Jika ia bermanfaat utk para arwah .mudahnya hidup ,x solat x puasa ,sering buat maksiat pastu boleh dpt pahala walaupun sudah mati.al quran diturun utk manusia yg hidup .
Pengertian Sunnah Nabi itu tidak hanya yang dicontohkan atau dilakukan Nabi saw saja (sunnah fi`liyah), tetapi apa yang diucapkan/dikatakannya disebut sunnah juga (sunnah qouliyah) -- bahkan apa yang dilakukan para sahabat walaupun nabi tidak mencontohkan atau menyuruh tetapi nabi tidak melarang/membolehkannya disebut juga sunnah (sunnah taqririyah) seperti sahabat Bilal sholat sunat sehabis wudlu dan sahabat Abu Hurairah ra membaca dzikir tasbih 12.000 x setiap harinya. Terkait dengan tahlilan, dilihat dari kaidah pembagian sunnah yang tiga tadi, tahlilan bisa dikatakan masuk dalam “sunnah qouliyah” dari segi kalimah-kalimah dzikir yang dibacanya dan atau tujuan yang mendasarinya. Dari segi “tradisi” juga bisa masuk dalam “sunnah taqririyah” karena atsar sahabat dalam periwayatannya. Untuk lebih jelasnya bisa diuraikan: SUNNAH QOULIYAH TAHLILAN Membaca kalimah-kalimah tahlil, tasbih, tahmid, surah-surah atau ayat tertentu (khusus) dari al-Quran yang ada dalam tahlilan diambil dari dzikir-dzikir utama dari qoul (sabda Nabi saw). Misalnya, Bab. Dzikir dari shahihnya Imam Bukhari dan Muslim yang berisi fadhilah-fadhilah (keutamaan) dzikir dari kalimah-kalimah yang saya sebut diatas. Jadi kita membacanya atas dasar “manut dhawuh saja” karena Nabi saw sudah berjanji kalau baca ini pahalanya demikian, membaca kalimah itu pahalanya demikian dst. Dalam tradisi pesantren itu sudah menjadi dzikir umum yang dibaca sewaktu-waktu. Bahkan berkembang di masyarakat dan dimanfaatkannya sebagai doa dalam berbagai acara hajatan dari pernikahan, syukuran, sunatan dsb. Termasuk hajatan pada orang meninggal (lha ini yang dimasalahkan, sehingga “opini” yang terbentuk tahlilan itu untuk orang meninggal - ini kan sudah “salah kaprah” ya (mungkin sudah kadung terbentuk opini). Kalau toh yang dipermasalahkan ditujukan untuk doa kepada mayit tujuannya adalah “hadiah pahala” yang ditujukan kepadanya agar diringankan dosanya atau diampuni dan dalil-dalilnya juga cukup jelas tentang hadiah pahala kepada mayit itu sehingga Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dengan judul Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit). Imam An Nasa’i dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dengan judul Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit). Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit). Sebetulnya kalau yang ditonjolkan (diperselisihkan) “dengan membentuk opini” diarahkan atau digiring kesana itu secara “politis” bisa dipahami karena sebetulnya memiliki “akar khilafiyah” diantara madazab-madzab fikh dari para ulama tentang “sampai tidaknya hadiah pahala” kepada mayit itu. Jadi latar belakangnya dari sana, sama dengan dalil-dalil qunut, tawasul, ushali, iftitah dll kan juga rawan kalau dijadikan isu da`wah untuk digiring ke pemahaman madzab tertentu. SUNNAH TAQRIRIYAH TAHLILAN Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, yang mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, meriwayatkan dari Al-Asyja’i, dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu seorang perawi hadits-hadits shahih dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama Negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. mengatakan; “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “. Riwayat ini disebutkan tidak hanya oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal, tetapi juga oleh Imam Suyuthi, Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani, Ibnu Hajar al-Haitami dll. Dalam riwayat lain dari Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra. Menurut Imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw, beliau berkata “ Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “. Imam al-Hafidz as-Suyuthi si empunya Kitab Tafsir Jalalain dan Asbabun Nuzul al-Qur`an, yang kitab-kitabnya tentang ilmu al-Qur`annya menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya mengatakan kaum muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah -- dan Nabi SAW juga mengetahui dan taqrir (menyetujui, tidak melarang), dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. Ini merupakan anjuran mengasihi mayit yang baru meninggal selama ujian dalam kuburnya dengan cara melakukan shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayit. Hal demikian telah dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahalanya bermanfaat bagi mayit. Kata Imam Suyuthi, “Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (zaman Imam as-Suyuthi, tahun 849 H = 1445 M), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam.” Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar”……. dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam." Tidak hanya di Mekkah dan Madinah pada zamannya Imam Suyuthi, tradisi itu disebut 'Asya' al-Walidain (di Arab Saudi tempo dulu) dan di fatwakan boleh oleh ulama sana berdasarkan keumuman dalil. Sedangkan di negara-negara Timur Tengah yang lain memiliki nama yang berbeda seperti di Maroko disebut dengan sebutan Zardah/Salkah dalam bahasa darijah (dialek) mereka, di Yaman dengan sebutan `Aza`. Di Mesir, Bangladesh, dll walaupun tujuannya sama tetapi juga memiliki nama tersendiri .....wallahualam.
Silalah mengaji dahulu.. jangan dduk dengar tgok youtube ja dan lalu menyesatkan orang. Masalahnya skrg p mngaji dlu. Tgkk ja video kata yg ni sesat, yg tu sesat, terus dduk kata ni bidaah, lari dari sunnah.. subhanallah.. Mudah betul eh. Cabang2 ilmu pun xtahu terus nak mnghukum.
Masyallah...semoga Allah swt beri kekuatan pada Ust Alim dan beri kita kaum muslimin kembali ke jalan Sunnah
Jika ia bermanfaat utk para arwah .mudahnya hidup ,x solat x puasa ,sering buat maksiat pastu boleh dpt pahala walaupun sudah mati.al quran diturun utk manusia yg hidup .
terbaik ustaz Halim..
terbaik penjalasan dan bukti dari dalil dalil yg sahih
Jazakallah khyr Ustaz
🌞🌞🌞 Alhamdulillah ……🌞🌞🌞
Pengertian Sunnah Nabi itu tidak hanya yang dicontohkan atau dilakukan Nabi saw saja (sunnah fi`liyah), tetapi apa yang diucapkan/dikatakannya disebut sunnah juga (sunnah qouliyah) -- bahkan apa yang dilakukan para sahabat walaupun nabi tidak mencontohkan atau menyuruh tetapi nabi tidak melarang/membolehkannya disebut juga sunnah (sunnah taqririyah) seperti sahabat Bilal sholat sunat sehabis wudlu dan sahabat Abu Hurairah ra membaca dzikir tasbih 12.000 x setiap harinya. Terkait dengan tahlilan, dilihat dari kaidah pembagian sunnah yang tiga tadi, tahlilan bisa dikatakan masuk dalam “sunnah qouliyah” dari segi kalimah-kalimah dzikir yang dibacanya dan atau tujuan yang mendasarinya. Dari segi “tradisi” juga bisa masuk dalam “sunnah taqririyah” karena atsar sahabat dalam periwayatannya. Untuk lebih jelasnya bisa diuraikan: SUNNAH QOULIYAH TAHLILAN Membaca kalimah-kalimah tahlil, tasbih, tahmid, surah-surah atau ayat tertentu (khusus) dari al-Quran yang ada dalam tahlilan diambil dari dzikir-dzikir utama dari qoul (sabda Nabi saw). Misalnya, Bab. Dzikir dari shahihnya Imam Bukhari dan Muslim yang berisi fadhilah-fadhilah (keutamaan) dzikir dari kalimah-kalimah yang saya sebut diatas. Jadi kita membacanya atas dasar “manut dhawuh saja” karena Nabi saw sudah berjanji kalau baca ini pahalanya demikian, membaca kalimah itu pahalanya demikian dst. Dalam tradisi pesantren itu sudah menjadi dzikir umum yang dibaca sewaktu-waktu. Bahkan berkembang di masyarakat dan dimanfaatkannya sebagai doa dalam berbagai acara hajatan dari pernikahan, syukuran, sunatan dsb. Termasuk hajatan pada orang meninggal (lha ini yang dimasalahkan, sehingga “opini” yang terbentuk tahlilan itu untuk orang meninggal - ini kan sudah “salah kaprah” ya (mungkin sudah kadung terbentuk opini). Kalau toh yang dipermasalahkan ditujukan untuk doa kepada mayit tujuannya adalah “hadiah pahala” yang ditujukan kepadanya agar diringankan dosanya atau diampuni dan dalil-dalilnya juga cukup jelas tentang hadiah pahala kepada mayit itu sehingga Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dengan judul Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit). Imam An Nasa’i dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dengan judul Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit). Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit). Sebetulnya kalau yang ditonjolkan (diperselisihkan) “dengan membentuk opini” diarahkan atau digiring kesana itu secara “politis” bisa dipahami karena sebetulnya memiliki “akar khilafiyah” diantara madazab-madzab fikh dari para ulama tentang “sampai tidaknya hadiah pahala” kepada mayit itu. Jadi latar belakangnya dari sana, sama dengan dalil-dalil qunut, tawasul, ushali, iftitah dll kan juga rawan kalau dijadikan isu da`wah untuk digiring ke pemahaman madzab tertentu. SUNNAH TAQRIRIYAH TAHLILAN Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, yang mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, meriwayatkan dari Al-Asyja’i, dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu seorang perawi hadits-hadits shahih dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama Negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. mengatakan; “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “. Riwayat ini disebutkan tidak hanya oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal, tetapi juga oleh Imam Suyuthi, Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani, Ibnu Hajar al-Haitami dll. Dalam riwayat lain dari Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra. Menurut Imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw, beliau berkata “ Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “. Imam al-Hafidz as-Suyuthi si empunya Kitab Tafsir Jalalain dan Asbabun Nuzul al-Qur`an, yang kitab-kitabnya tentang ilmu al-Qur`annya menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya mengatakan kaum muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah -- dan Nabi SAW juga mengetahui dan taqrir (menyetujui, tidak melarang), dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. Ini merupakan anjuran mengasihi mayit yang baru meninggal selama ujian dalam kuburnya dengan cara melakukan shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayit. Hal demikian telah dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahalanya bermanfaat bagi mayit. Kata Imam Suyuthi, “Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (zaman Imam as-Suyuthi, tahun 849 H = 1445 M), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam.” Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar”……. dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam." Tidak hanya di Mekkah dan Madinah pada zamannya Imam Suyuthi, tradisi itu disebut 'Asya' al-Walidain (di Arab Saudi tempo dulu) dan di fatwakan boleh oleh ulama sana berdasarkan keumuman dalil. Sedangkan di negara-negara Timur Tengah yang lain memiliki nama yang berbeda seperti di Maroko disebut dengan sebutan Zardah/Salkah dalam bahasa darijah (dialek) mereka, di Yaman dengan sebutan `Aza`. Di Mesir, Bangladesh, dll walaupun tujuannya sama tetapi juga memiliki nama tersendiri .....wallahualam.
Allahu Akbar Walizzatulillah
terbaik ustaz
Bid'ah menyekat perkembangan sunnah.
Mmg la kena doa ustaz. Tp antara tempat mustajab doa tu selepas membaca ayat Quran. Jd tahlil tu kan baca ayat Quran lepas tu berdoa.. 😁
sekadar nak tambah ilmu,bolehkah bertahlil sebelum makan daging korban.jika ada dalil tolong tunjukkan,
Orang2 tak doa kah?
Kena byk ngaji lg ustd ni..
Silalah mengaji dahulu.. jangan dduk dengar tgok youtube ja dan lalu menyesatkan orang.
Masalahnya skrg p mngaji dlu.
Tgkk ja video kata yg ni sesat, yg tu sesat, terus dduk kata ni bidaah, lari dari sunnah.. subhanallah..
Mudah betul eh. Cabang2 ilmu pun xtahu terus nak mnghukum.
btl sebp jiran aku anak dia mati dia x buat tahlil .anak dia asip datg dalam mimpi mak dia. bila mak buat thlil Baru ok
ustaz2 ahli yg paling merapu puak2 ni lah yg mnyesatkan...
pngikut2 yg taksub..kesian pngikut2 mreka
Lagi kesian orang yang tak ikut ajaran Rasulullah.