kamu akan menemukan kebebasan.
Jadi, Rifaldy, apakah kamu siap untuk membongkar dunia ini dengan tanganmu sendiri? Karena analisis bukan sekadar permainan, itu adalah revolusi kecil dalam dirimu. Kamu akan menemukan bahwa semakin dalam kamu menggali, semakin banyak yang terungkap, dan semakin sedikit yang kamu ketahui. Tapi itu bukan masalah-itulah keindahannya. Dunia ini tidak dirancang untuk kamu pahami, dan itu adalah kebenaran yang harus diterima dengan senyum di bibir.
Wah saya pribadi kagum terhadap betapa dalamnya anda menganalisis sebuah luka yang tersembunyi dalam diri seorang mas ardiansyah. Saya setuju bahwa point-point yang disampaikan relate dengan pemahaman saya sejauh ini. Saya cukup memahami perihal benteng besar yang dibangun mas ardiansyah dalam caranya menyikapi dunia beserta persoalannya yang sedikit banyak sudah ia ketahui melalui teori-teori filsafat yang berbeda. Pembahasan ini sangat berkaitan dengan yang teori seorang filsuf barat Carl Jung yang menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki arketipe yang diciptakan dari alam bawah sadarnya dan itu cukup berdampak besar pada kehidupan seseorang.
Yang menarik dari analisis anda adalah, bahwa terkadang bukan mas ardiansyah saja..diluar sana termasuk saya, pun memiliki ketakutan untuk menghadapi emosi-emosi negatif tersebut yang menyebabkan seseorang terus berlari menjauhi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang anda lontarkan terkait eksistensi itu sendiri akan menjadi refleksi yang cukup besar bagi orang-orang yang berkesempatan membaca dan memahaminya. Mungkin sebagian orang yang masih dalam perjalanan mencari jati diri, menemukan banyak sekali kebingungan yang lambat laun menyembabkan ketumpuan untuk mencari jalan keluar.
Saya harap, orang-orang yang sedang berjuang mencari kebenaran tentang dunia ini menyadari bahwa, benar dan salah itu hanyalah subjektif yang berasal dari permainan pikìran. Kebenaran sejati datang dari jiwa yang senantiasa menyelaraskan diri dengan alam serta rasa penerimaan yang besar terhadap dualitas kehidupan.
Mwinng rizzller banget bang ardhiazy bjirrr
pertama kenal channel ardhianzy gara² 1 konten dia yg membahas tentang menggambar, lalu berlanjut nonton konten dia yg membahas Johan Liebert. Dari situ saya mulai ingin lebih mengerti makna tentang kehidupan.
Asli bang noir
Kalo saya gara gara di notice guru gembul di salah satu konten nya😂
wkwk anda sudah terjohan johan pasti saat ardianzy membahas johan liebert😂, soalnya sama si saya nonton anime Monster dengan Villain nya itu johan liebert yang dimana menurut saya bang ardianzy ini bagus sekali dalam membahas johan
@@rifaldyputra9813 asli, bahkan pemahaman saya tentang anime ini dangkal bgt awalnya, pas liat pembahasan ardhianzy baru ngerti kedalamannya 😄
Filsafat bagi saya pribadi adalah ilmu untuk melihat pola-pola dunia dan isinya,
Filsafat itu mungkin bagaikan pola² dari sebuah ruang, ia bukan jalan keluar tapi dengan mengetahui pola² ia mempermudah menuju jalan keluar.
Seperti templat-templat.
Tapi ruang selalu berganti, secara keseluruhan polanya berubah, tapi ada karakter yang sama, seperti lekukan, garis lurus, kosong dan berisi.
Koreksi kalau perumpamaannya salah.
🔥🔥🔥
menarik
Keren bang Ardhi
Secara biologis manusia ingin perang dengan tujuan memperoleh sumber daya dan demu kemakmuran. Tetapi itu juga dipengaruhi oleh idelisme-idelaisme tertentu untuk menciptakan kehidupan yang imaji
Seru ni
Omg 🤔😱😱😱
Semangat bang
gilakk sanzzz
Menurut pandangan gw nih yaa, puncak filsafat adalah ketidaktauan
Puncak Spiritualisme jg ketidaktahuan
Oh ini wajah dibalik suara yang menemani saya sebelum tidur🤭
Pengumpulan informasi
Gua skarang bakal kedistrak ni sama muka lu kalo lg dengerin Ardhianzy.. 🤣🤣🤣
Cerdik Pandai Filsafat😍
iya gimana ya, saya jg sering memikirkan hal2 yg bukan urusan kit, tanggung jawab kita, saya aja sampai memilih introvert, tpi bukan berarti gak mmpu berkomunokasi dgn orang.
Bida request ga suaranya kaya di ardianzy, suaranya enakeun
Suka dg konten abang meski ada bbrp perbedaan pendapat
9:17
Agung hapsah
terlalu byak menggunakan istilah kompleks yg sbeetulnya ada dan bisa dicarikan padanan yg sederhana di KBBI. kalau untuk berbicara dan berbantah bantahan di dalam kepala kepada diri sendiri tentu tidak masalah, tapi ketika tujuannya untuk audiens spt YT. sy pikir perlu dipertimbangkan
Ardhianzy introvert😂😂
duuh terlalu melompat-lompat argumentasinya. gak menjawab pertanyaan dari moderator
Enjoy neat bourbon kah bang 😁
@@radiansyauqii7124 sangat 😊
smartphone bagaikan jendela sekaligus penjara dengan kunci yang kita genggam sendiri.
Akal tanpa iman.
Seperti berlayar tanpa kompas 🤔
Menurut saya terlalu banyak akal jadi akal-akalan yang dicampur kepentingan. Iman harus mendukung akal. Iman adalah arah tapi iman yang mana dulu
Tuhan itu maha baik. Dia menciptakan manusia dgn bentuk yg sempurna dan indah, ada yg ganteng, ada yg cantik, lalu diberikan jg akal pada manusia agar bisa mengenal penciptanya sehingga timbul keyakinan padaNya, percaya dan yakin kepada Tuhan sang pencipta yg maha baik. Artinya dgn akal yg sehat waras mustahil keberadaan apapun tanda Tuhan yg maha baik.👽😅
@@cenel2anTuhan tidak sebaik ketika kita mengalami esktase cinta ilahiyah
@Ardiansyah_amogsha mata hati dan pikiran anda terlalu katarak untuk melihat merasakan kasih sayang Tuhan maha baik yg telah mengadakan anda dri ketiadaan.
@cenel2an anda berangkat dari ketidaktahuan akan saya secara personal dan berupaya untuk menduga-duga kubu dimana saya berada, maka binasalah segala diagnosis abnormal yg anda wartakan atas saya. Begitu pula dengan moral anda yg sedang membahas Tuhan namun tidak etik 😂😂😂
jangan belajar filsafat, bisa murtad
membebaskan fikiran drpd terpenjara doktrin2 agama 34:35
Hal apa yang membuat nya bisa menjadi murtad? Apa kerna terlalu terlalu mempelajari soal kehidupan?
Bukankah kita disuruh mempelajari soal kehidupan
Pernyataan dari orang yang pikirannya beku terbelenggu dan tidak paham konteks
mending murtad krn berpikir, dri pada di kungkung kebodohan dlm iman
@@ciptaan_ayah_ibudoktrin itu ada karena dibutuhkan
Elo hidup, lalu bertanya buat apa sih hidup itu? Apa sih makna hidup itu?
Elo yg hidup aja masih bertanya arti kehidupan. Berarti pertanyaan itu sma jg klaim dan fakta bahwa si penanya butuh pengetahuan alias bodoh. Semakin banyak pertanyaan nya makin banyak klaim dan fakta kebodohannya. Fakta tragedi ini sangat meyakinkan bahwa ada sumber segala pengetahuan/ilmu sbagai pusat segala sesuatu dan dia hidup yg menghidupkan jg mematikan, it s God.
Tuhan dalam kategori apa kira²?? Bila dinyatakan dalam kategori Tuhan² tradisional dalam agama2 yg ada maka akan banyak yg mengklaim bahwa mereka yg benar.
Bila dinyatakan Tuhan dalam kategori semesta, maka ini akan bersifat non dualistik dan pastinya jika dalam filsafat veda dan advaita kita menjadi Atman menjadi percikan dari Brahman alias pencipta.
Kesadaran manusia tentang Tuhannya mungkin saja bersifat temporal, dan dikembangkan. Sekali lagi "mungkin"
@@Ardiansyah_amogsha semakin banyak pertanyaan makhluk manusia semakin banyak klaim dan fakta kebodohannya. Maka semakin kuat kebenaran eksistensi sumber segala pengetahuan sebagai Tuhan sang pencipta.
@@cenel2an
Anda sedang bermain dengan permainan² kata abnormal dan tidak mendasar
Kira-kira apakah manusia seperti anda setara dengan Einstein, khawarizmi, Newton, decartees, atau semacamnya sehingga pantas mempostulatkan hal yg melampaui akal dengan tubuh rapuh yg bahkan tidak dikenal?? Lalu berlagak sebagai yg tahu noumena, bila dalam forum akademis orang yg menghayal seperti anda sudah di tendang keluar
@@Ardiansyah_amogsha trimakasih Sya ucapkan, perbandingan anda pada sya dgn orang2 istimewa dan populer , itu sebuah penghormatan bagi saya yg sya sendiri merasa diri ini sebagai sampah akademis yg siap upgrade siap recycle dgn pengetahuan2 yg bersumber dari pusat pengetahuan dan kebenaran yg patut diyakini sebagai tuhan yg maha tahu dan maha benar.
@cenel2an 😂😂😂
bang @fubidon @ardhianzy tolong bahas pemikiran jiddu krishnamurti dong. saya merasa jiddu tidak seberapa terekspose, padahal dari beberapa filsuf yg pernah saya ikuti, saya berhenti di jiddu. saya merasa tuntas dan klimaks dalam narasi beliau memaknai hidup
🔥🔥