Dongeng Marsinah /1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.” /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.” /3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi. /4/ Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan - sempurna, sendiri. Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan? /5/ “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.) “apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.) “Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.” (Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) /6/ Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini. (1993-1996) Sapardi Djoko Damono
DONGENG MARSINAH Karya: Sapardi Djoko Damono 1 Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan hati-hati. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.” 2 Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.” 3 Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi. 4 Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan - sempurna, sendiri. Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan? 5 “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.) sengsara betul hidup di sana jika suka berpikir jika suka memasak kata apa sebaiknya kita menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.) “Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.” (Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) 6 Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
tak peduli sejarah ibarat tak peduli anak.... tak tau pejuang hakikat manusia ibarat tak tau anak..... tak peduli negara ibarat tak peduli anak.... terbungkam, melupakan, dan tak menghiraukan negara akan hancurnya negara...... yang akan berdampak ke generasi selanjutnya..... sama aja dengan generasi anak anak kita...... ini sama aja ibarat membunuh anak kita membunuh impian anak kita membunuh generasi selanjutnya...... masak sejarah...... hantam penghalang biarkan anak kita meraih kesuksesan di negri sendiri dan membanggakan negri sendiri..... jangan lupakan munir, wiji tuku, para aktifis trisakti, marsinah dan banyak lagi..... yang memperjuangkan hakikat kita, dan generasi selanjutnya..... munir takan mati karna suaranya begitu lantang terdengar..... tapi tak banyak yang menghiraukan.....
Dongeng Marsinah /1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.” /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.” /3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak Marsinah pun abadi. /4/ Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan - sempurna, sendiri. Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan? /5/ “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.) “apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?” (Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.) “Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.” (Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.) /6/ Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini. (1993-1996)
😢😢😢😢...huuuh menghujam tembuuss ke relung hati, sadisz, tragis ,, dibawakan dgn apik mas Perisandi kuerèn ...
Kini....penjajahan itu makin menampakkan jati dirinya Kawan.....Outsorcing.
Aduuuh sedih dengarnya. Begitulah nasib buruh
Suka bngt si sma puisi dongengnya, biasanya pade pasapardi yng bawakan sair ini jadi kangen sama pa'de sapardi
Dongeng Marsinah
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
Sapardi Djoko Damono
Datangmu dibenci,kepergianmu dinanti nanti engkaulah pahlawan buruh yg dianggap sebagai musuh oleh para penguasa dijaman orba
Agii~
puisi yang lahir sari waktu baik, hari baik, bulan baik (Mei) tapi tak sebaik nasib Marsinah.
al fatihah ....~
Untuk Marsinah, al-fatihah...
Keren banget cara baca puisi peri sandi.. hatiku terasa perih dg puisi ini. Ada yg menyayat dihatiku saat kekejaman begitu dahsyat menimpa Madinah..
Joss
Begitu juga Makkah
#Menolak lupa
Marsinah seorang aktivis HAM
Mas Peri Sandi aku minta dibacakan "nyanyian angsa" ws rendra.
DONGENG MARSINAH
Karya: Sapardi Djoko Damono
1
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan hati-hati.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
2
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
3
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
4
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
5
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
sengsara betul hidup di sana
jika suka berpikir
jika suka memasak kata
apa sebaiknya kita menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
6
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
Yang paling suka aku dengan bang peri sandi adalah karakter yang menurut aku adalah perwakilan dari setiap kata di dalam puisi
Indah namun perih 🔥🔥👍
Sedih banget kisah marsinah.
Penjiwaannya mantap banget ahh jadi iri
Periiihh...
Superb
Salam sukses selalu👍
Ga gue skip serius
mantap kak, sampe merinding dengerin -nya...
Aku sampai nangis malah, asli aku tahu sejarah marsinah tapi begitu lihat ini nyesek dong apalagi keluarga marsinah pada masa itu
Luar biasa
Sy telat melihatnya tp masih terasa sayatannya keren bang 👏👏👏
Marsinah, Kartini yang dibungkam...😥
Ada lonceng langsung cek😁
Mantap bang sandi..
Panjang umur hal" baik
Menghayati 😊
Panjang umur hal baik!
Sehat terus untuk hal baik 🌱🌹
Marsinah yang selalu abadi...
benar benar.......
Stuipdiyyi😊
Menolak Lupa...Pahlawan Marsinah Pahlwan Buruh
Bikin penasaran ingin mendengar dan melihat mimik nya, semangat kak,,, salam sastra untuk pemula 🙏💪💪
Betul
Cepatlah cepat wahai sahabat
Kenapa kang peri keren banget dah🤘
Keren banget 👍
Manteppp kang
Ngeri bang, menghayati
Om..menatap merah putih....karya sapardi djoko damono donk...
😭bagusss
#working class✊
Merinding
👏🏾👏🏾👏🏾👏🏾👏🏾😍
ayoooo cefatkannn wahaii abang
Hidup korban! Jgn diam! Lawan!
tak peduli sejarah ibarat tak peduli anak.... tak tau pejuang hakikat manusia ibarat tak tau anak..... tak peduli negara ibarat tak peduli anak.... terbungkam, melupakan, dan tak menghiraukan negara akan hancurnya negara...... yang akan berdampak ke generasi selanjutnya..... sama aja dengan generasi anak anak kita...... ini sama aja ibarat membunuh anak kita membunuh impian anak kita membunuh generasi selanjutnya...... masak sejarah...... hantam penghalang biarkan anak kita meraih kesuksesan di negri sendiri dan membanggakan negri sendiri..... jangan lupakan munir, wiji tuku, para aktifis trisakti, marsinah dan banyak lagi..... yang memperjuangkan hakikat kita, dan generasi selanjutnya.....
munir takan mati karna suaranya begitu lantang terdengar..... tapi tak banyak yang menghiraukan.....
Aaaww loveee❤️❤️❤️❤️
Keren, Mas. Seluruh jiwa dan raga anda bercerita.
Ketika sastra bicara
Kreeenncenk...🤘
Mantap bang
Keren keren om. Pokonya tetep fans sama om fer. Terus rebus kata menjadi sebuah pesan
🔥
merinding uy
Dongeng Marsinah terepic
Cepatlah
Mantap bang, selalu ditunggu aksinya... Salam sastra.. anak melenial perlu belajar ini..
Request bang, puisi "Aku" karya Chairil Anwar banh. 🙏
😢😢😢
👍👍👍👍👍👍,
Tolong dong bacakan puisi "DIPONEGORO"
aku pengen dengar
😥
Semoga suatu hari berkenan bacain puisi kita ya mas..😊
Duh jadi iri dengan kemampuannya baca. Aku bikin channel puisi juga tapi sepi penonton wkwk hahaha
Sama😂
tetap semangat bang
Semangat kak, udah banyak lo subscribernya. Tandanya banyak yang mendukungmu
ASALAMUALAIKUM,,'Abangku,bolekah bikin puisi tentang seorang nelayan?salam dari Gorontalo
Mas aku nangis saeatu
Maksud menutup sebelah mata itu apa yah?
Jim Morrison
Ini bukannya tulisan kh mustofa bisri ya ?
Izin minta lambang nya mas peri
Bang, bakcsound namanya apa?
mantau
Dongeng Marsinah
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
😅